Di tahun 2025 ini, kalender kerja di Indonesia tampak lebih merah dari biasanya. Khususnya pada bulan Mei dan Juni, masyarakat disambut deretan hari libur dan cuti bersama yang memecah ritme kerja nyaris setiap pekan. Kombinasi hari besar keagamaan dan kebijakan cuti bersama dari pemerintah menjadikan bulan-bulan ini terasa seperti festival waktu luang nasional.
Mei 2025 saja mencatat lima hari libur tambahan di luar akhir pekan biasa: 1 Mei (Hari Buruh Internasional), 12 Mei (Hari Raya Waisak), 13 Mei (Cuti Bersama Waisak), 29 Mei (Kenaikan Isa Almasih), dan 30 Mei (Cuti Bersama Kenaikan Isa Almasih). Libur yang jatuh di awal dan akhir pekan membuat banyak pekerja menikmati rangkaian long weekend beruntun. Namun, di balik kalender merah yang tampak menggoda, tidak semua orang bisa benar-benar menikmati.
Aroma kopi hitam menyebar dari cangkir Kirana Ayu Lestari saat dia menatap kalender digital di layar laptopnya. Tanggal 13 Mei 2025 berwarna merah, menandakan hari cuti bersama Waisak. Namun tidak ada yang istimewa bagi Kirana pagi itu. Tidak ada rencana jalan-jalan, tidak juga waktu untuk bersantai. Di sektor dunia kerja F&B alias Food and Beverage yang ditekuninya, tanggal merah itu hanyalah tanggal biasa.
“Sebenarnya aku senang kalau ada cuti bersama, apalagi buat kesehatan mental. Tapi kenyataannya, kami di swasta tetap masuk, apalagi F&B kayak saya, yang ada kalau libur masuk terus. Kalau mau libur, ya, harus potong cuti pribadi,” keluh Kirana yang berkantor di Jakarta Selatan.
Namun, cuti bersama tidak serta-merta berlaku universal. Kebijakan ini umumnya diikuti oleh instansi pemerintah dan BUMN, sedangkan perusahaan swasta diberikan kewenangan untuk menyesuaikan. Sifat cuti bersama bagi pekerja sektor swasta adalah tidak wajib. Perusahaan swasta bebas menentukan apakah akan meliburkan karyawannya atau tidak pada saat cuti bersama tanpa adanya konsekuensi hukum. Di sinilah kesenjangan muncul.
“Kalau dihitung-hitung, cuti bersama itu hanya menguntungkan segelintir kelompok. Pemerintah dan BUMN bisa full libur. Kami? Harus pintar-pintar hitung hari,” ujar perempuan berusia 27 tahun ini. “Padahal, cuti bersama itu sebenarnya bagus. Ada jeda buat napas. Tapi kenapa hanya sebagian yang bisa napas?”
Bima Arya seorang staf bagian logistik di perusahaan distribusi makanan beku, justru mendapat jatah libur penuh selama cuti bersama. Tapi bukan berarti ia bahagia. Laki-laki berusia 40 tahun itu merasa cuti bersama malah menjadi beban tak perlu. Karena tidak ada perayaan keagamaan yang relevan baginya pada bulan Mei-Juni, ia merasa tidak perlu-perlu amat ikut serta dalam ibur cuti bersama.
“Saya nggak masalah kerja. Malah lebih baik kerja pas cuti bersama,” kata Bima yang berdomisili di Menceng, Jakarta Barat. “Masalahnya, ini libur dipaksakan. Nggak semua orang butuh libur di tanggal-tanggal itu.”
Tidak jalan-jalan bersama keluarga, tadinya Bima mau memanfaatkan libur cuti bersama Waisak pada tanggal 13 Mei 2025 untuk memperpanjang STNK di Samsat Jakarta barat. Ia pikir hari libur adalah momen tepat mengurus keperluan administrasi. Namun kenyataannya, kantor layanan publik ikut tutup.
“Pas saya ke sana malah tutup. Lucu saja, harusnya kayak ASN atau PNS itu malah buka 24 jam, kan, mereka pelayan publik. Lha ini malah ikutan libur bareng. Saya rugi waktu, cuti tahunan saya kepotong juga,” ucapnya.
Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), cuti bersama tidak mengurangi jatah cuti tahunan. Ketentuan ini diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Cuti Bersama bagi Pegawai ASN Tahun 2024. Sementara itu, berbeda dengan ASN, pegawai swasta harus merelakan jatah cuti tahunannya berkurang karena cuti bersama dihitung sebagai bagian dari cuti tahunan.
Ketentuan ini merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri PANRB, masing-masing Nomor 855, 3, dan 4 Tahun 2023, yang mengatur Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2024.
Mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 1017, 2, dan 2 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025, masyarakat Indonesia mendapatkan total 27 hari libur sepanjang tahun ini. Jumlah tersebut terdiri dari 17 hari libur nasional dan 10 hari cuti bersama. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca-pandemi, frekuensinya liburan meningkat. Pemerintah kerap menjadikan cuti bersama sebagai alat penggerak ekonomi melalui sektor wisata dan konsumsi domestik.
Tahun ini, Bima mendapat jatah 12 hari cuti tahunan dari kantornya. Namun karena kebijakan perusahaan menetapkan bahwa cuti bersama dipotong dari jatah cuti tahunan, praktis 10 hari sudah terpakai otomatis. Sisa dua hari, jelas tak cukup untuk liburan yang benar-benar puas.
“Kalau nanti anak saya liburan sekolah, saya udah nggak punya cuti. Gimana mau nemenin?” tambah Bima yang memiliki seorang putri berusia 10 tahun.
Tak hanya itu, Bima juga mengkritik dampak kebijakan ini terhadap anaknya, seorang siswi kelas 4 SD. Menurutnya, terlalu banyak libur membuat ritme belajar anaknya terganggu. “Anak saya jadi susah bangun pagi. Tiap minggu ada aja tanggal merah. Sekolah itu penting, bukan cuma akademik tapi disiplin juga,” kata Bima.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai bahwa cuti bersama sejatinya merupakan hak milik pegawai. Menurutnya, hak cuti idealnya berada di tangan pegawai, bukan menjadi wewenang perusahaan. Ia juga menyoroti perlunya evaluasi dari pemerintah atas kebijakan cuti bersama yang berlaku saat ini.
"Kalau hak itu diberikan, silakan mereka mau mengambil (cuti) atau tidak. Kalau ada usulan untuk disamakan, menurut saya akhirnya tidak tepat dua-duanya. Hak pegawai berkurang, ekonomi juga tidak jalan," kata Tauhid.
Tauhid juga menegaskan bahwa penerapan cuti bersama seharusnya tidak dilakukan di semua momen dalam setahun. Menurutnya, hanya ada dua periode yang layak dijadikan prioritas untuk cuti bersama. Lebih lanjut Tauhid bilang, idealnya cuti bersama tidak perlu diterapkan di semua momentum. Ia bilang, ada dua momentum yang dijadikan prioritas untuk pemberlakuan cuti bersama, yakni hari raya Idulfitri, dan Natal serta tahun baru.
Selain itu, ia menyarankan agar kebijakan cuti di luar dua momen utama tersebut dikembalikan pada hak masing-masing pegawai. Hal ini dinilai akan lebih baik untuk menjaga kestabilan ekonomi dan mengurangi potensi kerugian produktivitas."Yang lainnya (kebijakan cuti) biarkan itu kembalikan ke hak pegawai. Jadi ekonomi masih menentu, dan bisa dikurangi kerugiannya," terangnya.