Beijing -
Sehari setelah tercapainya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan China untuk menurunkan tarif secara signifikan selama 90 hari, Presiden China Xi Jinping mengkritik tindakan "perundungan" dan hegemoni negara besar, yang secara terselubung merujuk pada Amerika Serikat (AS).
Sindiran ini disampaikan saat berbicara di hadapan para pemimpin Amerika Latin dan Karibia pada Selasa (13/05) di Beijing dalam Forum China-CELAC (Community of Latin American and Caribbean States).
Xi menilai bahwa tindakan tersebut dapat mengarah pada isolasi internasional. Ia menegaskan bahwa dunia sedang menghadapi perubahan besar yang penuh risiko, dan untuk itu diperlukan kerjasama internasional, bukan politik konfrontatif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hanya melalui persatuan dan kerjasama antar negara, kita dapat menjaga perdamaian dan stabilitas global serta mendorong pembangunan dan kemakmuran dunia," kata Xi dalam pembukaan acara.
Xi serukan dialog setara di hadapan Pemimpin Amerika Latin
Xi Jinping memperingatkan bahaya dari perang dagang dan kebijakan sepihak dalam pidatonya di Forum China-CELAC di Beijing. "Tidak ada pemenang dalam perang tarif atau perang dagang," kata Xi, menekankan bahwa "perundungan dan hegemoni hanya akan berujung pada isolasi diri."
Xi menggambarkan dunia saat ini tengah mengalami perubahan besar yang dipenuhi risiko tumpang tindih dan menyerukan kerja sama global sebagai kunci menjaga stabilitas dan kemakmuran.
Dalam forum yang dihadiri pemimpin seperti Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva dan Presiden Kolombia Gustavo Petro, Xi juga menjanjikan dana sebesar $ 9,2 miliar (sekitar Rp 147,2 triliun) untuk pembangunan di Amerika Latin.
Dalam forum tersebut hadir Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva dan Presiden Kolombia Gustavo Petro. Petro menyatakan niat Kolombia untuk bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI), dan menyerukan "dialog antarperadaban" yang setara dan bebas dari otoritarianisme serta imperialisme.
"Dibutuhkan dialog horizontal, bukan vertikal, agar tidak terjebak dalam relasi dominasi," ujar Petro.
Sementara itu, Presiden Chile Gabriel Boric menegaskan bahwa negaranya siap melangkah lebih jauh dalam hubungan ekonomi dengan China. Kini, dua pertiga negara Amerika Latin telah bergabung dengan BRI, dan China telah menggantikan posisi AS sebagai mitra dagang terbesar bagi Brasil, Peru, dan Chile.
Pasar global sambut positif perang tarif AS-China mereda
Di sisi lain, ketegangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat mulai mereda. Hanya sehari sebelumnya, kedua negara sepakat untuk mengurangi tarif timbal balik selama 90 hari, yang oleh Donald Trump disebut sebagai "reset total". Dalam kesepakatan ini, AS sepakat menurunkan tarif pada barang-barang China menjadi 30% dari sebelumnya 145%, sementara China akan mengurangi tarifnya menjadi 10% dari 125%.
Kesepakatan ini menandai meredanya eskalasi besar-besaran dari perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia, yang sebelumnya mengguncang pasar global. Dolar AS melonjak terhadap yen, euro, dan franc Swiss sesaat setelah kesepakatan diumumkan, meskipun pada Selasa pagi (13/05) sedikit mengalami pelemahan.
Keputusan kedua negara untuk menurunkan tarif disambut positif di pasar global. Saham Asia melonjak, indeks Nikkei Jepang naik 2% dan saham teknologi di Taiwan yang mengalami kenaikan serupa.
Indeks MSCI Asia Pasifik tercatat mencapai level tertinggi dalam enam bulan, sementara S&P 500 dan Nasdaq di Wall Street juga mencatatkan kenaikan signifikan setelah pengumuman tersebut.
Optimisme jangka pendek
Beberapa analis menilai bahwa optimisme yang muncul dari perbaikan retorika antara Amerika Serikat dan China, dengan penggunaan istilah seperti "saling menghormati" dan "martabat"—lebih bersifat jangka pendek. Meskipun suasana dialog kini terasa lebih kooperatif dan diplomatis, tantangan struktural yang lebih dalam tetap ada, khususnya terkait kebijakan perdagangan yang masih membebani perekonomian global.
Salah satu elemen kunci yang menjadi perhatian adalah keberlanjutan tarif impor yang masih diberlakukan. Menurut Fitch Ratings, tarif efektif AS saat ini tercatat sebesar 13,1%.
Angka ini memang menunjukkan penurunan signifikan dari level 22,8% sebelum tercapainya kesepakatan tertentu antara kedua negara, namun tetap jauh di atas level 2,3% yang dicapai pada akhir 2024. Artinya, meskipun nada diplomatik telah berubah, dampak ekonomi dari kebijakan proteksionis belum benar-benar mereda.
Tarif yang tinggi ini berpotensi menekan arus perdagangan global, menaikkan biaya produksi, dan memicu ketidakpastian di kalangan pelaku usaha dan investor. Ini bisa menghambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan memperlambat laju pertumbuhan global, terutama di sektor-sektor yang sangat bergantung pada rantai pasok internasional.
Dengan demikian, meskipun nada hubungan bilateral AS-China kini lebih positif, para analis tetap mewanti-wanti bahwa fondasi hubungan tersebut belum berubah secara fundamental. Investor disarankan untuk tetap waspada terhadap potensi volatilitas di pasar, khususnya jika terjadi perubahan mendadak dalam kebijakan atau jika ketegangan kembali mencuat.
Artikel ini diadaptasi oleh Tezar Aditya melalui sumber Reuters dan AFP
Editor: Rahka Susanto
(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini