Paris -
Setelah lama diperdebatkan, RUU bantuan untuk mengakhiri hidup akhirnya disetujui dalam pembacaan pertama di Majelis Nasional Prancis. Langkah tersebut membuka jalan bagi pasien untuk bisa mengakhiri hidup mereka dengan bantuan medis. RUU ini lolos dengan 305 suara setuju dan 199 suara menolak.
Selanjutnya, rancangan tersebut akan dibahas lebih lanjut di Senat.
Presiden Macron: Ini langkah penting
Presiden Prancis Emmanuel Macron menyambut baik hasil pemungutan suara tersebut. Melalui media sosial X, ia menyebut, "Pemungutan suara Majelis Nasional atas teks pengembangan perawatan paliatif dan eutanasia adalah langkah penting."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan menghormati berbagai sensitivitas, keraguan, dan harapan, jalan menuju rasa saling peduli dan kemanusiaan yang saya inginkan perlahan mulai terbuka, sesuai dengan martabat dan nilai kemanusiaan," tulisnya.
Pada Selasa (27/05), majelis juga menyetujui rancangan undang-undang lain yang bertujuan memperkuat layanan perawatan paliatif, demi meredakan rasa sakit dan menjaga martabat pasien.
Siapa yang dapat bantuan medis untuk mengakhiri hidup?
Aturan ini menetapkan syarat yang ketat untuk mendapat bantuan mengakhiri hidup. Pertama, pasien harus berusia di atas 18 tahun, warga negara Prancis atau penduduk tetap di Prancis yang memenuhi kriteria untuk menerima bantuan medis dalam mengakhiri hidup.
Kedua, dokter harus memastikan bahwa pasien mengidap penyakit serius yang tidak bisa disembuhkan.
Berikutnya, pasien juga harus mengalami rasa sakit yang tak tertahankan dan tak bisa diobati, serta secara sadar meminta obat mematikan atas kehendak sendiri. Jika memiliki riwayat gangguan jiwa berat atau penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer, pasien tidak masuk dalam cakupan.
Apabila disetujui, dokter akan meresepkan obat mematikan yang bisa dikonsumsi pasien di rumah, panti jompo, atau fasilitas kesehatan lainnya.
Pro-kontra RUU bantuan mengakhiri hidup
Asosiasi Hak untuk Mati dengan Martabat (ADMD) menyambut keputusan Majelis Nasional sebagai 'sejarah baru' dan menyatakan bahwa Prancis kini berpeluang bergabung dengan negara-negara demokratis yang menghargai kebebasan individu, seperti Belanda, Belgia, Spanyol, Kanada, dan Australia.
"Ini momen penuh harapan bagi kami yang percaya akan akhir kehidupan yang terkendali, tanpa derita tak terperi dan siksaan yang tak perlu," kata ADMD dalam pernyataan resminya.
Di sisi lain, Konferensi Para Pemuka Agama di Prancis (CRCF) yang mewakili komunitas Katolik, Ortodoks, Protestan, Yahudi, Muslim, dan Buddha, telah menolak RUU tersebut sejak awal bulan ini. Mereka memperingatkan akan 'bahaya' dari apa yang disebut sebagai "kerusakan antropologis."
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Felicia Salvina
Editor: Prita Kusumaputri
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini