Jakarta -
Suatu sore pada akhir September 2014, ada diskusi seru di kantor Google di New York. Eric Schmidt, mantan CEO Google yang saat itu menjabat sebagai Chairman Google, tengah membedah buku karyanya yang baru terbit dan kemudian menjadi best seller di Amerika Serikat dan banyak negara lainnya. Buku itu berjudul How Google Works. Buku menarik ini membahas rahasia dapur bagaimana Google bertransformasi dari sebuah start up hingga sukses menjadi raksasa teknologi dunia.
Ada kejadian menarik pada sore itu. Seorang engineer curhat sekaligus memprotes manajernya gara-gara dia tidak diperbolehkan untuk menjalankan 20% Project. Ini adalah project andalan Google yang memungkinkan setiap pekerja di Google untuk mengalokasikan 20 persen waktunya dalam project yang dia pilih di luar pekerjaan utamanya. Konsep 20% Exploration inilah yang menjadi salah satu rahasia sukses Google menjadi raksasa inovatif.
Si engineer itu kesal karena manajernya tidak memperbolehkannya mengambil project tersebut. Alasannya, karena pekerjaan utamanya membutuhkan 100 persen energinya. Protes pada manajer itu disampaikan langsung di hadapan Eric Schmidt dengan sindiran yang menohok. Maybe you should have called it How Google Worked. Kalau dianalogikan pada zaman sekarang, dalam acara townhall meeting, seorang chairman sedang berbagi success story, lalu ada pegawai muda yang saat sesi tanya jawab memprotes perlakuan manajernya dengan mengatakan, "Pak Chairman, yang Bapak ceritakan itu success story masa lalu. Sekarang nggak kayak gitu."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untungnya, saat itu Eric Schmidt dan top management Google tidak marah. Tapi, justru menjadikan kritik pedas itu sebagai salah satu pemantik untuk merestrukturisasi organisasi Google yang saat itu memiliki lebih dari 60 ribu pekerja, sehingga tidak lagi bisa bergerak lincah layaknya start up. Setahun kemudian, pada Oktober 2015, dibentuklah Alphabet sebagai holding company, sehingga Google dan perusahaan-perusahaan grupnya menjadi entitas bisnis yang terpisah dan masing-masing bisa bergerak lebih lincah.
Risiko Burned Out
Saya tidak akan membahas bagaimana Google bertransformasi, tapi tentang beratnya tantangan yang dihadapi middle manager. Bayangkan seandainya Anda adalah manajer Google yang diprotes si engineer di hadapan chairman.
Dari atas, manajer mendapat tekanan dari top management untuk bekerja excellent dengan berbagai target KPI yang harus dipenuhi. Dari bawah, manajer harus menghadapi protes anggota tim yang tidak puas atas sistem kerja yang dijalankan. Dari samping kanan kiri, manajer ditekan oleh kondisi eksternal dan internal, serta kewajiban managerial role dan strategic role.
Kondisi ini terjadi di banyak sekali organisasi. Kami menyebutnya sebagai fenomena Squeezed Leader. Ini adalah situasi ketika leader (manajer) dihadapkan pada himpitan yang masif dari berbagai arah (atas, rekan, bawah, pelanggan, mitra, dan lain-lain), sebagai dampak perubahan yang bersumber dari kondisi eksternal dan internal. Angka-angka berikut ini bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang situasi himpitan yang dialami manajer:
-- 66% middle manager merasa tidak memiliki cukup otonomi dalam peran mereka. Manajer sering merasa terjebak di tengah di mana mereka tidak diberi wewenang untuk mengambil keputusan dan dibiarkan frustrasi. (Harvard Business Review)
-- 50% waktu middle manager dihabiskan untuk tugas-tugas administratif yang membuat mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk aktivitas strategis dan aktivitas berdampak tinggi lainnya. (BetterUp)
-- 61% middle manager merasa terhimpit ekspektasi dan tuntutan yang saling bertentangan dari eksekutif tingkat atas dan karyawan lini depan. (Forbes)
Ini adalah angka-angka hasil riset di perusahaan-perusahaan global. Tapi saya kira kondisinya tidak jauh beda dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia, karena ini adalah tipikal kondisi organisasi pada umumnya.
Riset lembaga konsultan global McKinsey menyebut, di Amerika Serikat banyak middle manager merasa frustrasi dengan beban pekerjaan, bahkan 43 persen di antaranya merasa burned out. Ini bukan sekadar lelah fisik dan mental. Menurut American Psychological Association (APA) burn out didefinisikan sebagai kelelahan fisik dan emosional yang disertai penurunan motivasi, penurunan kinerja, dan sikap negatif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Jika digali lebih dalam, squeezed leader bisa terjadi karena kurangnya kapasitas seorang manajer. Sehingga, dia belum siap memimpin area kepemimpinan yang lebih luas. Selain itu, ada pula kasus autoimun ketika seorang manajer merasa sudah mumpuni, tapi sebenarnya kemampuannya masih di bawah kapasitas. Akibatnya, dia gagal beradaptasi dan stuck di posisi middle manager.
Penyebab lainnya bisa berasal dari top management. Ini terkait terbatasnya otoritas yang diberikan pada manajernya, serba nanggung, sehingga manajer tersebut tidak optimal dalam menjalankan kepemimpinannya. Ibarat satu kaki manajer diikat oleh atasan, sehingga ruang geraknya terbatas, tak bisa bergerak cepat. Sementara, anggota tim di bawahnya ingin cepat. Akibatnya, manajer dianggap tidak kompeten oleh anggota timnya.
Bayangkan jika kondisi semacam itu terjadi pada middle manager di perusahaan Anda. Dampaknya pasti akan terakumulasi dan akan menggerogoti kinerja perusahaan. Di tengah kompetisi yang kian ketat, kondisi ini akan membuat perusahaan tercecer di track persaingan.
Anda barangkali ingat kisah Blackberry yang menjadi pelopor smartphone dan merajai global market pada awal era 2000-an. Gara-gara lamban merespons perubahan, Blackberry terpuruk dihantam inovasi Apple melalui iPhone yang menjadi fenomena sejak diluncurkan pada Januari 2007. Akibatnya, hanya dalam waktu 5 tahun sejak kemunculan iPhone, market share Blackberry di segmen smartphone yang awalnya mencapai kisaran 50 persen, anjlok tinggal satu persen. Demikian pula kinerja finansialnya, dari sebelumnya profit USD 1,9 miliar menjadi loss USD 5,8 miliar.
Dampak dari lambannya adaptasi terhadap perubahan memang sangat serius. Ini erat kaitannya dengan fenomena squeezed leader. Ketika middle manager yang memiliki peran strategis gagal mengoptimalkan kinerja dan beradaptasi, maka salah satu dampak utamanya adalah memudarnya relevansi bisnis akibat tidak bisa memenuhi ekspektasi customer yang selalu menuntut produk berkualitas dengan cepat dan harga terjangkau.
Dampak lainnya adalah inefisiensi operasional akibat prosedur birokratis, biaya operasional yang lebih tinggi karena tersendatnya inovasi, proses pengambilan keputusan yang tidak cermat karena kurangnya data valid dari lapangan akibat bottleneck di middle manager, hingga kehilangan talenta terbaik yang meninggalkan perusahaan akibat lingkungan kerja yang tidak kondusif.
Jika itu semua terjadi terus menerus di perusahaan, maka tinggal menunggu waktu saja bagi perusahaan tersebut untuk terpuruk dan tergilas oleh roda perubahan zaman yang bergerak begitu cepat.
Managerialship, Leadership, Entrepreneurship
Lantas, jika Anda andalah manajer, atau Anda ada di posisi top management, apa yang harus dilakukan agar fenomena Squeezed Leader ini tidak kontraproduktif pada kinerja perusahaan?
Satu hal yang harus dipahami bahwa orang tidak mudah bergerak dengan sendirinya, tidak mudah berubah dengan sendirinya, karena itu perlu leader yang memimpin dan menggerakkan roda transformasi.
Sayangnya, selama ini para middle manager lebih banyak hanya dibekali dan diasah kemampuan manajerialnya, khususnya yang terkait dengan tugas-tugas administratif. Padahal, peran middle manager sebenarnya jauh lebih strategis. Sebab, merekalah hub atau jembatan penghubung antara karyawan sebagai ujung tombak (yang berinteraksi langsung dengan pekerjaan lapangan atau konsumen), dengan top management yang memegang role penentu arah strategi perusahaan.
Demikian strategisnya peran middle manager, sehingga bekal managerialship saja tidak cukup bagi mereka untuk bisa mengoptimalkan impact positif bagi perusahaan. Lalu, kemampuan apa lagi yang harus dimiliki? Selain Managerialship yang terkait dengan prosedur dan sistem kerja, middle manager juga harus menguasai kemampuan Leadership dan Entrepreneurship.
Leadership ini terkait dengan kemampuan dalam managing people. Seorang middle manager harus bisa menjadi katalisator yang menggerakkan tim ke arah yang lebih baik, memotivasi, dan menjalankan kaderisasi. Sedangkan Entrepreneurship terkait dengan kemampuan untuk mengidentifikasi peluang di pasar, melakukan mitigasi risiko, serta mengembangkan ide untuk menciptakan produk/jasa yang relevan dengan kebutuhan pasar.
Ini tentu tidak mudah. Karena itu, untuk memantik semangat, saya cuplikkan Survei McKinsey Global Institute 2023 yang menemukan bahwa perusahaan yang serius berinvestasi pada human capital mampu menunjukkan kinerja bagus bahkan di saat periode krisis.
Ketika dikombinasikan dengan data McKinsey's Organizational Health Index, maka didapat temuan bahwa perusahaan yang memiliki middle manager kategori top performer, mampu mencetak total shareholder returns (TSR) 44 persen lebih tinggi selama 5 tahun. Artinya, ketika middle manager mampu menunjukkan kinerja yang baik, maka kinerja finansial perusahaan akan ikut terangkat.
Jadi, jika Anda ingin kinerja operasional dan kinerja finansial perusahaan Anda terus tumbuh hingga tahun-tahun mendatang, bahkan di periode-periode sulit sekalipun, maka bekalilah middle manager di organisasi Anda dengan kemampuan Managerialship, Leadership, dan Entrepreneurship.
Atok R. Aryanto praktisi people development, business advisor, penulis buku 'Leaders LEAD'
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu