Jakarta -
Di tengah percepatan rivalitas antar negara besar, konflik militer yang terus membara di sejumlah kawasan, serta ketidakpastian tata ekonomi dunia, kita tengah menyaksikan rekonstruksi besar dalam arsitektur keamanan global.
Dunia sedang bergerak dari tatanan pasca-Perang Dingin menuju suatu struktur baru yang belum menentu, namun penuh risiko eskalasi konflik. Jika tidak dikelola dengan baik, ketegangan ini dapat meletus menjadi perang terbuka multi-kawasan, sebagaimana pernah terjadi dalam Perang Dunia II.
Dampak rivalitas ini terasa nyata. Di Eropa, perang Rusia–Ukraina menandai kebangkitan kembali logika geopolitik klasik: perebutan wilayah demi kepentingan keamanan strategis. Di Timur Tengah, konflik Israel–Palestina memasuki fase paling brutal dalam dua dekade terakhir. Dan di Asia Selatan, tensi India–Pakistan tetap tinggi, diperburuk oleh nasionalisme religius dan kepemilikan senjata nuklir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI, 2024), anggaran militer global telah menembus USD 2,4 triliun, dengan peningkatan tajam di kawasan yang sedang berkonflik. Artinya, dunia tidak sedang dalam state of peace, tetapi dalam state of balancing yang tidak stabil.
Dunia sedang bertransformasi. Dalam dua dekade terakhir, dinamika keamanan global tak lagi dibentuk semata oleh kekuatan militer, melainkan oleh kombinasi rumit dari rivalitas geoekonomi, perang teknologi, disinformasi digital, hingga konflik identitas.
Eskalasi konflik bersenjata di sejumlah kawasan, seperti perang Rusia-Ukraina, agresi Israel ke Gaza, hingga ketegangan berulang antara India dan Pakistan, tidak bisa dibaca secara terpisah. Semua ini berkelindan dalam struktur sistem internasional yang kian rapuh, tidak lagi mampu ditopang oleh tatanan pasca-Perang Dunia II yang hegemonik.
Gerhard Weinberg dalam "A World at Arms" menunjukkan bahwa akar konflik global selalu melibatkan kalkulasi kekuasaan, ketakutan, dan upaya memperluas pengaruh. Inilah yang menyebabkan pecahnya Perang Dunia II, ketika kekuatan besar gagal memahami batas dominasi mereka.
Kini, sejarah seakan berulang: ketegangan AS-Tiongkok bukan semata perang dagang, tapi juga merupakan persaingan peradaban, sistem politik, dan kendali atas teknologi masa depan.
Perang Dagang dan Perang Peradaban
Konflik dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok sejak 2018 kini telah beralih dari persoalan tarif dan defisit neraca perdagangan menjadi rivalitas geoekonomi sistemik. Kedua negara kini berkompetisi memperebutkan keunggulan strategis dalam bidang teknologi – dari semikonduktor hingga kecerdasan buatan – serta pengaruh politik melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative (Tiongkok) dan Indo-Pacific Strategy (AS).
Menurut data Peterson Institute for International Economics (2023), sebenarnya tarif rata-rata AS terhadap produk Tiongkok sudah melonjak dari 3% menjadi 19,3% sejak perang dagang jilid I dimulai, sementara arus perdagangan bilateral turun lebih dari USD 100 miliar pada periode 2018–2022. Dan perang dagang jilid II ini, berhasil memicu decoupling teknologi, mengubah arah arsitektur produksi global dan mempercepat fragmentasi geoekonomi dunia.
Artinya, rivalitas ini bukan sekadar tentang "barang dan jasa", melainkan perebutan kepemimpinan global dan nilai-nilai fundamental. AS mengusung demokrasi liberal dan pasar bebas, sementara Tiongkok tampil dengan kapitalisme otoriter dan etatisme ekonomi.
Dunia terbelah pada dua narasi besar: rule-based order versus interest-based sphere of influence. Inilah akar dari ketegangan sistemik yang memantik konflik di kawasan lain.
Eskalasi di Kawasan Strategis
Konflik bersenjata saat ini tidak terjadi di ruang kosong. Perang Rusia-Ukraina, misalnya, adalah ekspresi militer dari penolakan Rusia terhadap ekspansi NATO dan pengaruh Barat di wilayah eks-Uni Soviet.
Data SIPRI (2024) mencatat bahwa Rusia mengalokasikan 5,9% dari PDB-nya untuk anggaran militer – angka tertinggi sejak 1991 – sementara pengiriman bantuan militer ke Ukraina oleh negara-negara NATO telah mencapai lebih dari USD 70 miliar sejak 2022.
Di Timur Tengah, perang Israel ke Gaza kembali memperlihatkan kegagalan sistem keamanan kolektif internasional. Lebih dari 30 ribu warga Palestina terbunuh dalam serangan Israel sejak Oktober 2023, mayoritas adalah warga sipil, menurut UN OCHA. Kebuntuan PBB dalam merespons tragedi ini mempertegas bahwa multilateralisme sedang kehilangan relevansi.
Sementara itu, ketegangan antara India dan Pakistan terkait Kashmir – alih-alih mereda – malah makin tak terkendali. Kedua negara bersenjata nuklir ini kerap mengandalkan retorika nasionalistik, menjadikan konflik sebagai alat konsolidasi politik domestik. Risiko eskalasi menjadi konflik nuklir, meski kecil, tidak bisa diabaikan.
Tatanan Dunia yang Goyah
Tatanan dunia pasca-Perang Dunia II dibangun dengan asumsi stabilitas yang dijamin oleh satu kekuatan hegemonik: Amerika Serikat. Namun sejak 2008, dengan krisis finansial global dan kebangkitan Tiongkok, sistem ini memasuki era multipolaritas.
Kini, kekuatan-kekuatan menengah seperti India, Brasil, Turki, hingga Indonesia mulai memainkan peran strategis sebagai swing states dalam berbagai forum global.
Namun, multipolaritas tidak otomatis berarti stabilitas. Justru, dalam sistem multipolar, risiko salah perhitungan dan proxy wars meningkat. Laporan Munich Security Conference (2024) bahkan menyebut bahwa dunia sedang memasuki era "polycrisis" – di mana tantangan keamanan, ekonomi, lingkungan, dan sosial saling memperparah satu sama lain.
Konflik tidak lagi terbatas pada militer. Cyber warfare, kampanye disinformasi, sabotase rantai pasok teknologi, serta weaponisasi energi dan pangan menjadi instrumen baru dalam kontestasi kekuasaan. Laporan World Economic Forum (2024) menyatakan bahwa serangan siber kini menjadi risiko tertinggi dalam lima tahun ke depan di sebagian besar negara berkembang.
Membaca Posisi Indonesia
Di tengah dunia yang makin terbelah oleh rivalitas kekuatan besar, Indonesia punya keunikan strategis yang tak dimiliki banyak negara. Letak geografis di jantung Indo-Pasifik hanyalah salah satunya.
Lebih dari itu, Indonesia memiliki pengalaman sejarah dan karakter budaya yang mendorong sikap seimbang dan tradisi non-blok aktif. Inilah modal utama untuk memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang di panggung global – bukan sekadar pengikut, tetapi aktor yang mampu meredam polarisasi dan mendorong kerja sama.
Namun, posisi ini tidak bisa berjalan otomatis. Di tengah situasi geopolitik dan geoekonomi yang kian tidak menentu, Indonesia butuh analisis politik luar negeri yang lebih tajam dan mendalam. Pemeirntah (khususnya Kemlu dan Kemhan) harus mulai mengumpulkan para pemikir strategis yang mampu membaca arah perubahan global – mulai dari isu keamanan, politik hingga ekonomi – dan merumuskan langkah mitigasi secara tepat dan terukur.
Sebagai negara dengan doktrin politik luar negeri bebas aktif, Indonesia tidak terikat pada patron mana pun. Justru karena itu, kita harus mampu membaca arah angin geopolitik secara mandiri, dengan kebijakan luar negeri yang tegas namun fleksibel, diplomasi pertahanan yang kuat, serta peran aktif dalam diplomasi kemanusiaan.
Aspek-aspek strategis ini sejatinya telah termaktub dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran, terutama pada cita keempat tentang "Mewujudkan swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif dan hijau, serta hilirisasi industri".
Visi ini bukan hanya soal ketahanan ekonomi domestik, tetapi merupakan model advance dari konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semestas (Sishakamrata) dan juga fondasi untuk membangun posisi tawar Indonesia di tataran global – membentuk ketahanan nasional yang kokoh agar Indonesia tidak mudah terombang-ambing dalam pusaran konflik kekuatan besar.
Lebih jauh lagi, gagasan ini sebenarnya telah terencana secara ideologis dan visioner dalam buku "Paradoks Indonesia" karya Prabowo Subianto. Buku ini mengajak kita berpikir ulang tentang potensi besar Indonesia yang selama ini tertahan oleh struktur ekonomi dan politik yang timpang.
Dalam buku tersebut, Prabowo menegaskan pentingnya kebangkitan kekuatan nasional melalui pembangunan kapasitas negara secara menyeluruh – baik di bidang pertahanan, teknologi, pangan, hingga keadilan sosial – agar Indonesia tidak menjadi korban dari ketidakadilan global, melainkan mampu berdiri sejajar dan disegani.
Kini, tinggal bagaimana kita menyusun langkah-langkahnya secara hati-hati dan komprehensif. Dengan strategi luar negeri yang cerdas, penguatan ketahanan nasional, dan pembangunan berkelanjutan yang inklusif, Indonesia berpeluang besar menjadi jangkar stabilitas dan harapan bagi dunia yang sedang kehilangan arah.
Arah Masa Depan
Pada akhirnya bangsa ini harus menyadari, bawah kita sedang berada pada titik balik sejarah. Apakah dunia akan menuju fragmentasi berkelanjutan yang disertai kekerasan, atau menuju tatanan baru yang lebih adil dan multikultural, sangat bergantung pada kapasitas kolektif negara-negara untuk merumuskan ulang arsitektur keamanan global yang lebih inklusif.
Dalam kondisi seperti ini, Indonesia tidak cukup hanya menjadi pengamat. Kita harus menjadi norm entrepreneur – pembawa gagasan dan nilai – dalam perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan global. Dunia membutuhkan kekuatan tengah yang visioner dan moderat. Indonesia harus siap – sekali lagi – mengisi peran itu. Wallahualam bi sawab
Wim Tohari Daniealdi, Dosen Hubungan Internasional di Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM), Bandung
(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini