Bukan Gaza, Negara Teluk Utamakan Bisnis dalam Lawatan Trump

9 hours ago 5

Riyadh -

Sejumlah "hadiah diplomatik" sudah disiapkan Donald Trump jelang kunjungan luar negeri pertamanya sebagai Presiden Amerika Serikat pada 13–16 Mei, di Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA). Menurut pejabat AS, Trump antara lain akan meresmikan nama Teluk Arab bagi kawasan perairan yang secara historis dikenal sebagai Teluk Persia.

Meskipun Trump tidak memiliki wewenang untuk mengubah nama resmi wilayah geografis di dunia, langkah simbolis ini memiliki makna politik besar. Negara-negara Arab sudah lama mendorong perubahan nama, sementara Iran selalu menekankan ikatan historis dengan wilayah perairan tersebut.

Trump juga menjanjikan sebuah "pengumuman besar" selama kunjungan di Timur Tengah. "Ini akan menjadi salah satu pengumuman paling penting dalam beberapa tahun terakhir mengenai sebuah isu yang sangat penting," ujarnya tanpa merinci lebih lanjut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Harapan dan kekhawatiran di Teluk

Setiap negara yang dikunjungi, Arab Saudi, Qatar, dan UEA, memiliki agenda tersendiri terhadap Presiden Trump. Burcu Ozcelik, peneliti senior keamanan Timur Tengah di lembaga think tank RUSI (Royal United Services Institute) di London, mengatakan kepada DW bahwa Riyadh sangat membutuhkan investasi asing langsung untuk mendukung target reformasi ekonomi "Visi 2030"-nya.

"Arab Saudi juga tidak ingin tertinggal dari peluang yang telah diamankan UEA lewat keterlibatannya dalam Abraham Accords, kesepakatan normalisasi diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Arab yang dimediasi AS," ujarnya.

Sebelum serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 dan perang di Gaza yang mengikutinya menghentikan proses tersebut, Arab Saudi dan Israel hampir mencapai kesepakatan diplomatik. Perjanjian yang dimediasi AS itu dirancang menjadi kesepakatan trilateral, di mana AS akan memberikan jaminan keamanan dan mendukung program nuklir sipil Arab Saudi, semacam "NATO mini" untuk kerajaan.

Namun, saat ini peluang tercapainya perjanjian itu kembali menjauh. "Kerajaan tidak akan mundur dari 'garis merah'-nya, yakni harus ada jalur yang kredibel menuju pembentukan negara Palestina," kata Ozcelik.

Menurut sumber diplomatik di Washington, Menlu Saudi Pangeran Faisal bin Farhan menegaskan dalam kunjungannya ke Gedung Putih pada April bahwa Israel tidak akan masuk dalam agenda selama kunjungan Trump.

"Saudi ingin memprioritaskan kerja sama ekonomi agar menghindari situasi politik yang sensitif," kata Emily Tasinato, peneliti kawasan Teluk di European Council on Foreign Relations (ECFR), kepada DW.

Meski demikian, dia menambahkan bahwa ada indikasi Riyadh dan pemerintahan Trump tetap melanjutkan aspek lain dari kesepakatan besar itu, terlepas dari proses normalisasi dengan Israel.

"Contohnya adalah program nuklir sipil Saudi, yang kini siap dibahas oleh Trump tanpa syarat diplomatik dengan Israel," ungkap Tasinato. Aspek lain mencakup kerja sama pertahanan, "meski tidak dalam bentuk pakta pertahanan yang mengikat karena itu tidak membutuhkan perjanjian dengan Israel."

Gaza bukan fokus kunjungan

Sanam Vakil, Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House, memperkirakan bahwa konflik Gaza-Israel akan disisihkan dalam kunjungan Trump ke kawasan.

"Negara-negara Arab mengharapkan kunjungan ini akan mendorong keterlibatan ekonomi yang lebih besar serta kerja sama keamanan kawasan, terutama melalui pertemuan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC)," ujarnya.

Namun, menurutnya, "pertemuan itu akan lebih menjadi pengalih perhatian ketimbang upaya nyata untuk menyelesaikan krisis Gaza."

Trump juga tidak menjadwalkan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam kunjungan ini.

Fokus utama: Bisnis

"Bisnis adalah elemen kunci dalam kunjungan Trump ke Teluk," tegas Tasinato dari ECFR. Sejumlah eksekutif perusahaan pertahanan AS diperkirakan akan menyertai Trump dalam lawatannya. Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi sudah lebih dulu menjanjikan investasi besar di AS.

Kepemimpinan Saudi, menurut Tasinato, tengah mengejar kemitraan dengan perusahaan-perusahaan AS. Saudi sejauh ini telah menawarkan nilai perdagangan dan investasi sebesar $ 600 miliar selama empat tahun. Sementara itu, UEA merencanakan investasi senilai $ 1,4 triliun dalam satu dekade ke depan, dengan fokus pada infrastruktur kecerdasan buatan dan semikonduktor.

Baru-baru ini juga diumumkan beberapa kesepakatan penjualan pesawat dan rudal AS ke negara-negara GCC. Forum Investasi Saudi-AS yang digelar di Riyadh selama kunjungan Trump juga dinilai sebagai bagian dari strategi ini, termasuk perluasan sektor teknologi Saudi, dari pusat data hingga komputasi awan dan AI.

Apa isi pengumuman Trump?

Dengan dinamika Timur Tengah saat ini, banyak pihak berspekulasi bahwa pengumuman besar Trump bisa terkait pembebasan sandera Hamas di Gaza, kesepakatan nuklir AS-Iran, atau konflik dengan milisi Houthi yang didukung Iran di Yaman.

"Jika kesepakatan pembebasan sandera bisa dicapai dengan Hamas sebelum atau saat kunjungan, itu akan menjadi kemenangan diplomatik dan moral besar bagi Trump," kata Ozcelik dari RUSI.

Namun menurut Tasinato dari ECFR, pengumuman itu kemungkinan lebih condong pada kesepakatan nuklir dengan Iran atau perkembangan terbaru di Yaman, di mana AS dan Houthi telah mencapai gencatan senjata yang dimediasi Oman. Meski menghentikan serangan ke pelayaran Laut Merah, kesepakatan ini tidak mencakup serangan terhadap Israel.

Beberapa sumber menyebut bahwa Iran memainkan peran konstruktif dalam negosiasi gencatan senjata. Hal ini dinilai sebagai sinyal bahwa Teheran bersedia menandatangani kesepakatan nuklir baru dengan AS, yang berpotensi mengurangi sanksi ekonomi dan mencegah kemungkinan serangan militer Israel.

"Arab Saudi dan AS semakin sejalan dalam keinginan untuk memasukkan isu Yaman ke dalam negosiasi nuklir AS-Iran sebagai bagian dari upaya deeskalasi kawasan," jelas Tasinato.

Pada akhirnya, pengumuman Trump, apapun bentuknya, dipastikan juga akan menguntungkan kepentingan nasional AS.

"Presiden Trump memahami potensi besar dalam perdagangan dan investasi di Teluk, dan da ingin dapat 'mundur' dari Timur Tengah karena AS tengah mengalihkan fokusnya ke China," kata Ozcelik.

"Hubungan lebih erat dengan Arab Saudi, Qatar, dan UEA, meski tidak selalu selaras, memberikan peluang bagi AS untuk menyerahkan sebagian tanggung jawab keamanan kawasan kepada aktor regional."

rzn/yf

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

(nvc/nvc)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial