Dikotomi Rivalitas AS-China: Ke Mana Indonesia Harus Berlabuh?

1 day ago 9

Jakarta -

Kompetisi antar-negara besar (Great Powers) di panggung politik global faktanya tidak bisa dihindari. Rivalitas negara-negara besar ini menjadi urusan geopolitik yang kompleks, sebab tidak hanya melibatkan pertarungan sengit di antara sesama mereka, namun juga sering menyeret jejaring negara kecil lainnya yang kini semakin terhubung satu sama lain (interdependensi) berkat aktivitas ekonomi pasar dunia.

Saat satu negara kecil tertentu memiliki hubungan dekat dengan salah satu di antara Great Powers, pesaing lainnya akan merasa terganggu. Negara kecil tersebut akan dicap berada di kubu lawan. Dan saat negara kecil lainnya menjalin hubungan intim dengan dirinya, Great Power yang menjadi 'patron aliansi' akan menganggap negara yang dimaksud sebagai potensi sekutu loyal di masa depan. Kondisi inilah yang kini dirasakan Indonesia di tengah persaingan sengit antara Amerika Serikat dan China. Semenjak China bangkit secara ekonomi, status China pun berubah. China kini menjadi satu-satunya penantang utama AS sebagai hegemon tunggal semenjak akhir Perang Dingin.

China kini terus berbenah. Bukan hanya dalam ekspansi kegiatan ekonomi, tapi juga militer. Di tengah kebangkitan China yang semakin tak terelakkan itu, dan di era ketidakpastian Trump dalam menavigasi kebijakan luar negeri AS, pertanyaan eksistensial bagi Indonesia menyeruak: haruskah Indonesia lebih memilih China? Benarkah bersekutu dengan China lebih menguntungkan, mengingat bersekutu dengan AS di bawah Trump tidak akan lebih mujur karena retorika-retorika Trump yang agresif semakin menurunkan pamor AS di panggung politik global.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, sebaliknya, China, yang semakin hari semakin terpacu mengejar ketertinggalannya dengan AS, saat ini membuka peluang ekonomi yang tidak kecil bagi masa depan pembangunan dan industrialisasi di Indonesia.

Godaan-godaan untuk melakukan persekutuan terhadap China sebagai raksasa ekonomi dunia itu semakin membuat rumit tarik ulur persekutuan di tengah rivalitas sengit kedua negara. Apalagi AS, di sisi lain, masih mengukuhkan status dirinya sebagai negara militer terkuat di dunia.

BRICS dan Lawatan Pertama Prabowo

Desas-desus kecenderungan keberpihakan Indonesia terhadap China faktanya makin santer terdengar walau samar-samar. Keanggotaan Indonesia di BRICS sering disebut-sebut sebagai bukti kuat keberpihakan tersebut. Selain itu, dipilihnya China sebagai negara pertama yang dikunjungi Prabowo dalam lawatan resminya sebagai presiden, juga sering dijadikan alasan yang mendasari argumen tersebut. Belum lagi kunjungan Perdana Menteri China, Li Qiang akhir-akhir ini semakin memperjelas keharmonisan hubungan kedua negara.

Meski begitu faktanya, keanggotaan Indonesia di BRICS, sebagaimana pernah saya paparkan di lain tulisan, tidak bisa dijadikan landasan bahwa Indonesia telah memilih China dalam keberpihakannya di tengah konstelasi politik global. Alih-alih, keanggotaan Indonesia di BRICS sebenarnya merupakan langkah penyeimbangan Indonesia terhadap hegemoni barat (Nurcholis, 2024). Sebab, selama ini, Indonesia lebih cenderung lekat dengan berbagai institusi multilateral yang diinisiasi AS seperti World Bank dan IMF. Indonesia juga memiliki kerangka kerja sama militer dengan AS seperti dalam program latihan bersama Garuda Shield. Bergabungnya Indonesia di BRICS, sebaliknya, lebih tepat jika disebut sebagai langkah penyeimbangan Indonesia untuk menghindari persepsi bahwa Indonesia sudah masuk ke dalam perhimpunan blok barat di Asia Tenggara.

Pendapat ini tentu berlebihan, tapi suara ini fakatnya pernah diutarakan oleh seorang kawan dari China, saat saya berkuliah di kota Qingdao, Provinsi Shandong. Dirinya meyakini bahwa Indonesia secara politik sebenarnya lebih dekat dengan AS dibanding China. Persepsi ini tampak wajar, sebab Indonesia dan AS memiliki sistem politik yang serupa. Sistem demokrasi yang Indonesia pilih memiliki akar yang kuat dari barat. Berbeda dengan China yang menganut komunisme.

Selain itu, hubungan Indonesia-China pernah memburuk di tahun 60-an, saat Suharto yang berkiblat ke barat memutus hubungan diplomatiknya dengan China di tahun 1967 akibat prahara politik dan dugaan infiltrasi China dalam kasus gerakan Gestapu (Storey, 2000).

Dengan berkaca pada kondisi aktual perbedaan ideologi dan fakta sejarah, sangat tidak logis jika kemudian menafsirkan keanggotaan Indonesia di BRICS sebagai langkah persekutuan Indonesia terhadap China. Padahal peristiwa kelam sejarah di masa lalu masih menghantui banyak elite politik dan militer Indonesia saat ini.

Ditambah, persepsi negatif masyarakat Indonesia terhadap China juga masih fluktuatif. Isu-isu sensitif seperti tenaga kerja asing China masih sering mewarnai jalannya dinamika politik dalam negeri. Belum lagi kasus-kasus lainnya, seperti dugaan diskriminasi Muslim Uighur, konflik Laut China Selatan, dan dugaan jebakan utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Semua masalah-masalah itu masih mendominasi wacana hubungan kedua negara. Persoalan-persoalan ini adalah hambatan yang tidak bisa dipandang remeh untuk dengan mudah mengambil kesimpulan terburu-buru bahwa Indonesia saat ini telah jatuh ke pelukan dan orbit kekuasaan China.

Kebijakan Pragmatis Prabowo

Baik keanggotaan Indonesia di BRICS maupun lawatan resmi kenegaraan pertama Prabowo ke China secara kalkulasi strategis lebih menggambarkan kebijakan pragmatis Indonesia di tengah harapan masuknya investasi besar mereka ke Indonesia.

Pemerintah Indonesia sadar kebangkitan ekonomi China merupakan peluang yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Unggulnya beragam perusahaan asal China di pentas global seperti Wuling, BYD, Xiaomi; dan kebutuhan pemerintah China untuk membuka pasar baru serta menempatkan investasinya di berbagai wilayah lain di dunia; adalah kesempatan besar bagi Indonesia.

Paling tidak, Indonesia bisa memanfaatkan kebesaran ekonomi China untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara. China bisa membantu segala kebutuhan investasi dalam negeri di tengah kebutuhan anggaran yang besar. Salah satunya APBN yang banyak tersedot untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dan tidak ada cara lain yang bisa mendorong semua peluang investasi China masuk ke Indonesia selain dengan melakukan pendekatan-pendekatan pragmatis. Langkah pragmatis adalah cara terbaik untuk meluluhkan hati pemerintah China, apalagi pemerintah China saat ini sedang membutuhkan kawan yang bisa dipandang setia dalam konfrontasinya dengan AS.

Keputusan Indonesia bergabung ke BRICS dan lawatan Prabowo ke China terjadi di momen yang tepat. Namun tentu saja, langkah pragmatis Indonesia yang selama ini ditampakkan, juga harus dilakukan dengan awas untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk agar Indonesia tidak dituduh telah benar-benar menjalin persekutuan formal dengan China.

Karena itu, keputusan Indonesia untuk melakukan negosiasi tarif atas kebijakan perang tarif Trump merupakan langkah cerdas dan jitu dibanding jika Indonesia melakukan tarif balasan seperti yang dilakukan China. Keputusan tersebut, setidaknya tidak semakin mengkristalisasi dugaan arah persekutuan Indonesia-China saat ini.

Pentingnya Menjaga Keseimbangan

Sebab, jika dugaan tersebut semakin nyata, sulit bagi Indonesia untuk memainkan perannya sebagai pemimpin tradisional non-blok yang konstruktif. Terhitung sejak inisiasi Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, hingga keterlibatan pemerintah Jokowi dalam mediasi konflik Rusia-Ukraina, peran Indonesia untuk selalu terlibat dalam menjaga perdamaian dunia amat signifikan.

Riwayat panjang eksistensi Indonesia adalah sejarah yang selalu lekat dengan retorika politik tanpa aliansi. Karena itu, mengingat kondisi persaingan yang semakin hari semakin sengit antara AS-China, Indonesia harus terus menerus mengamalkan retorika politik netralitas tersebut. Alih-alih terjebak dalam keberpihakan, Indonesia harus memanfaatkan momen rivalitas ini untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional.

Indonesia harus mahir membaca peluang strategis yang diciptakan dari adanya persaingan intens AS-China dan mewujudkannya ke dalam langkah konkrit. Menjadi aktor yang pragmatis dalam kancah politik global bukanlah sebuah aib. Indonesia harus mampu mengeksploitasi ketenarannya sebagai aktor yang netral demi kemajuan ekonomi bangsa. Indonesia dapat mendekati kedua-duanya dan melakukan bargaining politik untuk bisa menarik invetasi sebesar-besarnya dari kedua negara.

Dengan China, Indonesia dapat menawarkan peluang keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan China jika mendirikan pabrik di Indonesia. Apalagi pasar Indonesia sangat begitu atraktif terhadap barang-barang buatan China yang terkenal murah. Indonesia juga bisa memanfaatkan jejaring pengusaha Tionghoa untuk membantu proses pendekatan elemen pemerintah dan kalangan bisnis. Hal ini penting untuk meningkatkan kepercayaan para pengusaha China berinvestasi di Indonesia.

Dengan pemerintah AS, Indonesia bisa memberikan keyakinan kepada mereka bahwa posisi Indonesia sebagai negara muslim demokrasi terbesar di dunia juga berbagi nilai yang sama tentang nilai-nilai demokrasi liberal. Kesamaan ideologi seharusnya mempermudah jalinan kerja sama di antara keduanya. Karena itu, kehadiran AS secara ekonomi di Indonesia harus semakin ditingkatkan. Kohesi ekonomi Indonesia-AS yang semakin dekat akan lebih memperkuat tali persahabatan keduanya.

Inilah hal mendasar yang harus Indonesia lakukan. Bahwa kepentingan ekonomi merupakan kepentingan prioritas Indonesia saat ini. Dan rivalitas AS-China membuka peluang yang besar untuk dapat dimanfaatkan.

Ahmad Nurcholis, Dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial