Menyambut Gagasan Sekolah Rakyat

1 week ago 213

Jakarta - Bayangkan menjadi seorang anak kecil yang ingin belajar, bermimpi besar, dan berharap akan kehidupan yang lebih baik, tetapi terhalang oleh kemiskinan. Miskin itu bukan hanya soal tidak punya uang; miskin itu sakit. Tidak hanya melukai tubuh dengan kelaparan, tetapi juga melukai jiwa dengan rasa malu, rendah diri, dan terpinggirkan.

Belum lama ini, berita mencuat dari Medan, di mana seorang anak SD dihukum duduk di lantai selama beberapa hari karena orangtuanya tidak mampu membayar SPP. Peristiwa ini membuka mata banyak orang tentang realitas pahit yang dihadapi oleh anak-anak miskin di Indonesia. Mereka tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup, tetapi juga menghadapi stigma sosial di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat mereka belajar dan berkembang.

Kasus ini bukanlah yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir jika kita tidak segera bertindak. Di tengah tragedi semacam ini, muncul gagasan pemerintah yang sederhana namun revolusioner: membangun Sekolah rakyat berbasis boarding school untuk anak-anak miskin ekstrem yang akan dikelola oleh Kementerian Sosial. Sebuah langkah besar yang bukan hanya menjawab kebutuhan pendidikan, tetapi juga menawarkan solusi atas ketimpangan yang telah mengakar dalam sistem pendidikan kita.

Bukan Sekadar Tempat Belajar

Sekolah rakyat yang dirancang dalam bentuk boarding school bukanlah sekadar tempat belajar, tetapi juga pusat transformasi sosial. Anak-anak dari keluarga miskin ekstrem sering menghadapi masalah lebih dari sekadar akses pendidikan. Mereka harus berjuang untuk kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan rasa aman. Boarding school memberikan mereka semua itu—tempat berlindung, makanan bergizi, dan lingkungan yang mendukung.

Model ini tidak hanya memberikan pendidikan formal, tetapi juga menanamkan keterampilan hidup, nilai-nilai moral, dan rasa percaya diri kepada anak-anak. Di sekolah ini, mereka tidak akan lagi merasa dikucilkan hanya karena kemiskinan mereka. Mereka diberi tempat yang setara untuk berkembang dan bermimpi besar.

Kasus seperti di Medan adalah gambaran nyata dari luka sistemik dalam pendidikan kita. Data dari BPS menunjukkan bahwa pada 2024 terdapat lebih dari 924 juta orang miskin di Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dari angka ini, banyak anak-anak yang yang terpaksa putus sekolah atau menghadapi diskriminasi di dalam sistem pendidikan.

Sekolah rakyat adalah upaya untuk menghapus stigma ini. Di boarding school, tidak ada lagi pembagian antara kaya dan miskin. Semua anak mendapatkan hak yang sama, tanpa harus takut dihukum karena ketidakmampuan membayar SPP atau membeli seragam.

Kolaborasi Komunitas dan Pemerintah

Tidak sedikit pihak yang skeptis terhadap ide ini. Ada kekhawatiran boarding school berpotensi memisahkan anak-anak dari keluarganya atau terlalu mahal untuk diimplementasikan. Namun, tantangan ini bukanlah hambatan yang tidak bisa diatasi --bisa diatasi dengan; pertama, kolaborasi komunitas dan pemerintah. Sekolah rakyat dapat melibatkan komunitas lokal dalam pengelolaannya. Orangtua tetap bisa terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka melalui program kunjungan rutin dan partisipasi komunitas.

Kedua, pendanaan berbasis kemitraan. Pemerintah dapat menggandeng sektor swasta, lembaga filantropi, dan organisasi internasional untuk mendukung keberlanjutan program ini. Di beberapa negara, model seperti ini telah terbukti berhasil. Ketiga, dimulai dengan proyek percontohan. Sebelum meluas secara nasional, program ini dapat dimulai di daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua.

Keempat, kurikulum inklusif dan adaptif. Selain pelajaran akademis, sekolah rakyat harus dirancang dengan kurikulum yang adaptif, mengajarkan keterampilan hidup dan vokasional yang relevan dengan kebutuhan anak-anak tersebut.

Pendidikan bukan sekadar alat untuk meraih ijazah. Ia adalah jalan utama untuk memutus rantai kemiskinan, mengangkat harkat hidup, dan mengubah masa depan. Sekolah rakyat berbasis boarding school menawarkan pendekatan yang lebih dari sekadar memberikan akses pendidikan. Ini adalah solusi menyeluruh yang memastikan anak-anak miskin tidak hanya bersekolah, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk bermimpi, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung.

Kasus anak SD di Medan yang duduk di lantai karena tidak mampu membayar SPP adalah alarm keras bagi kita semua. Kita tidak bisa lagi membiarkan anak-anak seperti mereka diperlakukan seperti itu. Sekolah rakyat adalah langkah berani yang menjawab kebutuhan mendesak dan memberikan harapan nyata.

Miskin itu memang sakit; pendidikan yang inklusif dan berkeadilan adalah obatnya. Dan, dengan komitmen bersama, kita bisa memastikan tidak ada anak Indonesia yang harus duduk di lantai lagi—baik secara harfiah maupun metaforis. Karena setiap anak berhak bermimpi dan memiliki masa depan yang cerah.

Waode Nurmuhaemin doktor manajemen pendidikan

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial