Jakarta - Tradisi literasi sebenarnya bukan hal baru bagi dunia pesantren. Sejak berdirinya telah memiliki tradisi literasi, karena dunia pesantren sangat kental dengan budaya membaca dan menulis. Semangat literasi ini erat kaitannya dengan wahyu pertama yang diturunkan berkaitan dengan perintah untuk membaca. (Q.S. al-Alaq [96]: 1-3). Membaca untuk mengenal Tuhan Yang Menciptakan dan Yang Maha Mulia. Membaca dalam arti luas, melihat dan memahami ayat-ayat qauliyah yang berasal dari wahyu dan ayat-ayat kauniyyah yang nampak di alam semesta. Sehingga, dengan membaca bertambah ilmu bagi sang pembaca, dan dengan ilmu meningkat keimanan.
Semangat membaca selalu diikuti semangat menulis. Ketika Nabi menerima wahyu, para sahabat semangat mencatat wahyu yang turun. Mereka mencatat dengan berbagai media, ada yang menulis di atas kulit dan tulang binatang, kayu, dan di atas batu. Pun membaca, memahami dan menghafal ayat-ayat Alquran melalui bimbingan Nabi SAW. Setelah Nabi SAW wafat, memunculkan ijtihad para sahabat mengkodifikasikan Alquran. Ayat Alquran yang ditulis oleh sahabat dikumpulkan dalam satu kitab. Usaha ini dimulai pada masa khalifah Abu Bakar dan selesai di masa Utsman bin Affan. Pun dengan hadis Nabi SAW yang dicatat dan dikumpulkan dari para sahabat.
Budaya membaca dan menulis terus meningkat seiring perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan sains, keduanya saling berhubungan. Maka, tidak heran jika pada masa berikutnya, ada seorang ulama yang juga ahli astronomi, ahli kedokteran, ahli politik dan ahli dalam bidang lainnya.
Islam berkembang pesat pada masa kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah hingga terakhir di masa Turki Utsmani. Kemajuan itu mencakup seluruh sisi dalam kehidupan. Hal ini tidak lepas dari budaya literasi yang semakin meningkat dan difasilitasi oleh beberapa khalifah yang menjadi penguasa di masa itu. Hingga akhirnya peradaban Islam hilang dan dirampas ketika kekhilafahan Islam mulai diruntuhkan.
Keruntuhan kepemimpinan Islam masih menyisakan semangat kebangkitan umat Islam. Kebangkitan yang dimulai oleh para ulama yang masih berpegang teguh pada Alquran dan hadis. Para ulama tanpa henti berusaha memajukan Islam dan kaum muslim melalui dakwah. Dakwah melalui dunia pendidikan maupun melalui penulisan kitab.
Berkaitan dengan dakwah bil-kitabah (melalui tulisan), Nabi pun melakukan hal tersebut. Hal ini dilakukan ketika menyebarkan surat kepada raja-raja di luar Arab. Dakwah dengan tulisan dinilai efektif dan efisien. Tanpa membutuhkan waktu lama, tenaga dan dana yang besar, dakwah bisa menyebar di waktu bersamaan. Surat berisikan ajakan untuk masuk Islam, yang akhirnya diterima oleh kerajaan Habsyah dan Mesir. Dakwah dengan cara ini pula yang dilakukan oleh para ulama untuk menasehati para pemimpin agar kembali pada jalan Islam. Para ulama menulis dan menyusun kitab yang menjadi rujukan untuk kembali pada ajaran Islam yang benar.
Hasan al-Banna salah satunya, ulama pembaharu yang membangkitkan dakwah melalui tulisan. Al-Banna yang cukup produktif menulis dan membina para ulama yang juga kerap menulis. Ia memulai dengan membuat buletin dakwah yang dikemudian dari tulisan-tulisannya menjadi rujukan untuk pengembangan dakwah yang komprehensif. Perkembangan Islam dari masa awal, kini dan yang akan datang tak lepas dari literasi. Kemampuan membaca, menulis dan memaparkan gagasan ilmiah yang bersumber dari Alquran dan hadis yang akan mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam sesuai masanya.
Gerakan Literasi
Pesantren sebagai pusat pengenalan dan pengembangan ilmu pengetahuan Islam yang menyeluruh sudah seharusnya memiliki budaya literasi. Hal ini karena setiap individu di pesantren mempunyai peran dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Karena masyarakat di luar pesantren menganggap, bahwa pesantren dan seluruh stakeholdernya adalah orang-orang yang memahami Islam dengan baik.
Maka dari itu budaya literasi di pesantren harus dikembangkan melalui beberapa cara, di antaranya adalah, menyediakan fasilitas yang memadai untuk pengembangan literasi, seperti perpustakaan yang lengkap di setiap bagian kantor dan di ruang-ruang publik; memberikan teladan dari pimpinan tertinggi kepada semua jenjang kepegawaian dan santri dalam budaya literasi; mengadakan program sehari bersama buku, kegiatan ini dilaksanakan rutin perpekan.
Memulai dengan menganalisa setiap perencanaan program melalui proses literasi sebagai bahan pijakan ilmiah sebelum menentukan program; setiap guru dan santri memiliki buku evaluasi tentang perkembangan kegiatan literasi; membuat aturan resmi, melalui kepegawaian dan organisasi santri tentang implementasi budaya literasi; menyediakan media untuk memfasilitasi hasil dari proses literasi, seperti Mading (majalah dinding); menghidupkan kembali kajian kitab; dan mengupgrade wawasan pegawai tentang literasi melalui seminar, pelatihan dan workshop; dan lomba literasi. Itulah sebagian upaya untuk mengembalikan budaya literasi di pesantren. Masih banyak upaya lain yang mesti terus digali sesuai kondisi dan perkembangan ilmu pengetahuan sehingga benar-benar pesantren menjadi tempat lahirnya para literat hebat. Semoga.
Pendidik di Pesantren Husnul Khotimah Kuningan (jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini