Jakarta -
Pada Rabu pagi yang tenang, Elon Musk tiba-tiba mem-posting sebuah gambar AI dirinya di X, platform media sosial yang dimilikinya. Dalam gambar tersebut, Musk tampak gagah memberi hormat kepada bendera Amerika di bawah langit berwarna merah muda berdebu. Caption-nya berbunyi, "Pagi telah tiba di Amerika lagi,"—mengutip slogan kampanye era Reagan, namun dengan sentuhan ironi. Amerika versi Musk ini tampak lebih mirip eksperimen media sosial pribadinya dibandingkan republik yang bersatu ala 1980-an.
Momen ini menjadi klimaks dari kiprah Musk yang tiba-tiba mendukung penuh pemilihan ulang Donald Trump sebagai presiden. Dalam beberapa minggu terakhir, miiarder eksentrik ini melompat dari satu aksi ke aksi lainnya dalam putaran politik yang menggila. Ia hadir penuh semangat di salah satu rapat umum Trump, konon mengucurkan dana hingga 100 juta dolar AS dari kantong pribadinya untuk sebuah super PAC pro-Trump, dan menutup malam pemilihan dengan berkumpul di West Palm Beach bersama Trump, seperti pesta malam pribadi nan mewah untuk kaum super-kaya.
Apa yang mungkin dimulai sebagai "disrupsi" politik oleh Musk berubah menjadi tontonan besar yang mirip acara reality show—dengan dirinya sebagai pembawa acara sekaligus sponsor. Setiap gerakan dan aksi besarnya di media sosial membuat para penggemar maupun pengkritiknya terpaku, bertanya-tanya apakah mereka sedang menyaksikan seorang miiarder eksentrik yang benar-benar mendukung pemimpin idamannya atau sekadar menyaksikan meme terbesar yang pernah digelar secara langsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pidato kemenangan, Trump memberikan perhatian khusus pada Elon Musk. "Kita punya bintang baru," katanya dengan penuh semangat. "Sebuah bintang telah lahir—Elon!"
Sebagai orang terkaya di dunia dengan kekayaan sekitar 290 miliar dolar AS, Musk memang punya banyak alasan untuk mendukung pemerintahan Trump. Banyak perusahaan yang dimilikinya, seperti Tesla, SpaceX, dan Starlink, bergantung besar pada subsidi pemerintah. Dan, manfaatnya sudah mulai terlihat—nilai investasinya di pasar saham melonjak lebih dari 26 miliar dolar AS pada 6 November. Dengan pemerintahan yang bersahabat, Musk bisa terus menambah kekayaannya dan memperkuat posisinya, sementara ia menggunakan platform X sebagai corong besar untuk mendukung para sekutunya.
Dari sisi Musk, dukungan ini mungkin bukan hanya soal politik, tetapi juga soal memperluas pengaruh dan kekuasaannya, mengingat banyak proyek ambisiusnya yang selaras dengan kebijakan pemerintah. Bagi Musk, ini adalah panggung besar untuk memainkan peran utama di balik layar, sambil memastikan pemerintah terus berada di pihaknya—atau setidaknya di bawah cengkeraman pengaruhnya yang semakin kuat.
Musk, yang memegang kendali atas beberapa perusahaan terbesar di Amerika Serikat—Tesla, SpaceX, dan Starlink—berada di posisi strategis untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan federal. Beberapa analis berpendapat bahwa keuntungan finansial yang Musk peroleh dari subsidi pemerintah dan kontrak federal menjadi motivasi utama di balik dukungannya terhadap Trump. Dukungan tersebut diyakini dapat menciptakan kondisi politik yang kondusif bagi pertumbuhan usahanya dan menjamin kucuran dana pemerintah yang stabil untuk proyek-proyeknya (Brown, 2022). Selain itu, Musk juga diuntungkan oleh kebijakan pajak dan deregulasi di era pemerintahan sebelumnya yang banyak meringankan beban korporasi besar (Doyle, 2021).
Keberadaan Musk di X (sebelumnya Twitter) memperkuat pengaruhnya dalam membentuk opini publik dan menciptakan persepsi. Para pakar media mengakui bahwa X memberinya akses langsung untuk membangun dukungan luas dan menciptakan narasi yang menguntungkan. Konten kontroversial, seperti gambar dirinya memberi hormat kepada bendera Amerika, memberi kesan bahwa ia memainkan peran sebagai "patriot" modern yang menginginkan Amerika yang kuat dan independen, meski narasi tersebut dibalut ironi dan gaya provokatif khas Musk (Evans, 2023). Sebagian besar pengamat media sepakat bahwa langkah ini bukan hanya menunjukkan dukungan politik, tetapi juga upaya menciptakan kultus pribadi yang semakin membedakannya dari miliarder lain.
Para kritikus menilai bahwa langkah Musk tidak hanya sekadar disrupsi politik, melainkan manipulasi untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar. Menurut kajian terkini, kemunculan miliarder dengan kekuatan yang besar di panggung politik menandakan tren oligarkis, di mana segelintir tokoh kaya dapat mempengaruhi kebijakan negara sesuai kepentingan bisnis mereka (Johnson, 2022). Apalagi, hubungan antara Musk dan Trump memperlihatkan pola di mana kebijakan pemerintah berpotensi menjadi alat untuk memperkuat monopoli teknologi yang Musk bangun melalui perusahaan-perusahaannya. Menurut kajian dari Brown (2022), hal ini memberi Musk "daya tawar" yang luar biasa dalam negosiasi kebijakan pemerintah, terutama di sektor energi dan pertahanan yang menjadi fokus usahanya.
Dukungan Musk terhadap Trump menggambarkan simbiosis antara miliarder dan politikus yang berorientasi pada keuntungan pribadi dan pengaruh jangka panjang. Langkah Musk bukan sekadar preferensi politik, tetapi strategi terukur untuk memperbesar kekuasaannya di bidang ekonomi dan politik. Fenomena ini menunjukkan semakin kaburnya batas antara kepentingan swasta dan publik di Amerika modern.
Ketika Trump mengumumkan kemenangannya, ia tak lupa memuji Elon Musk, mengangkatnya seolah-olah sebagai patriot jenius yang harus dilindungi. "Kita harus melindungi para jenius kita. Tidak banyak dari mereka," ujar Trump dengan nada dramatis. Di balik kata-kata penuh pujian itu, terbentuklah gambaran sebuah aliansi strategis—sebuah quid pro quo yang makin jelas.
Menurut Gita Johar, profesor di Columbia Business School yang meneliti X dan psikologi konsumen, pola hubungan antara Trump dan Musk ini tak bisa diabaikan. "Gagasan quid pro quo di sini sangat jelas," kata Johar, menyoroti dukungan total Musk pada Trump yang di luar kebiasaan—bukan hanya dalam bentuk dana besar, tetapi juga dalam kehadiran pribadinya. "Ekspektasinya, kamu bantu aku, aku bantu kamu," lanjut Johar. Namun, manfaat bagi Musk bisa jauh lebih dalam daripada sekadar akses politik biasa.
Pada Agustus, Musk melontarkan ide pembentukan "komisi efisiensi pemerintah" untuk mengaudit birokrasi federal, memastikan pajak rakyat digunakan dengan efektif. Dia mengutarakan ide ini dalam diskusi langsung dengan Trump di platform X. Tak lama setelah itu, Trump mengumumkan rencananya untuk membentuk komisi tersebut, bahkan mengindikasikan bahwa Musk bisa menjadi sosok yang ideal untuk memimpinnya.
Rencana ini langsung menuai kritik tajam dari pakar etika, mengingat adanya potensi konflik kepentingan. Musk menguasai perusahaan-perusahaan yang tak hanya bergantung pada dana pemerintah, tetapi juga tunduk pada regulasi federal. Tesla, misalnya, menerima subsidi untuk mengembangkan teknologi kendaraan listrik dan membangun stasiun pengisian. SpaceX mendapat kontrak miliaran dolar untuk misi bulan, dan Starlink menerima dukungan federal untuk menyediakan internet ke daerah-daerah terpencil. Menempatkan Musk sebagai kepala komisi dengan kekuasaan untuk mempengaruhi anggaran pemerintah akan berarti memberi "serigala kuasa di kandang domba."
Bahkan, Musk menyatakan ia ingin memangkas sepertiga anggaran federal, sekitar 2 triliun dolar AS, sebagai bagian dari misinya "meningkatkan efisiensi." Namun, rekam jejak komisi serupa di masa lalu menunjukkan bahwa pengaruhnya seringkali hanya sebatas rekomendasi ke Kongres. Apakah Musk, sebagai "Sekretaris Pemangkasan Biaya", akan memiliki kendali yang lebih besar masih belum jelas, tapi jika demikian, potensi untuk konflik kepentingan tak dapat dihindari.
Selama pemerintahan Biden, kerajaan bisnis Musk menjadi sorotan investigasi federal yang luas. Tesla, SpaceX, dan X semuanya mendapat perhatian dari berbagai badan regulasi, mulai dari Departemen Kehakiman hingga Komisi Perdagangan Federal. Tesla, misalnya, diselidiki atas dugaan menyesatkan konsumen terkait kemampuan self-driving kendaraannya, sementara Administrasi Keselamatan Lalu Lintas Jalan Raya menyelidiki autopilot Tesla yang dikaitkan dengan sejumlah kecelakaan fatal.
Namun, dengan Trump di Gedung Putih, investigasi semacam ini mungkin menguap begitu saja. Seperti yang diungkapkan Johar, "Kontrak pemerintah kemungkinan akan diberikan ke Musk tanpa banyak pengawasan," ujarnya, menyoroti tren deregulasi ala Trump yang diyakini akan semakin memperkuat Musk. Dalam lingkaran kekuasaan Trump, Musk bisa mendapatkan apa yang dibutuhkannya—ketenangan dari regulasi ketat dan akses tanpa batas pada kontrak besar pemerintah.
Platform X yang dikuasai Musk kini telah berubah menjadi corong besar bagi politik konservatif, mempromosikan para politisi yang ia dukung, menyebarkan teori konspirasi tentang isu-isu sensitif, hingga menyerang Wakil Presiden Kamala Harris. Dalam satu unggahan yang mencolok, Musk mengunggah gambar AI Kamala Harris dalam pakaian merah dengan simbol palu dan arit, menyindirnya sebagai calon "diktator komunis". Musk seolah-olah menguji batasan—antara kebebasan berbicara dan manipulasi informasi publik.
Dengan lebih dari 200 juta pengikut, Musk kini memiliki megafon raksasa, dan dengan Trump sebagai sekutu politiknya, suara konservatif di X makin nyaring. Wall Street Journal melaporkan bahwa algoritma X semakin condong menampilkan konten partisan ke kanan di halaman "For You", menjadikan platform tersebut medan pertempuran opini yang penuh dengan rumor dan informasi simpang siur.
Johar menilai bahwa dukungan Trump terhadap Musk menjadikan X sebagai alat pengaruh yang lebih besar lagi. "Sekarang Musk punya megafon, dan dengan Trump, megafon itu akan semakin nyaring," ujarnya. Ia menambahkan bahwa efeknya adalah terciptanya bubble besar di mana pengikut-pengikut setia hanya mendengar suara dari sisi mereka sendiri. Pada malam pemilihan, Musk bahkan menyampaikan pesan pada jutaan pengikutnya: Kalian adalah media sekarang.
Dengan Trump benar-benar kembali berkuasa, X bisa berkembang dari sekadar platform media sosial menjadi mesin pengaruh politik yang nyaris tak tersentuh, mengantarkan Musk sebagai salah satu pemain paling berpengaruh di panggung politik dan ekonomi Amerika. Dan, bagi publik Amerika, pertanyaan besarnya, di tangan siapa sebenarnya kekuasaan ini berada?
Hubungan yang semakin erat antara Elon Musk dan Donald Trump bukan hanya pertanda aliansi bisnis dan politik yang pragmatis, tetapi juga sinyal peningkatan kontrol Musk terhadap pengaruh politik dan media di Amerika Serikat. Posisi Musk sebagai pengusaha dengan kendali atas perusahaan-perusahaan besar yang mendapat subsidi pemerintah, serta platform X yang kini menjadi corong bagi politik konservatif, menciptakan risiko konflik kepentingan yang nyata dan berpotensi mengguncang dinamika politik AS.
Gagasan komisi "efisiensi pemerintah" yang diusulkan Musk dan rencana Trump untuk menunjuknya sebagai pemimpin jelas berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Sebagai kepala komisi tersebut, Musk akan memiliki pengaruh langsung atas alokasi anggaran dan subsidi yang menguntungkan perusahaan-perusahaannya sendiri, seperti Tesla dan SpaceX. Jika Musk benar-benar ditunjuk, ini sama artinya dengan memberikan kuasa kepada "serigala di kandang domba" sebagaimana diungkapkan para kritikus etika (Brown, 2023). Ini memperkuat tuduhan quid pro quo, di mana dukungan finansial dan politik Musk mungkin dibayar dengan akses tanpa batas pada dana publik dan subsidi untuk proyek-proyeknya.
Dengan Trump di Gedung Putih, investigasi federal terhadap perusahaan-perusahaan Musk—termasuk Tesla dan SpaceX—dikhawatirkan bisa "menghilang" atau diabaikan. Seperti yang diungkapkan oleh Johar, deregulasi ala Trump dapat melemahkan lembaga-lembaga yang mengawasi praktik bisnis Musk, memberi perusahaan-perusahaan tersebut keleluasaan untuk beroperasi tanpa ancaman regulasi ketat. Hal ini mengindikasikan bahwa dukungan Musk untuk Trump dapat menjadi investasi yang mengamankan ketenangan operasional bagi kerajaan bisnisnya (Johnson, 2022).
Platform X, yang telah digunakan Musk untuk menyebarkan pandangan politik konservatif dan merongrong para politisi yang berseberangan, memperlihatkan pergeseran X dari sekadar media sosial ke mesin pengaruh politik. Algoritma platform ini yang semakin menampilkan konten partisan ke kanan menciptakan bubble informasi, di mana pengguna hanya disajikan konten yang mendukung pandangan mereka sendiri. Menurut Wall Street Journal, hal ini menjadikan X sebagai arena disinformasi yang berpotensi memperkuat polarisasi politik. Dengan Trump sebagai sekutunya, Musk memiliki megafon yang lebih besar untuk membentuk opini publik sesuai kepentingannya, memperkuat pandangan politik konservatif, dan merusak kredibilitas pesaing politiknya (Evans, 2023).
Dukungan dan kedekatan Musk dengan Trump tampaknya didasarkan pada visi bersama untuk mengonsolidasikan kekuasaan, baik dalam bentuk finansial maupun politik. Di satu sisi, Trump diuntungkan dengan dukungan dan pengaruh media dari Musk, sementara Musk diuntungkan oleh kebijakan yang menguntungkan bisnisnya dan memungkinkan ia beroperasi tanpa kendala regulasi. Bagi publik Amerika, hubungan ini memunculkan pertanyaan tentang kontrol kekuasaan: seberapa besar pengaruh miliarder seperti Musk terhadap arah kebijakan negara, dan apa implikasinya bagi demokrasi dan keterbukaan informasi?
Rachena Febriery mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam 45 Bekasi
Simak Video Donald Trump: Senang Rasanya Menang
(mmu/mmu)