Seni (Tidak) Membaca

1 month ago 34

Jakarta -

Saya teringat sebuah sore yang tenggelam dalam warna tembaga. Saya membaca Schopenhauer. Dari jendela kamar saya, suara gelas pecah di gang belakang terdengar seperti jeda antara dua napas paragraf dalam bukunya. Ia menulis, "He who writes for fools always finds a large public." Kalimat itu melayang, dan seakan mengambang dalam ketiadaan, tetapi gravitasinya cukup untuk membuat saya berhenti membaca beberapa menit. Bukan karena saya sepenuhnya mengerti, melainkan karena saya merasakan sesuatu— kalimat itu terasa tajam, walaupun saya belum sepenuhnya memahami artinya.

Sore itu, saya menyadari bahwa saya telah menjadi konsumen bacaan seperti seorang peminum yang mabuk karena anggur murahan. Kata-kata, kalimat, dan alinea yang saya raih hanyalah cangkang kosong. Mereka mengisi waktu seperti asap rokok: mengepul, hilang, meninggalkan residu yang tak pernah diminta. Tapi residu itu tak berharga—semacam hiburan yang menawarkan rasa penuh sesaat sebelum kembali hampa.

Saya pikir, Schopenhauer benar. Hidup terlalu singkat untuk membaca buku yang buruk. Tapi bagaimana kita tahu sebuah buku buruk? Bukankah semua buku, pada mulanya, memiliki potensi menjadi lebih dari sekadar kertas dan tinta? Di sinilah saya mulai memahami bahwa seni tidak membaca, seperti seni apa pun, membutuhkan disiplin, intuisi, dan keberanian untuk menolak.

Bias Kita Sendiri

Orang bilang, membaca adalah cara kita mengakses dunia. Saya ragu. Dunia yang ditemukan melalui membaca sering hanyalah perpanjangan dari bias kita sendiri. Kita membaca apa yang ingin kita percaya, apa yang kita ingin dengar—seperti memilih makanan di menu restoran yang kita sudah tahu rasanya. Bahkan buku yang disebut-sebut "wajib baca" sering hanya daftar panjang kesepakatan budaya, semacam peta tanpa jalan-jalan kecil yang misterius.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tahun lalu, saya membeli sebuah buku berjudul Seni untuk Bersikap Bodo Amat (terjemahan The Subtle Art of Not Giving a F**). Bukan karena saya percaya pada premisnya, tapi karena rasa ingin tahu yang murahan: bagaimana sebuah judul dengan kata makian bisa begitu laku di dunia yang katanya penuh moralitas ini? Dan ya, saya membacanya. Kata-katanya meluncur seperti hujan deras di atas genteng, deras, hingar-bingar, tapi tidak menyerap.

Selesai membaca, saya merasa lebih kosong dari sebelumnya, seperti menonton pertunjukan sulap yang kita tahu trik-triknya. Buku itu hanyalah apa yang Schopenhauer katakan—sesuatu yang menulis untuk orang-orang bodoh, dan saya telah menjadi salah satunya.

Schopenhauer tidak sendiri dalam memandang seni membaca dengan skeptisisme. Ada sebuah kisah dalam Mahabharata, ketika Bhisma memberikan nasihat kepada Raja Yudhishthira tentang pentingnya memilih pelajaran dengan hati-hati. Katanya, "Seorang bijak hanya minum air jernih dari sungai, bukan dari genangan lumpur." Metafora itu begitu langsung: bukan semua bacaan itu buruk, tapi tidak semua bacaan itu patut. Namun, hari ini, sungai telah bercampur lumpur, dan sulit membedakan mana yang layak ditelan. Buku-buku ada di mana-mana, seperti lalat yang mengerubungi makanan yang tak dijaga.

Namun, seni tidak membaca lebih dari sekadar memilih buku. Ini tentang memutuskan untuk tidak mempedulikan arus utama, tentang keberanian untuk menjadi asing di tengah percakapan populer. Ketika semua orang membaca buku terbaru yang dilabeli "harus baca" saya merasa seperti seorang petani tua yang memilih menanam benih di ladangnya sendiri alih-alih membeli sayuran dari pasar. Ada sesuatu yang lebih jujur, lebih bermakna, ketika kita memilih jalan kita sendiri.

Menemukan Sesuatu yang Lebih Berharga

Seorang teman pernah berkata kepada saya, "Kamu melewatkan banyak hal jika tidak membaca buku yang lagi ramai dibicarakan." Saya diam, karena ia benar—dalam hal tertentu. Tapi saya juga tahu bahwa saya telah menemukan sesuatu yang lebih berharga: waktu. Waktu untuk membaca buku yang benar-benar penting, buku yang telah menunggu berabad-abad untuk dibaca, buku yang tidak berteriak dari rak toko buku dengan stiker bestseller. Saya lebih memilih membaca The Iliad, karya epik dari penyair Yunani kuno Homer untuk ketiga kalinya daripada menelusuri novel-novel baru yang hanya menawarkan kilatan ide.

Membaca, seperti percintaan, adalah seni memilih. Kita tidak bisa mencintai semua orang, dan kita tidak bisa membaca semua buku. Maka, kita harus memilih dengan hati-hati, tidak dengan hasrat yang tergesa-gesa. Dan seperti cinta, membaca yang buruk bisa meninggalkan luka. Ada buku yang hanya berfungsi seperti kekasih palsu—manis di awal, tapi mengikis jiwa kita perlahan-lahan.

Menjalankan Eksperimen Kecil

Dalam beberapa bulan terakhir, saya mulai menjalankan eksperimen kecil: membaca lebih sedikit tetapi lebih dalam. Saya kembali ke buku-buku yang pernah saya baca pada masa muda, seperti kembali ke rumah yang dulu saya tinggalkan. Saya membaca Nietzsche, Dostoyevsky, dan Laozi, mencoba menghirup setiap kalimat seperti seseorang yang meminum anggur tua. Rasanya seperti berbicara dengan roh-roh kuno, mendengar bisikan dari dimensi lain. Tidak ada sensasi yang lebih memuaskan daripada memahami sebuah ide yang pernah luput dari pemahaman kita sebelumnya.

Dan ada saat-saat ketika saya tidak membaca sama sekali. Saya duduk di depan jendela, melihat cahaya senja menyusup di antara dedaunan, dan membiarkan pikiran saya melayang. Di dunia yang terobsesi dengan produktivitas, seni tidak membaca adalah bentuk pemberontakan yang paling tenang, paling murni. Kita tidak membaca, bukan karena malas, tapi karena memilih untuk memberi ruang bagi sesuatu yang lain—mungkin kebosanan, mungkin keheningan, atau mungkin sekadar momen untuk menjadi manusia.

Satu Hal yang Sering Dilupakan

Ada satu hal yang sering dilupakan orang tentang membaca: bahwa tindakan itu bukanlah sekadar konsumsi pasif. Membaca adalah dialog. Sebuah buku yang baik tidak hanya menyuapi kita, tetapi memaksa kita untuk menjawab, untuk berpikir, untuk melawan. Namun, kebanyakan buku yang populer saat ini tidak meminta kita berpikir. Mereka memberikan solusi cepat, kebijaksanaan yang diringkas dalam daftar poin, atau narasi yang dirancang untuk menyenangkan kita. Ini seperti berbicara dengan seseorang yang hanya ingin didengar tanpa benar-benar mendengar. Buku yang buruk bisa menghabiskan waktu kita tanpa memberikan apa pun sebagai gantinya.

Sementara itu, buku yang benar-benar berharga sering menuntut kesabaran dan perhatian. Seperti mendaki gunung yang curam, ia melelahkan, tapi pemandangannya luar biasa. Moby Dick karya Herman Melville bukanlah buku yang bisa dicerna dalam sekali duduk, tapi setiap babnya adalah dunia yang menunggu untuk dieksplorasi. Atau Kejahatan dan Hukuman (terjemahan Crime and Punishment) sebuah novel klasik karya Fyodor Dostoevsky, yang setiap halamannya seperti memaksa kita bercermin pada kegelapan kita sendiri.

Seni tidak membaca, pada akhirnya, adalah seni mempercayai diri sendiri. Percaya bahwa kita tidak perlu mengikuti arus untuk menemukan sesuatu yang berharga. Kita memilih untuk tidak membaca buku-buku tertentu bukan karena meremehkan mereka, tetapi karena menghormati keterbatasan kita. Hidup ini terlalu pendek untuk menjadi pembaca yang serakah. Kita harus menjadi pembaca yang bijaksana.

Pada akhir sore itu, setelah membaca kalimat Schopenhauer, saya menutup bukunya dan memandang rak di depan saya. Ada banyak buku yang belum saya sentuh, dan untuk pertama kalinya saya merasa tidak bersalah. Mereka akan tetap di sana, menunggu saat yang tepat—atau mungkin tidak. Saya belajar bahwa seni membaca bukan hanya tentang buku-buku yang kita baca, tetapi juga tentang buku-buku yang kita biarkan tidak dibaca. Karena pada akhirnya, seperti halnya hidup, membaca adalah seni memilih, dan seni memilih adalah seni melepaskan.

Adib Abadi kolumnis

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial