PM Anthony Albanese mengumumkan kabinet barunya, setelah Partai Buruh memenangkan pemilihan umum tahun ini yang digelar 3 Mei lalu.
Partai Buruh perlu mewujudkan janji-janjinya, termasuk untuk meringankan biaya hidup warga di Australia di tengah kenaikan harga barang-barang dan jasa.
Sejumlah warga diaspora Indonesia menaruh harapan banyak terhadap pemerintahan baru PM Albanese, seperti yang disampaikan Risdy Wells.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risdy, warga asal Yogyakarta yang sudah tinggal di Australia selama sembilan tahun, bekerja sebagai 'educational leader' di salah satu pusat penitipan anak di Brisbane.
Ia mengatakan sebanyak 80 persen karyawan di tempat kerjanya adalah migran, karenanya kebijakan migrasi di Australia menjadi salah satu perhatiannya.
Dalam anggaran yang diajukan bulan Maret lalu terungkap pemerintah Partai Buruh berencana untuk mengurangi angka migrasi.
"[Australia] menjadi sangat multikultural ... sangat bergantung sama orang-orang yang bermigrasi ke Australia," ujarnya kepada Tri Ardhya dari ABC Indonesia.
"Kalau misalnya dipotong [jumlah migrannya], saya rasa akan sangat berpengaruh pada staf yang mau bekerja di childcare karena saat ini saja kita sangat kekurangan staf."
Menurutnya, meski Partai Buruh ingin mengurangi jumlah pendatang dari negara lain, jumlahnya "tidak signifikan" dan "tidak sekontroversial Partai Liberal."
Peter Dutton, pemimpin oposisi dari Partai Liberal, yang bersaing memperebutkan kursi perdana menteri, sempat berencana untuk memangkas jumlah migrasi lebih banyak lagi, sampai rencananya dianggap mirip kebijakan Donald Trump yang anti-imigran.
Risdy juga mengatakan pemerintah Austalia perlu "mengintervensi sektor industri childcare."
"Sejak dahulu yang disuarakan oleh pekerja childcare adalah gaji, karena sampai sekarang pun orang Australia melihat childcare itu ... tidak dapat uang banyak," katanya.
"Kalau misalkan gajinya ditambah nanti akan menarik perhatian warga Australia untuk bekerja dan belajar [bidang] childcare."
Partai Buruh berjanji untuk mendanai industri childcare hingga AU$1 miliar dan membangun serta memperluas sekitar 160 penitipan anak selama empat tahun.
Jessica Santosa, ibu yang memiliki dua anak dan sudah tinggal di Australia selama 10 tahun, mengatakan penambahan jumlah tempat penitipan anak "tidak terlalu berpengaruh."
"Akan lebih berpengaruh kalau ada subsidi pemerintah langsung ke daycare sehingga harga di daycare menjadi lebih terjangkau," ujarnya.
"Harapan lain parental payment [bantuan dari Centrelink] ditambahin. Karena sepertinya standar hidup [yang digunakan] Centrelink lebih rendah daripada standar hidup di kehidupan nyata."
Berharap fasilitas kesehatan ditambah
Partai Buruh juga berkomitmen untuk menggelontorkan dana hingga AU$ 8,5 miliar untuk layanan kesehatan Medicare.
Medicare adalah program layanan kesehatan publik, sejenis BPJS di Indonesia, namun dengan sistem yang berbeda.
Dengan jumlah sebesar AU$8.5 miliar diharapkan sembilan dari 10 kunjungan ke 'general practitioner' (dokter umum) bisa dilakukan dengan cara 'bulk billing', di mana warga tidak perlu menanggung seluruh biaya.
Pakest kesehatan juga termasuk memberikan pelatihan bagi perawat dan 2.000 dokter umum baru setiap tahunnya.
Janji ini sejalan dengan harapan Jessica agar fasilitas kesehatan diperbanyak.
"Karena berdasarkan pengalaman pribadi, untuk dapet appointment [janji] dengan dokter di rumah sakit nunggu-nya lama banget. Bisa berbulan-bulan," katanya.
Kenaikan harga visa mahasiswa dianggap memberatkan
Partai Buruh juga pernah menyebut akan menaikkan harga visa mahasiswa internasional, dari AU $1.600 (Rp 16 juta) menjadi AU$ 2.000 (Rp 20 juta).
Hal yang sama juga diajukan saingannya, Partai Liberal, yang pernah menyebutkan rencana menaikkan biaya aplikasi visa pelajar menjadi AU$ 5.000 (Rp 50 juta) untuk mereka yang mau kuliah di Group of Eight, dan AU$ 2.500 (Rp 25 juta) untuk mahasiswa internasional lainnya.
Langkah yang diambil kedua partai besar ini dianggap sebagai upaya untuk mengurangi jumlah pelajar internasional dan beban migrasi.
Kezia Laudya Susila, mahasiswi asal Semarang di Australia, mengatakan keputusan menaikkan harga visa ini tidak masuk akal.
"Kalau buat kami international student [mahasiswa internasional] pasti berat," katanya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Awalnya saja dari AU$ 700 (Rp 7 juta), sekarang jadi AU$ 1.600, [dan akan] naik lagi AU$ 2.000."
Kezia yang sedang mendalami ilmu 'pastry' di William Angliss Melbourne berencana untuk mengambil kursus baru sehingga harus mengajukan visa lagi.
Meski keputusannya belum bulat, ia berencana untuk mengajukannya lebih awal untuk menghindari kenaikan harga.
Kezia tidak ingin mengulang pengalaman pertamanya saat mengurus visa mahasiswa.
"[Dulu] waktu saya apply [mengajukan] itu baru banget dinaikkan, kayak seminggu setelah dinaikkan, saya baru apply, makanya itu saya merasakan," katanya.
"Sebenarnya enggak harus tahun ini, cuman saya kepikirannya karena kalau saya tunggu sampai aku selesai course ini nanti kalau visa student-nya naik lagi malah rugi rasanya."