Jakarta -
Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah berusaha memberikan perhatian khusus terhadap pemanfaatan air tanah, khususnya terhadap daerah-daerah yang Cekungan Air Tanah (CAT)-nya masuk kategori kritis, rusak, dan rawan. Perhatian tersebut disampaikan oleh Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung pada Rabu, 8 Januari 2025 lalu.
Menurutnya, cara yang akan dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pengetatan penerbitan izin untuk wilayah-wilayah rawan, kritis dan rusak. Wilayah rawan yang dimaksud antara lain Yogyakarta, Karanganyar, Boyolali, Metro, Kotabumi. Selanjutnya, wilayah yang masuk ke kategori kritis adalah Denpasar, Brantas, Palangkaraya, dan Banjarmasin. Lebih lanjut, wilayah yang masuk kategori rusak adalah cekungan air tanah Jakarta, Karawang, Bekasi, Serang, Banten, Bandung, Soreang, Pekalongan, Pemalang, serta Semarang.
Tentang Cekungan Air Tanah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara geologis, CAT adalah formasi bawah tanah yang menyimpan air dalam lapisan pasir, kerikil, atau batuan berpori yang disebut akuifer. Salah satu fungsi vital dari keberadaan CAT adalah sebagai penyedia air bersih. Air yang diambil dari cekungan ini sering lebih jernih dan bebas dari kontaminasi karena telah melalui proses penyaringan alami oleh lapisan tanah dan batuan. Hal ini menjadikan air tanah sebagai sumber utama untuk kebutuhan domestik, seperti minum, memasak, mencuci, hingga sanitasi.
Selain itu, CAT juga mendukung sektor pertanian, terutama di daerah yang minim curah hujan atau tidak memiliki akses ke sumber air permukaan. Air dari cekungan ini digunakan untuk irigasi, sehingga memungkinkan petani untuk mengelola lahan meskipun di tengah musim kemarau. Fungsi ini tidak hanya penting bagi keberlanjutan ekonomi masyarakat agraris, tetapi juga untuk menjaga ketahanan pangan di berbagai wilayah.
Tidak hanya bermanfaat bagi manusia, CAT juga memainkan peran kunci dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Banyak sumber air permukaan, seperti mata air, sungai kecil, dan rawa-rawa, bergantung pada aliran air dari akuifer. Dalam hal ini, CAT membantu mendukung kehidupan flora dan fauna yang tinggal di wilayah tersebut.
Lebih dari itu, CAT juga berfungsi sebagai cadangan air selama musim kemarau. Ketika sungai dan danau mengering, air tanah sering menjadi satu-satunya sumber air yang dapat diandalkan oleh manusia, hewan, dan tumbuhan.
Selain sebagai sumber air, CAT memiliki fungsi penting dalam menjaga kestabilan tanah. Air dalam lapisan bawah tanah membantu mencegah terjadinya penurunan muka tanah atau amblesan yang bisa terjadi akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa cekungan air tanah bukan hanya penyimpan air, tetapi juga penopang struktur alam yang ada di atasnya.
Kebutuhan yang Eksploitatif
Kementerian ESDM mencatat, Indonesia memiliki total 421 CAT yang tersebar di seluruh Indonesia. Paling banyak ada di Sulawesi dengan 91 CAT, kemudian Jawa dan Madura 80 CAT, Maluku 68 CAT, Sumatera 65 CAT, dan Papua 40 CAT.
Luas cekungan air tanah di Indonesia mencapai 907.615 km2 dengan potensi air tanah di akuifer bebas 496,2 miliar m3 per tahun dan di sistem akuifer tertekan 20,9 miliar m3 per tahun.
Melihat begitu luasnya CAT yang dimiliki Indonesia serta jumlah penduduk yang menghuni bumi nusantara ini, tak heran apabila Indonesia menjadi negara pengguna air tanah terbesar ke-9 di dunia.
Menurut Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Kementerian ESDM, dalam makalahnya yang berjudul Pengelolaan Air Tanah dalam Menghadapi Perubahan Iklim, penempatan Indonesia pada peringkat 9 tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, Indonesia menjadi negara penggunaan air tanah untuk kebutuhan domestik paling tinggi di seluruh dunia. Sementara untuk kebutuhan industri, Indonesia termasuk kategori menengah.
Kedua, kebutuhan domestik rumah tangga, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, masih sangat tinggi, yakni di atas 90%. Presentasi ini membuat Indonesia menjadi negara dengan penggunaan air tanah untuk kebutuhan domestik paling tinggi dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini sekaligus menandakan pengembangan jaringan air minum PDAM yang masih rendah.
Ketiga, dari sisi industri, permohonan izin pengusahaan air tanah pada 2023 mencapai angka 7.920 izin. Jumlah ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak berizin, yang diperkirakan mencapai 35 ribu. Tingginya jumlah permohonan izin pengusahaan air tanah menunjukkan penggunaan air tanah untuk industri yang masih tinggi.
Keempat, terjadi pembukaan lahan dan hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan lahan terbangun pada Daerah Imbuhan Air Tanah yang seharusnya berfungsi meresapkan air hujan. Konsekuensinya adalah lahan yang terbangun mengurangi fungsi resapan air hujan mengimbuh air tanah. Selain itu, terjadi over-eksploitasi air tanah pada daerah lepasan air tanah yang menyebabkan penurunan muka air tanah, bahkan terjadi land subsidence atau penurunan muka tanah dan intrusi air laut.
Selain keempat alasan rusaknya CAT, ada faktor alam yang juga turut berpengaruh, seperti perubahan jumlah hari dan curah hujan, serta peningkatan suhu udara, namun, alangkah lebih baiknya kita fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, seperti pengendalian penggunaan air tanah, baik itu pada ranah domestik rumah tangga dan industri.
Apabila mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Zona Konservasi Air Tanah menyebutkan, penetapan status rawan, kritis dan rusak didasarkan pada: (i) penilaian terhadap jumlah pemanfaatan air tanah; (ii) penurunan muka air tanah; (iii) perubahan kualitas air tanah; dan/atau (iv) dampak negatif terhadap lingkungan yang timbul, seperti amblesan tanah, pencemaran air tanah karena migrasi zat pencemar, penyusupan air laut ke dalam air tanah tawar, dan kekeringan yang disebabkan oleh migrasi air tanah dari sistem akuifer tidak tertekan ke dalam sistem akuifer tertekan.
Artinya, beberapa daerah—yang disebutkan oleh Menteri ESDM sebelumnya—telah terjadi eksploitasi atau penggunaan air tanah secara berlebihan, pencemaran akibat limbah domestik dan industri, yang berakibat pada penurunan muka tanah (land subsidence) serta intrusi air laut di wilayah pesisir.
Belajar dari Agrigento
Untuk memperjelas masalah yang dihadapi Indonesia saat ini, ada baiknya kita belajar dari sebuah kota indah yang terletak di puncak bukit di pantai barat daya Sisilia, Italia, yakni Agrigento.
Kota Agrigento dikenal karena keindahan alam, arsitektur kuno, serta pemandangan pantainya yang menakjubkan, Agrigento memiliki daya tarik luar biasa yang menjadikannya destinasi favorit para wisatawan. Salah satu magnet utamanya adalah Valley of the Temples, lanskap bersejarah yang menggabungkan kekayaan budaya dan keindahan alam.
Namun, pesona ini menghadapi ancaman serius akibat krisis air yang berkepanjangan. Situasi ini diperburuk oleh peningkatan jumlah wisatawan yang terus berdatangan, terutama menjelang penobatan Agrigento sebagai Ibu Kota Kebudayaan Italia pada 2025.
Kekurangan air bukanlah hal baru bagi penduduk Agrigento, sebab secara tradisional kebutuhan air dipenuhi melalui tangki penyimpanan dan pengiriman kapal tanker. Meskipun demikian, dampak perubahan iklim serta kekeringan yang berkepanjangan memperburuk situasi tersebut.
Sistem saluran air bawah tanah yang menjadi tulang punggung pasokan air kota dilaporkan sudah tua dan mengalami kebocoran dan hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil untuk menyelesaikan masalah ini.
Masalah ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi juga memberikan dampak negatif pada sektor ekonomi dan pariwisata. Kekurangan air memaksa beberapa usaha kecil untuk tutup. Banyak rumah tangga terpaksa menyimpan air dalam wadah untuk kebutuhan mencuci dan memasak.
Kondisi semakin memburuk pada musim panas, di mana beberapa akomodasi wisata seperti hotel kecil dan penginapan terpaksa membatasi jumlah tamu karena ketidakmampuan menjamin ketersediaan air. Ketergantungan kota pada sistem air yang sudah uzur menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan pariwisata di Agrigento.
Situs budaya dan sejarah Agrigento, termasuk Valley of the Temples, juga berada dalam risiko. Lembah ini, yang menjadi ikon lanskap pertanian kota, menghadapi ancaman kerusakan akibat kekeringan yang terus berlangsung. Jika tidak segera diatasi, kekeringan ini tidak hanya akan merusak daya tarik wisata, tetapi juga mengganggu warisan budaya dan sejarah yang sangat berharga.
Meskipun berbagai langkah telah diambil oleh pemerintah setempat, tantangan yang dihadapi Agrigento menjadi pengingat akan pentingnya keberlanjutan dalam pengelolaan dan pemanfaatan air. Pertumbuhan pembangunan yang berlebihan tanpa memperhatikan ketersediaan sumber daya hanya akan memperburuk krisis yang ada.
Menanti Langkah Konkret
Dengan melimpahnya cadangan air tanah yang ada beserta krisis yang mengitarinya, Indonesia tetap menjadi salah satu permata yang memikat dunia. Namun, tanpa upaya serius untuk menangani krisis air dan dampak dari eksploitasi yang berlebihan, masa depan lingkungan hidup di Indonesia dapat terancam.
Keberhasilan Indonesia dalam bertahan dalam krisis sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk menjaga keseimbangan antara pelestarian sumber daya dan pengembangan ekonomi. Indonesia tidak hanya membutuhkan solusi teknis, tetapi juga komitmen bersama menuju keberlanjutan yang sesungguhnya.
Apabila air tanah mengalami kerusakan, baik secara kuantitas maupun kualitasnya, maka proses pemulihannya akan membutuhkan waktu lama, biaya tinggi, teknologi yang rumit, serta tidak akan kembali pada kondisi awalnya.
Untuk menjamin ketersediaan pada masa mendatang, maka pengaturan pemanfaatan air tanah harus dilakukan. Langkah-langkah seperti pengaturan perlindungan daerah tangkapan air, pengaturan tata ruang, melakukan perlindungan dan konservasi daerah imbuhan dan lokasi sumber air baku potensial, tentu harus diprioritaskan.
Selain itu, model pembangunan yang bisa menampung dan menyalurkan air ke dalam akuifer melalui bangunan tertentu juga harus menjadi fokus pembangunan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga cekungan air tanah juga perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan kampanye lingkungan.
Pada intinya, pengaturan penggunaan air secara bijak dan optimal harus dikedepankan agar kenikmatan setiap orang dalam menerima hak lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana amanat Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945, bisa diterima secara maksimal dan dapat dinikmati tidak hanya oleh generasi saat ini tapi juga untuk para penerus bangsa yang lahir kemudian.
Eko Prasetyo dosen Fakultas Hukum dan peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia
(mmu/mmu)