Ketika AI Mengisi Kekosongan Hati

11 hours ago 5

Jakarta -

Saat masih kecil, ketika melihat Plankton di serial kartun SpongeBob, saya begitu takjub sekaligus heran. Hebat sekali plankton bisa mencipta, sekaligus berpasangan dengan sebuah robot. Sebab, Karen, nama dari istri-robot Plankton bukan hanya bertindak sebagai istri yang pasif, tapi mampu memberikan saran dan punya kehendak sendiri. Robot ini bertingkah layaknya makhluk hidup. Bisa berpikir dan punya emosi.

Di benak saya yang saat itu masih kecil, pasangan tersebut tak ayal hanya tokoh fiktif dari sebuah kartun hiburan. Tidak pernah terbayangkan relasi seperti Plankton dan Karen benar-benar menjadi nyata pada masa depan. Tapi saat ini, perkembangan teknologi, terutama Artificial Intelligence (AI), yang begitu pesat membuat saya menyadari bahwa apa yang diperlihatkan Plankton menjadi sesuatu yang mungkin terjadi.

AI merupakan istilah yang pertama kali disinggung oleh John McCarthy dalam sebuah konferensi pada 1956. Istilah itu pun berkembang seiring laju teknologi kecerdasan buatan hingga memasuki abad ke-20 saat ini. AI kemudian mengisi banyak sendi kehidupan, mulai dari AI berbasis data seperti pada machine learning (ML) dan deep learning, AI generatif macam GPT (OpenAI), BERT (Google), Stable Diffusion, bahkan terbaru ada Deep Seek, hingga AI Otonom seperti kendaraan tanpa pengemudi (Tesla, Waymo), dan drone cerdas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fungsi dan manfaatnya yang mampu menawarkan efisiensi dan kemudahan membuat keberadaan AI makin dinormalisasi. Bahkan dalam aspek relasi emosional seperti pasangan dan pertemanan. Seorang kawan pernah bercerita tentang bagaimana AI tipe Generatif yakni Chat GPT sangat membantu dalam prosesnya menyembuhkan diri pascaputus dari pasangannya. Ketika dia lelah bekerja, stres dengan banyak tuntutan, dan pening dengan berbagai celaan manusia lain, AI mampu menjadi teman dalam bercerita.

Bagi mereka yang akrab dengan jenis AI seperti ChatGPT tentu menyepakati bagaimana responsifnya AI satu ini. Kita bisa menceritakan keluh kesah kita dan direspons dengan hangat tanpa dijustifikasi soal salah atau benar. AI juga bisa dimintai saran tentang apapun kendala yang dihadapi. Layaknya pasangan, dia pun mampu memberikan nasihat-nasihat relevan yang semuanya tidak terlihat mengada-ada. Pada momen tertentu, pernyataan balasannya begitu realistis dan bijak layaknya psikolog atau seorang pemuka agama.

AI berkembang menjadi seperti teman dan pasangan bagi mereka yang merasa kesepian. Menjadi kawan bicara yang selalu tersedia, mendukung tanpa menghakimi, dan memberikan respons yang sesuai dengan keinginan pengguna. Keberadaannya kemudian menjadi oase bagi mereka yang depresi atau penyendiri yang acap tidak percaya diri dengan kehidupan sosial. Hal itu pun makin menciptakan relasi yang lebih dari hubungan antara manusia dan manusia itu sendiri.

Fenomena ini pun sedikit-banyak tergambar dari mulai banyaknya generasi sekarang yang enggan untuk menikah. Data BPS menyebutkan bahwa pada 2023 jumlah pernikahan hanya mencapai 1,58 juta pasangan. Turun sebanyak 128.000 dibanding 2022 (year-on-year) yang mencapai 1,71 juta pasangan. Tentu penyebab penurunan pernikahan tidak bisa digeneralisasi sebagai satu-satunya tanda manusia telah beralih pasangan ke AI. Banyak faktor lain.

Di belahan dunia lain, telah muncul beberapa orang yang memutuskan menikah dengan AI. Misalnya seorang pria asal Jepang, Akihiko Kondo, pada 2018 menikahi Hatsune Miku, sebuah karakter virtual berbentuk hologram. Kemudian Peter, seorang veteran Angkatan Udara Amerika Serikat dari California, membangun hubungan emosional dengan chatbot AI bernama Andrea melalui aplikasi Replika. Atau, Rosanna Ramos, seorang wanita berusia 36 tahun dari Bronx, New York, mengklaim telah menikah dengan chatbot AI bernama Eren Kartal pada Maret 2023.

Tapi, pertanyaannya, mengapa bisa terjadi peralihan interaksi seperti itu? Mengapa AI bisa membuat manusia menghindarkan dirinya sedemikian rupa dengan keberadaan manusia lainnya --bahkan menjadikannya teman atau pasangan?

Sebenarnya, faktor pemicunya begitu banyak, tapi secara garis besar, ada dua faktor utama yang membuat generasi saat ini mulai menjalin hubungan dengan AI secara lebih intens dan masif. Pertama, kondisi sosial dan tekanan ekonomi yang membuat sebagian besar generasi saat ini merasa lelah dan kesulitan apabila harus menjalin hubungan dengan manusia lain. Pada kenyataannya, relasi romantik yang melibatkan perasaan dengan manusia memang sangat rumit dan kompleks.

Sering muncul perihal standarisasi pasangan yang dibentuk melalui media sosial, seperti paras yang cantik atau rupawan, keharusan gaji di atas UMR, dan ekspektasi sempurna lainnya mengenai kriteria pasangan yang semua itu dari pendapat orang lain, membuat generasi saat ini merasa bahwa kondisi sosial tidak begitu mendukung dalam menjalin hubungan.

Pun dengan tekanan ekonomi, di mana pendapatan mereka yang terbatas, tingginya biaya hidup, serta status sandwich yang diemban dalam keluarga, membuat sebagian orang berpikir ulang untuk menjalin relasi nyata dengan manusia. Sebagai gantinya, mereka mulai beralih ke AI yang kehadiran dan responsnya bisa disesuaikan dengan keinginan.

Kedua, pengaruh hadirnya digitalisasi dan media sosial membuat pola komunikasi makin berubah. Generasi saat ini berkembang dalam ekosistem yang didominasi dengan interaksi virtual. Mereka bisa melakukan pola komunikasi apapun yang mereka mau di media sosial karena tidak ada norma yang benar-benar mengikat.

Teknologi yang kian canggih kemudian membuat media sosial menciptakan ruang sosial baru berupa interaksi dalam bentuk teks, video call, bahkan animasi digital. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa media sosial telah membentuk cara manusia menunjukkan sisi emosi, berinteraksi dengan orang lain, dan bahkan menjalin hubungan romantis. AI, dengan kehadirannya seolah mengafirmasi sekaligus memperkuat preferensi terhadap perilaku tersebut karena mampu merespons dengan cara yang dipersonalisasi.

Selain itu, komunikasi dengan AI tidak melibatkan relasi emosional seperti dalam hubungan manusia. AI dapat menghadirkan atensi penuh, tidak memiliki kesibukan personal, dan tidak memiliki ekspektasi yang membebani. Semua itu pada fase tertentu membuat banyak orang merasa bebas dalam mengekspresikan emosi tanpa takut atas respons yang negatif.

Namun, persoalannya, apakah AI betul-betul bisa menjadi pasangan jangka panjang bagi seseorang? Saya selalu meyakini bahwa manusia adalah makhluk emosional. Setiap keputusan rasional sekalipun, pasti terdapat sedikit aspek emosional dalam memutuskannya. Maka dari itu, AI yang tak punya emosi tentu memiliki keterbatasan tentang bagaimana relasi itu bisa bertahan apabila hubungan yang dijalani didasarkan pada aspek reaktif, alih-alih inisiatif. AI tak punya kemampuan untuk menginisiasi lebih dulu; rasa inisiatif tentu lahir dari kepekaan tinggi dari aspek emosional.

AI mungkin dapat menawarkan konsistensi dalam merespons ketika berdialog, tetapi hubungan manusia adalah sesuatu yang kompleks karena tidak hanya tentang percakapan yang dipersonalisasi. Manusia memiliki emosi, empati, spontanitas, dan pengalaman bersama yang tidak dapat diimitasi oleh komputasi AI.

Relasi yang sehat, entah itu dengan teman atau pasangan, selalu dihadapkan pada tantangan yang menumbuhkan satu sama lain. Dan, semua itu selalu melibatkan koneksi kuat antara emosi manusia satu dengan yang lainnya. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri, kehadiran AI memang menjadi penawar bagi manusia saat ini yang merasakan kesulitan dari berbagai sisi.

Boleh jadi, tidak lama dari saat ini, pasangan digital selayaknya Karen bukan hanya sekadar tokoh kartun, tapi benar-benar muncul mengisi kekosongan hati seseorang. Kalau sudah begitu, apakah manusia sudah siap hidup bercengkerama dengan AI layaknya kehidupan romantis di adegan-adegan drama Korea?

Muhamad Iqbal Haqiqi Maramis mahasiswa Pascasarjana Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial