Ilustrasi: Edi Wahyono
Senin, 12 Mei 2025
Basuki—bukan nama sebenarnya—awalnya tak ambil pusing dengan antrean orang di depan ruko bertulisan 'World' di pinggir Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat. Setiap pagi, ia mendorong gerobak batagor ke trotoar tak jauh dari ruko tersebut, tempat ia biasa mangkal.
Namun, sejak awal Maret, antrean orang makin mengular di depan ruko itu. Bukan karena batagornya, melainkan lantaran sebuah alat bulat seperti bola logam berkilau yang katanya bisa 'membaca mata'.
Basuki tak tahu itu apa. Namun, sejak orang-orang makin sering datang, dagangannya makin laris.
“Lha, saya malah seneng. Yang penting laku, terus setiap orang beli ke sini, mereka cerita dapat uang Rp Rp 200-300 (ribu),” kata laki-laki berusia 49 tahun itu kepada detikX, sembari memotong batagor.
Baru belakangan ia paham, mereka rela memindai iris mata dan data biometrik lainnya demi token kripto Worldcoin (WLD). Token dari Tools for Humanity (TFH) itu bisa ditukarkan menjadi uang rupiah digital. Mulanya Basuki tak tertarik, tapi hampir semua orang yang berjualan di sekitar ruko tersebut, termasuk karyawan toko-toko sekitar yang ia kenal, telah mencobanya. Beberapa di antaranya akhirnya meyakinkan Basuki untuk turut serta supaya dapat duit.
“Katanya nggak perlu pakai KTP kan, terus saya pikir, oh ya aman ini ya berarti, lumayan kan dapat Rp 300 ribu,” tutur Basuki. Ia menambahkan, bahkan hasil jualan batagor yang ia bawa pulang sehari-sehari tak sampai sebanyak itu.
Biasanya, jika sepi sekali, ia hanya membawa upah kotor Rp 70 ribu. Paling ramai Rp 200 ribu, itu pun cukup jarang dan hanya terjadi pada masa antrean ramai seperti di ruko pemindai retina beberapa bulan lalu.
Basuki hanya bertugas menjual batagor. Gerobak dan barang dagangan merupakan usaha orang lain. Padahal ia harus membawa pulang uang untuk membayar listrik, kontrakan, makan, dan kebutuhan lainnya. Untungnya, istrinya turut bekerja sebagai pekerja rumah tangga untuk membantunya.
Basuki pun lantas mencobanya, dibantu karyawan Worldcoin cabang ruko tersebut, ia mengunggah aplikasi di ponselnya. Entah pakai e-mail siapa, akun Basuki sudah siap. Retina matanya dipindai beberapa menit. Setelah itu, karyawan menyarankan Basuki mencairkan uang melalui aplikasi dompet digital alih-alih rekening agar lebih cepat.
Orb, alat yang digunakan untuk memindai data generik retina mata.
Foto: World.org
“Saya cairkan uang itu ke dompet digital istri saya. Karena saya kan nggak punya akun apa-apa. Lumayan, awal dapat Rp 250 ribu, sebulan selanjutnya Rp 50 ribu,” jelas Basuki.
Saat proses pencairan uang tersebut, Basuki harus kembali memindai mukanya secara keseluruhan. Uang Basuki pun cair 24 jam setelah itu, terpaut beberapa hari sebelum Lebaran 2025, menjadikannya bekal THR untuk istrinya. Basuki pun mengajak istrinya melakukannya, tapi istrinya menolak. Anak dan menantunya setuju untuk ikut memindai retina. Mereka mencairkan uang masing-masing Rp 200 ribu dan Rp 150 ribu.
“Di sini siapa yang nggak mau, bisa dapat uang segitu dengan cepat. Kan nggak gampang cari uang segitu, tapi sekarang aplikasinya sudah saya hapus. Saya heran, kok baru setelah viral pemerintah ngasih tahu ini aplikasi nggak aman,” tandasnya.
Sebelum Worldcoin berhenti beroperasi, ratusan orang datang ke ruko di Jalan Margonda Raya tersebut. Setidaknya 500 orang telah memindai di sana, menurut Basuki setelah berbincang dengan satpam ruko itu.
Husni—bukan nama sebenarnya—yang bekerja di sebuah toko tak jauh dari ruko Worldcoin tersebut, juga telah memindai retinanya. Husni tak terlalu paham soal teknologi, apalagi yang berhubungan dengan pemindai iris yang sedang ramai di depan ruko itu.
Namun, dengan gaji yang tak seberapa dan kebutuhan rumah yang terus meningkat, ia merasa terpaksa mencoba.
“Cuma scan mata, cuma sebentar, cuma buat bantu biaya sehari-hari,” kata laki-laki berusia 23 tahun itu mengulang kata temannya yang sudah terlebih dahulu melakukannya.
Gaji yang ia terima tak cukup untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah dan menyekolahkan adiknya. Jadi, saat tawaran itu datang, Husni tak ragu. Begitu selesai, ia menerima uang yang cukup untuk membantu sedikit beban ekonomi bulan itu.
“Ya kalau sekarang baru tahu itu dibilang nggak aman, ya cukup menyesal, tapi saat itu ya banyak orang mencoba. Antre sampai kelihatan dari tempat saya kerja. Jadi saya pikir ya hal biasa saja, seramai itu masak penipuan,” tandasnya.
Sedangkan Nadia—bukan nama sebenarnya—mendengar scan retina dari kawan-kawannya yang sudah mencoba duluan. Mereka memberi tahu Nadia, yang saat ini memang sedang menganggur dan tak punya pemasukan, untuk turut serta.
“Temanku sudah pada dapat tuh, Rp 150-200 ribu, nah terus aku itu diajari temanku buat unduh kan. Lumayan banget uang segitu, kan sekarang kondisi juga lagi sulit,” kata perempuan berusia 22 tahun itu kepada detikX.
Sehari-harinya, setelah terkena PHK tahun lalu, Nadia, yang merupakan lulusan SMA, tak kunjung mendapat pekerjaan pengganti. Tak ada pilihan, kebutuhan sehari-harinya terpaksa ikut orang tuanya, tapi ia membantu menjaga keponakan dan mengantarnya ke sekolah untuk sesekali mendapat uang pegangan.
“Aku buat janji itu di Kemayoran, di cabang itu yang memang dekat rumahku, disesuaikan dengan saran di aplikasi. Nah, itu pas sebelum scan itu, saya dijelasin, tapi saya nggak terlalu dengerin. Itu intinya jelasin tentang World-nya itu di layarnya,” tutur Nadia, yang mencobanya pada April lalu.
Nadia menukarkan koin yang ia dapatkan melalui aplikasi Worldcoin tersebut melalui dompet digitalnya. Alhasil, ia juga memasukkan nomor virtual account (VA) agar dapat menukarkan koin dalam bentuk rupiah.
Di samping itu, ketika mendaftar akun untuk aplikasi Worldcoin, data, seperti e-mail dan alamat, wajib disertakan. Namun, ketika pencairan koin, ternyata ia harus memasukkan tanggal lahir dan verifikasi pemindaian seluruh muka.
“Saya dapatnya kan Rp 308 ribu, tetapi kepotong gitu, jadinya Rp 281 ribu saja. Hari gini siapa yang mau ngasih uang segitu. Tapi saya sejujurnya juga nggak tahu itu nanti buat apa scan retina. Tapi sekarang saya jadi takut sih lihat-lihat komen di TikTok itu,” tutur Nadia.
Sedikit berbeda dengan Nadia dan Husni, Agung Abdillah mencoba ikut memindai retinanya karena termotivasi dari seorang tokoh politik, yaitu Cak Imin. Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar itu sudah terlebih dahulu memindai retinanya.
“Sebut saja Cak Imin ya, dia melakukan scan mata untuk membuat World ID. Nah, saya penasaran, saya lihat-lihat katanya untuk alat transaksi di masa depan. Nah, udah gitu, infonya dapat koin gratis kan, yang bisa dicairkan. Wah, lumayan juga, ya udah, saya cari tahu gimana daftarnya,” cerita laki-laki berusia 28 tahun itu kepada detikX.
Komponen Orb, alat yang digunakan untuk memindai data generik retina mata.
Foto: World.org
Ia membuat janji di cabang Bundaran Senayan. Ia merasa lega karena tak perlu menyerahkan KTP. Karyawan saat itu tak menjelaskan apa-apa dan langsung meminta Agung berdiri di depan Orb—perangkat pemindai retina. Sehari kemudian, uang Rp 300 ribu masuk ke kantongnya. Dua bulan setelahnya, imbalan itu turun jadi Rp 50 ribu per bulan. Kini total yang ia kantongi Rp 400 ribu.
Uang itu ia gunakan untuk membeli bensin untuk pergi bekerja. Biasanya, untuk membeli bensin, Agung harus bekerja sampingan sebagai kurir makanan online. Pendapatan UMR dari pekerjaan utamanya sebagai teknisi internet sudah habis untuk kebutuhan rumah tangga.
“Ya saat itu mikir-nya amanlah, orang ada tokoh terkenal yang ikut, negara kan nggak melarang kan, ya berarti aman-aman saja. Kalau aplikasi lain kan malah pakai KTP,” jelas Agung.
Indonesia tengah menghadapi kontroversi terkait proyek Worldcoin, yang menawarkan imbalan uang. Mereka menukarnya dengan memindai iris mata dan data biometrik lainnya guna membuat identitas digital bernama World ID.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menangguhkan operasi Worldcoin di Indonesia karena kekhawatiran atas pengumpulan dan penyimpanan data biometrik tanpa izin yang jelas. Ada sekitar 500 ribu data retina warga Indonesia yang telah dikumpulkan.
Founder Pusat Inovasi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi untuk Demokrasi (PIKAT), Damar Juniarto, menyayangkan pembekuan operator Worldcoin yang baru dilakukan setelah viralnya pemindaian retina tersebut.
Pemberian akses terhadap retina seseorang, menurut Damar, sama artinya dengan memberikan tanda tangan berupa sidik jari—suatu penanda keabsahan atau legalitas masing-masing orang. Hal itu dapat merugikan kalau ke depannya currency retina akan semakin digunakan sebagai alat validasi dalam aktivitas ekonomi dan lainnya.
“Jadi, kalau ada pihak ketiga nanti yang gunakan validitas retina mata kita untuk aktivitas ekonomi atau aktivitas lain yang nantinya merugikan kita, kita nggak bisa klaim karena kita sudah pernah memberikan pada suatu masa yang lalu ya itu. Misalnya yang sudah memberikan data retina mata kepada pihak Worldcoin, itu tidak bisa melakukan klaim bilamana ada penyalahgunaan atau misalnya,” terang Damar.
Dari peristiwa ini pula, menurut Damar, terkuak pekerjaan rumah besar bersama untuk memperkuat regulasi dan meningkatkan literasi keamanan data pribadi.
Reporter: Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim