77 Tahun Nakbah dan Solusi untuk Palestina

5 hours ago 4

Jakarta -

Pada tanggal 15 Mei 1948, sejarah dunia mencatat sebuah tragedi besar kemanusiaan: deklarasi pendirian negara Israel di atas tanah Palestina, yang langsung memicu eksodus paksa ratusan ribu warga Palestina ke berbagai penjuru dunia. Tragedi ini oleh bangsa Palestina dikenang sebagai Nakbah (malapetaka).

Selama 77 tahun sejak peristiwa tersebut, dunia telah menyaksikan serangkaian konflik berkepanjangan yang nyaris tak pernah menemukan jalan damai yang adil dan permanen.

Konflik Israel-Palestina bukan sekadar pertikaian teritorial biasa. Ia adalah simpul dari ketidakadilan struktural, hegemoni politik unilateral, dan kegagalan komunitas internasional dalam menegakkan norma hukum internasional secara konsisten.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada titik inilah, Indonesia – sebagai negara dengan sejarah panjang dalam diplomasi moral dan kemanusiaan – memiliki peran strategis untuk mengajukan solusi yang lebih substantif, adil, dan berjangka panjang bagi Palestina.

Realitas Kemanusiaan yang Dihancurkan

Terhitung sejak 7 Oktober 2023 hingga 9 April 2025, serangan brutal Israel terhadap Gaza telah menewaskan hampir 51.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 115.000 lainnya, sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Gaza. Angka ini mencerminkan skala kehancuran dan kekejaman yang tidak dapat dijustifikasi sebagai bentuk "perang" dalam pengertian konvensional.

Target serangan Israel tidak lagi terbatas pada fasilitas militer atau kelompok bersenjata, melainkan menjangkau rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan pemukiman sipil. Proporsi korban sipil, terutama perempuan dan anak-anak, sangat dominan, menjadikan aksi Israel lebih mirip sebagai kejahatan pembantaian massal (massacre) daripada perang simetris.

Secara hukum, tindakan Israel ini dapat dikategorikan sebagai genosida sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Statuta Roma 1998 dan Konvensi Genosida 1948. Tidak hanya itu, tindakan tersebut juga memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) dan pelanggaran berat terhadap Hukum Humaniter Internasional, khususnya Konvensi Jenewa IV 1949 dan Protokol Tambahan I Tahun 1977. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip distinction, proportionality, limitation, dan necessity telah terjadi secara sistematis dan berulang kali.

Mengapa Dunia Gagal?

Kegagalan dunia internasional dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari pendekatan politik global yang pincang dan sarat kepentingan. Salah satu akar utama kegagalan tersebut adalah ketergantungan berlebihan pada pendekatan unilateral dari kekuatan besar dunia, terutama Amerika Serikat.

Alih-alih menjadi mediator netral, AS justru secara konsisten berpihak kepada Israel baik dalam forum bilateral maupun multilateral. Dukungan ini tidak hanya bersifat diplomatik, tetapi juga militer dan finansial, sehingga memperkuat posisi Israel dalam mempertahankan status quo okupasi.

Contoh paling mencolok dari kegagalan pendekatan ini adalah inisiatif "Kesepakatan Abad Ini" (Deal of the Century) yang diusung oleh Presiden Donald Trump. Alih-alih mendorong perdamaian yang adil, proposal tersebut justru melegitimasi praktik kolonialisme modern melalui pengakuan sepihak terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pengabaian total terhadap hak-hak rakyat Palestina.

Padahal, dinamika di lapangan secara jelas menunjukkan bahwa pendekatan unilateral seperti itu bukan hanya gagal secara moral, tetapi juga kontra-produktif dalam menjaga stabilitas global. Ketika satu negara diberi hak istimewa untuk melanggar hukum internasional tanpa konsekuensi, maka kredibilitas sistem global yang berbasis aturan (rules-based order) ikut tergerus.

Dunia menyaksikan bagaimana ketidakadilan yang dibiarkan berlarut-larut justru menjadi bahan bakar bagi radikalisme dan siklus kekerasan. Dalam konteks ini, Palestina bukan hanya korban dari ketimpangan kekuasaan, tetapi juga dari kegagalan kolektif dunia internasional dalam menegakkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan keadilan.

Dewan Keamanan PBB, yang semestinya menjadi penjamin perdamaian dunia, justru seringkali lumpuh akibat hak veto yang digunakan secara tidak proporsional oleh negara-negara adikuasa, terutama Amerika Serikat. Setiap resolusi yang mencoba mengutuk agresi Israel atau memberikan perlindungan kepada warga sipil Palestina kerap digagalkan oleh veto ini.

Alhasil, institusi multilateral yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan terhadap kelompok rentan, justru berubah menjadi panggung politik selektif yang hanya berpihak pada kepentingan negara kuat. Dunia tidak hanya gagal dalam menyelesaikan konflik, tetapi juga gagal mempertahankan nilai-nilai yang selama ini diklaim sebagai fondasi peradaban global.

Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma dalam melihat dan menyikapi konflik ini. Dunia internasional harus melepaskan ketergantungan pada pendekatan kekuatan dan mulai membangun tata hubungan internasional yang lebih adil, setara, dan humanis.

Opsi Solusi dan Jalan Buntu Diplomasi

Lalu, apa solusi?

Sejak Perang Dunia II, berbagai model penyelesaian telah ditawarkan, namun semuanya gagal dalam implementasi. Secara garis besar, terdapat setidaknya dua solusi perdamaian bagi Israel-Palestina yang pernah muncul dalam sejarah. Pertama, solusi dua negara yang berdampingan secara damai. Kedua, adalah solusi satu negara.

Terkait solusi dua negara, sebenarnya inilah solusi yang selalu didorong oleh banyak negara di dunia – termasuk Indonesia – sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948. Tapi sebagaimana sejarah juga menunjukkan, Israel tak henti-hentinya mencaplok wilayah Palestina, dan melanggar kesepakatan yang sudah dibuat. Solusi ini, alih-alih menyelesaikan persoalan, justru memicu perselisihan lebih rumit lagi.

Dan sebagaimana pernah dikatakan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno P. Marsudi pada 2019 dalam artikelnya, bahwa "dari hari ke hari, kita melihat masa depan Palestina tidak menjadi semakin baik, tetapi sebaliknya, semakin kabur. Elemen yang seyogyanya harus dinegosiasikan antara kedua pihak yang bertikai, satu persatu di lepaskan secara sepihak. Salah satu contohnya adalah status Yerusalem yang secara sepihak diakui sebagai ibu kota negara Israel." (Republika, 24/5/2019)

Saat ini, kekhawatiran yang disampaikan tersebut agaknya menjadi nyata. Dengan demikian, jalan panjang menuju solusi dua negara pun makin kabur bahkan semakin tidak realistis.

Dalam kerangka ini, mengunci opsi solusi untuk Palestina dengan satu solusi secara ketat agaknya bukan sebuah rencana yang bijak. Seharusnya Indonesia tetap mendorong eksplorasi lebih jauh mengenai kerangka dasar solusi tersebut. Karena sebagaimana kita ketahui, selain solusi dua negara, ada juga solusi satu negara (one state solution).

Dan untuk solusi satu negara ini, terdapat setidaknya 3 opsi, yaitu 1) wilayah yang disengketakan menjadi milik Israel, atau 2) menjadi milik Palestina, dan atau 3) Israel-Palestina dilebur menjadi satu Negara yang bersatu.

Opsi pertama dan kedua adalah zero sum game, atau win lose solution. Kedua opsi inilah yang selama ini diperjuangkan oleh kelompok garis keras di kedua Negara dan faksi-faksi Negara yang mendukungnya. Namun bila dianalisis kemungkinannya, nyaris tidak ada kemungkinan perdamaian yang bisa dicapai bila salah satu opsi ini dipaksakan.

Adapun opsi ketiga, sebenarnya tidak kalah rumitnya. Namun bila ditinjau secara objektif, sebenarnya merupakan solusi cukup realistis untuk diambil (win-win solution). Bila dinilai secara objektif, wilayah Palestina saat ini sudah sangat kecil, sekedar untuk tidak mengatakan tidak ada lagi di peta dunia. Andai Palestina dibiarkan merdeka dengan areal wilayah dan sumber daya yang seminim itu, kemungkinan negara ini untuk survive di tengah anarkisme politik global, akan sangat kecil.

Sedang di sisi lain, kalaupun masyarakat dunia bersikukuh menolak eksistensi Israel, saat ini sudah hampir mustahil memutar kembali argumentasi historis tentang keberadaan Israel di wilayah itu dengan posisinya yang sudah sedemikian kuat sekarang.

Maka sebagai solusi, masyarakat dunia mesti menolak eksistensi keduanya, kecuali mereka bersedia dilebur menjadi satu negara. Lalu mendorong mereka membentuk negara baru melalui referendum yang adil dan terbuka.

Membangun Skema Kekuatan Moral

Lebih jauh, hal lain yang juga perlu dipertajam adalah eksplorasi strategi diplomatik Indonesia. Mengingat kompleks dan rigitnya variable yang melingkupi permasalah konflik Israel-Palestina, apapun opsi yang akhirnya dipilih, tetap perlu ada skema strategis yang bersifat global untuk mendorong perdamaian di Palestina, sekali untuk selamanya. Dibutuhkan semacam skema kekuatan politik dan moral seperti Konferensi Asia Afrika (KAA) atau Forum Gerakan Non Blok (GNB) di masa lalu.

Saat ini skema gerakan politik seperti KAA atau GNB di masa lalu memang terlihat sulit diulang kembali. Akan tetapi, dengan tingginya posisi tawar Indonesia saat ini di DK PBB, ditambah lagi dengan kian menguatnya nilai strategis Indonesia di forum internasional, penggalangan gerakan moral universal seperti di atas sangat mungkin untuk dilakukan, meskipun dengan format dan narasi yang berbeda.

Hal ini akan menjadi lebih realistis, mengingat Indonesia adalah negara yang menganut doktrin politik luar negeri Bebas-Aktif. Dimana doktrin ini bukan bermakna "zero-enemy", tapi lebih tepat sebagai kemerdekaan bangsa Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan keadilan. Ini adalah sebuah pijakan nilai yang kokoh bagi Indonesia untuk menggalang kekuatan moral dunia.

Selain itu, sebagaimana kita saksikan, saat ini sejumlah elemen masyarakat dunia – mulai dari tingkat atas hingga akar rumput – berkelompok ataupun sendiri-sendiri, semua sudah memberikan dukungannya pada Palestina dan mengutuk kebijakan Israel di kawasan tersebut.

Jangan lupa, Konferensi Asia Afrika yang berujung pada berdirinya GNB, diselenggarakan hanya 10 tahun setelah Republik Indonesia merdeka. Tidak ada posisi tawar baik ekonomi maupun perdagangan yang bisa dijadikan sebagai background diplomatik oleh para pemimpin kita pada masa itu. Namun disebabkan tingginya nilai moral dan universalitas ide yang di usung pada masa itu, sebuah kekuatan politik bisa dibangun.

Realitas kekuasaan dunia memang tidak selalu berpihak pada yang tertindas. Namun sejarah membuktikan bahwa kekuatan moral, jika dikonsolidasikan, mampu mengubah arah zaman. Lagi pula, dalam narasi perjuangan Negara-negara Gerakan Non-Blok, dan juga Konferensi Asia Afrika tahun 1955, janji kemerdekaan Palestina adalah hutang sejarah yang sampai hari ini belum dilunasi. Wallahualam bi sawab

Penulis Dosen Hubungan Internasional, FISIP - UNIKOM, Bandung

(jat/jat)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial