Solana, musisi dan aktivis dari Britania Raya dengan 628 ribu pengikut di akun Tiktoknya, @solanathagreenfairy, kerap tampil dengan outfit tak berlengan, yang otomatis mempertontonkan ketiak serta rambut ketiaknya yang ia biarkan liar. Meski di Tiktok ada tren #noshaving, di mana para perempuan percaya diri dan nyaman menunjukkan ketiaknya yang tak dicukur, Solana berpendapat bahwa yang terjadi bukan semata tren, melainkan pergeseran budaya.
Ia sendiri mulai berhenti mencukur bulu ketiak saat pandemi COVID-19. Awalnya, ia berpikir lockdown waktu yang tepat untuk mencoba hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya, termasuk membiarkan rambut ketiak tumbuh begitu saja. Tidak ada keperluan mencukur karena tidak ada agenda keluar rumah. Dari situ ia mulai berpikir, ternyata, selama ini ia mencukur karena takut dengan apa yang dipikirkan orang lain bila ia tidak mencukur.
“Dan itu alasan yang buruk untuk tidak melakukan sesuatu. Menurutku nggak banget lah kalau kita enggak mencoba sesuatu karena takut dicela orang lain. Lalu aku tersadar bahwa, enggak akan ada yang berubah kalau kita enggak menantang pandangan masyarakat tentang body hair pada tubuh perempuan,” ujarnya.
Setelah terbiasa tidak mencukur bulu ketiak, Solana merasa nyaman dengan pilihannya itu. Bahkan ada perasaan pulih, katanya. Ada rasa puas juga dari tidak berusaha menyesuaikan ekspektasi, yang seringkali, cara memenuhi ekspektasi itu memerlukan waktu, dana, bahkan kadang juga dibayar dengan ketidaknyamanan fisik, seperti misalnya, waxing yang perih, atau salah metode cukur berujung ingrown hair dan iritasi.
Kemudian Solana membayangkan, ketika perempuan tidak mencukur mulai dinormalisasi, tentunya itu akan jadi pijakan bagi lebih banyak orang untuk, ya, lakukan saja apa yang nyaman buat mereka.
“Dulu, awalnya, aku mengira menumbuhkan bulu ketiak ini akan mendatangkan lebih banyak ujaran kebencian daripada dukungan, tapi ternyata itu nggak benar. Banyak kok orang-orang dengan pikiran terbuka, dan kita bisa bareng-bareng mengubah narasi perempuan dengan body hair,” kata Solana.
Selain bulu ketiak, body hair dapat meliputi bulu kaki, rambut di lengan, kumis tipis, rambut di punggung bagian bawah, rambut di dekat kuping, di buku-buku jari, hingga di area pubis. Semua ini berusaha dilenyapkan oleh kepentingan komersial. Perempuan yang cantik adalah yang tidak memiliki body hair, begitu kata pasar.
Padahal, obsesi akan badan perempuan mulus itu terbilang ‘baru’, kemungkinan dimulai di Barat awal 1900-an. Pada 1915, majalah fashion Harper’s Bazaar di Amerika Serikat mengiklankan perempuan dengan gaun tanpa lengan dan ketiak mulus, mengampanyekan bahwa rambut ketiak itu tidak bersih, tidak sehat, dan tidak feminin. Perang Dunia I turut menyebarkan ide ini di saat perempuan mulai memasuki dunia kerja dan mengenakan pakaian-pakaian yang lebih praktis, yang mungkin memperlihatkan area-area yang sebelumnya tertutupi.
Faktanya, keberadaan bulu ketiak tidak mengganggu secara medis maupun higienis. Bahkan, seperti rambut tubuh lainnya, fungsinya menjaga kulit, menstabilkan suhu tubuh, dan melindungi dari gesekan. Bulu ketiak juga tidak menghalangi pembersihan kulit di bawahnya. Sabun dan air dapat secara efektif membersihkan rambut dan kulit bersamaan. Banyak pula orang yang memiliki bulu ketiak melaporkan tidak ada perbedaan dalam bau badan dibandingkan ketika mereka mencukur.
Namun, sejarah mencatat, tubuh mulus terus dianggap ideal. Pada 1940, saat terjadi kelangkaan nilon yang digunakan untuk membuat parasut di Perang Dunia II, perempuan tidak mendapatkan stocking. Tebak apa yang terjadi? Alih-alih tampil alami dengan kakinya, mereka mewarnai kaki mereka hingga seperti memakai stocking. Kemudian, pada 1960, maraknya bikini memperbesar tekanan untuk mencukur bulu kaki dan rambut kemaluan.
Di Asia, Eropa Timur, dan daerah lainnya, kebudayaan menghilangkan body hair ini cenderung tidak ada sebelumnya. Body hair dianggap normal setidaknya sampai Abad ke-20 saat pengaruh budaya Barat meluas. Kini, di manapun sama saja. Yang terakhir dielu-elukan untuk menghilangkan rambut tubuh yaitu perawatan IPL (Intense Pulsed Light), yang sekaligus bisa mengubah warna dan tekstur kulit.
Kabar baiknya, melakukan yang sebaliknya, alias memelihara rambut tubuh, kini makin terlihat sebagai sebuah opsi. April (25) di Denpasar, Bali adalah salah satu yang terinspirasi melakukan hal tersebut setelah terlebih dulu melihat perempuan lain melakukannya.
“In my case, it’s Angeeta Sentana. Angee vokalis Grrrl Gang. Dia kan sering post selfie di Instagramnya. Beberapa kali aku lihat, ya, enggak cukuran gitu, dan keren-keren aja dia. Keren banget malah. Aura kepercayaan dirinya tuh terpancar,” jelas April kepada detikX.
Lebih lanjut April mengelaborasi, pergeseran ini menandai gerakan yang lebih umum soal body positivity dan penerimaan diri. Menurutnya, media sosial hari ini cukup mengakomodasi penampilan yang beragam, terlihat dari banyaknya pemengaruh, termasuk dari kalangan ‘orang biasa’, yang membagikan foto-foto yang dirasa dapat menantang standar kecantikan konvensional.
“Standar kecantikan itu mencerabut kita dari tubuh asli kita. Saat pertama kali mencoba jalan-jalan pakai sleeveless dan rambut ketiakku kelihatan, awalnya ya ada rasa canggung, tapi lama-lama kok nyaman. Nyamannya tuh karena menyadari, memang dari awal nggak ada yang salah dengan itu. Rambut ketiak nggak menjijikkan, dia tumbuh karena ada fungsinya juga,” jelas April.
Dari pengalaman ini, ia jadi punya komitmen untuk makin mendengarkan tubuhnya. Apalagi, April juga pernah mengalami perundungan sewaktu kecil karena rambut di kakinya cukup banyak. “Dibilang kaya cowok lah, kaya monyet lah. Udah pasti sempat nggak pede, tapi makin gede dan melihat makin banyak perempuan yang embrace dirinya apa adanya, bikin aku pede juga. Apa yang ada di tubuhku ya untuk kuterima, apalagi nggak mengganggu kesehatan,” ungkapnya.
Meski demikian, pungkas April, perlu dicatat bahwa apapun yang menyangkut tubuh, kuncinya tetap pilihan. Banyak perempuan masih lebih memilih untuk menghilangkan bulu ketiak ataupun body hair lainnya demi kenyamanan pribadi, preferensi estetika, atau alasan profesional, ini pun sama sahnya. Yang penting, semakin banyak ruang untuk kedua pilihan itu tanpa penghakiman.