Jakarta -
Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan Indonesia sebesar 8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024. Sementara itu, Bank Dunia menyatakan lebih dari 60,3% penduduk, setara 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun yang sama. Kontradiksi ini bukan sekadar perbedaan metodologi, melainkan cerminan realitas ekonomi yang kompleks: sebuah sistem yang hidup, adaptif, namun sarat paradoks.
Perbedaan angka tersebut berakar pada cara menghitung garis kemiskinan. BPS menggunakan standar lokal berbasis kebutuhan dasar (Rp595.242 per kapita per bulan), sementara Bank Dunia mengadopsi paritas daya beli (PPP) sebesar 6,85 dolar AS per kapita per bulan. Jika BPS melihat kemiskinan melalui lensa kebutuhan minimum, Bank Dunia menempatkannya dalam konteks global. Namun, di balik angka-angka ini, yang tersisa adalah pertanyaan: bagaimana Indonesia bisa disebut "makmur" oleh Harvard University (2024) sementara jutaan warganya masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar?
Jawabannya terletak pada dinamika ekonomi yang multidimensi. Menurut BPS, sebanyak 59,4% tenaga kerja Indonesia (per Februari 2025) berada di sektor informal—kelompok yang sering absen dari panggung kebijakan formal, namun menjadi penyelamat saat krisis. Selama pandemi, misalnya, 20,76 juta UMKM bertahan dengan beralih ke digital pada 2022, meningkat hampir dua kali lipat dari 2020. Adaptasi spontan ini menunjukkan ketahanan khas sistem kompleks, di mana aktor-aktor kecil menciptakan solusi tanpa arahan terpusat. Mereka bukan hanya bertahan, tetapi juga berkontribusi pada geliat ekonomi yang diakui secara global.
Studi Harvard University menobatkan Indonesia sebagai negara dengan masyarakat "paling makmur" bukan karena pendapatan tinggi, melainkan kemampuan sistem ekonominya menciptakan emergence—kemakmuran yang muncul dari interaksi agen-agen kecil. Kolaborasi UMKM dengan platform e-commerce, misalnya, telah melampaui batas geografis dan waktu. Pedagang Pasar Tanah Abang yang beralih ke sistem dropship atau pengrajin Batik yang menjual produknya via marketplace adalah bukti nyata. Namun, kemakmuran ini tidak merata. UMKM kerap terjepit antara inovasi dan persaingan tidak sehat dengan perusahaan besar. Algoritma platform e-commerce yang didominasi pemain global, misalnya, kerap meminggirkan produk lokal.
Digitalisasi memang menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, dengan 221 juta pengguna internet (APJII, 2022), Indonesia adalah pasar digital terbesar di Asia Tenggara. Platform seperti Gojek dan Tokopedia tidak hanya menghubungkan produsen dan konsumen, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi baru. Di sisi lain, pertumbuhan pesat ini berisiko memperlebar ketimpangan jika keuntungan hanya dinikmati segelintir korporasi. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan, hanya 15% UMKM yang mampu bersaing secara mandiri di platform digital—sebagian besar bergantung pada mekanisme promosi berbayar yang memberatkan.
Untuk menjawab paradoks kemiskinan dan kemakmuran, kebijakan harus berpijak pada prinsip inklusivitas dan adaptasi lokal. Pertama, integrasi data real-time dari platform digital ke dalam perencanaan kebijakan. Data transaksi e-commerce dapat memberikan gambaran dinamika konsumsi harian yang lebih akurat dibanding survei BPS dua kali setahun. Misalnya, tren penurunan pembelian produk UMKM di suatu daerah bisa menjadi sinyal awal kerentanan ekonomi yang perlu diantisipasi.
Kedua, desentralisasi inovasi. Pembangunan infrastruktur digital harus merata, diiringi peningkatan literasi digital UMKM. Pelatihan mandiri—seperti optimasi pemasaran digital atau manajemen keuangan—akan memperkuat daya saing mereka tanpa bergantung pada algoritma platform besar. Pemerintah daerah bisa berperan sebagai fasilitator dengan membangun hub inovasi berbasis potensi lokal.
Ketiga, regulasi pro-ekosistem usaha sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus aktif mengawasi praktik anti-persaingan, seperti predatory pricing oleh perusahaan besar yang berpotensi mematikan UMKM. Seperti diingatkan Baker & Salop (2015), kebijakan persaingan tidak hanya untuk efisiensi pasar, tetapi juga mengurangi ketimpangan. Contohnya, penetapan kuota tampilan produk UMKM di platform e-commerce bisa menjadi solusi sementara untuk menciptakan level playing field.
Pada akhirnya, kontradiksi data kemiskinan dan kemakmuran bukanlah kegagalan statistik, melainkan bukti bahwa ekonomi Indonesia adalah sistem kompleks yang terus berevolusi. Di tengah ketidakpastian global, keragaman dan adaptabilitas—seperti ketahanan sektor informal dan inovasi digital—bisa menjadi modal menuju kemakmuran inklusif.
Sebagaimana dikatakan W. Brian Arthur (2015), pakar complexity economics, masa depan ekonomi bukanlah titik yang bisa diprediksi, melainkan ruang kemungkinan yang terus mengembang. Di ruang inilah Indonesia berpeluang menulis ulang narasi kemiskinan menjadi cerita kemakmuran yang merata, asalkan kebijakan yang diambil tidak melawan kompleksitas, tetapi justru memanfaatkannya sebagai kekuatan.
Ukay Karyadi, Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Mantan Ketua KPPU
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini