Jakarta -
Sebuah karya Jeff Schlegelmilch (2020), yang berjudul Rethinking Readyness, mengingatkan kita bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Memasuki abad ke-21, dunia dilanda ketidakpastian dan ancaman serius yang berpotensi menyebabkan krisis global, tak terkecuali ancaman krisis iklim.
Badan Iklim Uni Eropa mencatat, tahun 2023 sebagai tahun terpanas dunia. Suhu global pada tahun 2023 meningkat sekitar 1,48 C lebih hangat daripada rata-rata suhu era pra-industri tahun 1850-1900. Ini menjadi alarm buat semua, karena krisis iklim berpotensi menjalar dan berdampak pada berbagai sektor strategis seperti kelangkaan air, energi, dan pangan.
Maka, di tengah ancaman krisis global tersebut, Indonesia perlu mengambil langkah strategis melalui pemanfaatan hutan sebagai cadangan air, energi, dan pangan untuk mendukung ketahanan nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam diskursus publik, kerap muncul kesalahpahaman bahwa memanfaatkan hutan dimaknai sebagai deforestasi. Padahal, memaksimalkan fungsi hutan agar lebih kontributif terhadap kesejahteraan rakyat dapat dilakukan secara beriringan dengan menjaga hutan agar tetap lestari.
Dua aksi yang dapat dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan sebagai solusi dalam menghadapi ancaman krisis global. Terdapat bagian-bagian tertentu dari hutan kita yang dapat dioptimalkan sebagai bagian strategis untuk mendukung ketahanan bangsa khususnya ketahanan terhadap air, energi dan pangan.
Ada cara pandang lama yang harus kita ubah. Hutan sebagai komoditas antik dan tidak boleh disentuh agar tetap lestari. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru, namun tidak dapat dimaknai secara kaku. Di tengah ancaman krisis air, energi, dan pangan yang makin kompleks, hutan tidak bisa hanya jadi objek konservasi, tapi harus naik kelas.
Menjadikan hutan sebagai solusi untuk kebutuhan bangsa. Inilah paradigma baru yang kami dorong melalui kebijakan hutan sebagai cadangan air, energi, dan pangan. Sebuah lompatan visi untuk menjadikan hutan sebagai cadangan strategis bagi ketahanan nasional.
Hutan Sebagai Cadangan Air, Energi dan Pangan
Kritik yang kerap muncul adalah bukankah pemanfaatan hutan akan merusak lingkungan? Dalam konteks ini, kita tidak sedang berbicara soal menggunduli dan merusak hutan. Justru kita dorong agar hutan tetap lestari dan produktif.
Medorong tata kelola hutan yang lebih baik dan bijak. Mengelola kawasan yang sudah rusak untuk dipulihkan dengan nilai tambah. Ini visi kehutanan modern yaitu restorasi yang produktif dan lestari.
Kita tanami kembali lahan-lahan rusak dengan pohon-pohon yang tidak hanya menyerap karbon, tapi juga menghasilkan produk pangan, energi, komoditas non-kayu serta memulihkan fungsi hutan sebagai cadangan air. Kita buka ruang bagi petani dan masyarakat adat untuk menjadi pelaku utama, bukan hanya penonton melalui mekanisme perhutanan sosial. Inilah wajah kehutanan yang tidak elitis, partisipatif, inklusif, dan berpihak pada rakyat.
Sebagaimana disampaikan oleh Thomas L. Tidwell (2016), meningkatnya tekanan global seperti lonjakan populasi, perubahan iklim, degradasi lahan, dan kelangkaan air menuntut model pengelolaan hutan yang tidak hanya konservatif, tetapi juga proaktif dan produktif. Hutan mampu menyediakan sumber makanan, air bersih dan berlimpah, energi, hasil hutan, kegiatan ekonomi yang menopang dan meningkatkan masyarakat dan negara.
Oleh karena itu, pemanfaatan hutan secara berkelanjutan melalui agroforestri dan konservasi lanskap hutan adalah cara strategis untuk memastikan ketahanan dan produktivitas jangka panjang. Pandangan tersebut diperkuat Shawn D. Shifflett (2016), dalam kajiannya bahwa integrasi agroekosistem dalam lanskap hutan dapat meningkatkan ketahanan pangan, energi, dan air.
Hal ini terjadi melalui pemupukan alami, daur ulang air, penyimpanan karbon, dan produksi bioenergi. Dengan kata lain, hutan dapat menjadi sumber daya multifungsi yang menunjang kedaulatan air, energi, dan pangan tanpa mengorbankan kelestarian ekologisnya. Bahkan dalam konsepsi baru yang diusulkan oleh Felipe Melo, dkk (2020), menjadikan water, energy, food and forest securities sebagai satu kesatuan kerangka kerja hibrida dalam membangun hutan tetap lestari, produktif dan partisipatif.
Secara konkret, upaya ini dilakukan melalui pemanfaatan lahan terdegradasi yakni lahan-lahan yang kualitas ekologisnya rusak dan tidak produktif. Alih fungsi lahan terdegradasi untuk perluasan pertanian atau pengembangan biofuel seperti pohon aren, dapat mengurangi tekanan terhadap hutan alami dan mencegah deforestasi lebih lanjut.
Di sisi lain, restorasi hutan pada wilayah tangkapan air (watershed) juga dilakukan sebagai langkah penting untuk menjaga ketersediaan air bersih yang stabil, terutama di tengah ancaman krisis iklim dan kekeringan yang makin meningkat.
Dalam kerangka inilah, pendekatan WEF Nexus (Water-Energy-Food Nexus) menjadi sangat penting. Pendekatan ini memandang bahwa air, energi, dan pangan adalah tiga sumber daya yang saling terhubung dan harus dikelola secara terpadu untuk meningkatkan sinergi, mengurangi potensi konflik, serta menjamin keberlanjutan sistem hutan secara menyeluruh. Studi-studi ini mengafirmasi upaya pemerintah untuk memulihkan dan menjadikan hutan sebagai sumber cadangan air, energi dan pangan secara berkelanjutan.
Ketahanan Nasional Melalui Hutan
Kementerian Kehutanan telah mengidentifikasi sekitar 20 juta hektare kawasan hutan yang berpotensi menjadi cadangan air, energi dan pangan nasional. Kawasan ini bukan kawasan hutan primer atau kawasan konservasi yang dilindungi, tetapi lahan-lahan yang terdegradasi, terlantar, bahkan terbakar, yang selama ini tidak berfungsi secara optimal. Pemerintah memberikan atensi besar untuk melakukan tindakan restoratif terhadap hutan dan lahan yang tidak produktif.
Dengan upaya ini, potensi 20 juta hektare hutan sebagai cadangan pangan, energi, dan air merupakan langkah strategis yang berpijak pada kepentingan nasional dan sekaligus menjawab tantangan krisis global. Dari total itu, sekitar 1,1 juta hektare bisa ditanami padi. Hitung-hitungan kami, lahan seluas itu mampu menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun, jumlah yang setara dengan seluruh impor beras Indonesia pada 2023. Artinya, hanya dari sebagian kecil hutan cadangan ini saja, kita mampu mewujudkan swasembada pangan.
Di sektor energi, kami menyiapkan langkah besar melalui pengembangan bioetanol dari pohon aren. Tanaman ini bisa tumbuh di hutan, tidak bersaing dengan lahan pertanian, dan tiap hektarenya mampu menghasilkan 24 ribu liter bioetanol per tahun. Jika kita tanam 1,5 juta hektare aren, kita dapat memproduksi 24 juta kiloliter bioetanol yang cukup untuk menggantikan 26 juta kiloliter impor BBM.
Sementara itu, untuk ketahanan air, kami pastikan bahwa pendekatan agroforestri dalam hutan cadangan tidak mengganggu siklus hidrologi, justru dapat memperkuatnya. Penanaman vegetasi produktif dan endemik dapat memperbaiki tangkapan air dan mengurangi risiko banjir serta kekeringan.
Meneguhkan Komitmen
Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan yang jelas, hutan harus berfungsi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan. Karena itu, kami melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang selama ini macet dan tidak produktif.
Hasilnya, 18 perusahaan kami cabut izinnya, dengan total luasan lahan mencapai 526.144 hektare. Mengapa? Karena mereka diberi izin bertahun-tahun, akan tetapi tidak mengelola hutan sebagaimana mestinya. Di sisi lain, jutaan rakyat dan koperasi kehutanan menanti akses legal untuk bisa mengelola hutan secara bertanggung jawab. Maka negara harus hadir. Kami ingin memberi izin kepada yang benar-benar siap bekerja, bukan kepada yang sekadar menimbun hak. Upaya ini dapat memperkuat dan memperluas potensi hutan sebagai cadangan air, energi dan pangan nasional secara partisipatif dan inklusif.
Di lain sisi, kebijakan ini adalah bentuk pengejawantahan dari Asta Cita 2 yaitu memantapkan sistem pertahanan dan kemandirian nasional melalui swasembada pangan, energi, dan air. Karena kita tidak bisa selamanya bergantung pada impor. Apalagi di tengah geopolitik dunia yang tidak menentu. Tapi kita juga tidak bisa membangun dengan cara lama yang mengorbankan hutan secara serampangan. Kita membutuhkan jalan tengah yaitu menjaga hutan tetap lestari dan produktif, sekaligus mengisinya dengan nilai produktif dan membawa nilai tambah.
Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah yang sangat besar, Indonesia menghadapi tantangan dalam memastikan ketersediaan pangan, energi, dan air yang merata untuk seluruh rakyat. Di sinilah hutan berperan penting sebagai penjaga kedaulatan dan ketahanan yakni ketangguhan dalam menghadapi dan mengatasi ancaman krisis pangan, energi, dan air. Ketiganya adalah fondasi kemandirian bangsa di era krisis iklim dan geopolitik global.
Sebagaimana dikatakan Benjamin Franklin, "When the well is dry, we know the worth of water". Tak perlu kita menunggu air kering, untuk mengetahui betapa pentingnya air untuk kehidupan bangsa. Hutan Indonesia harus tetap menjadi paru-paru dunia, sekaligus sumber kehidupan bangsa.
Maka hari ini, kita tegaskan. Pembangunan tidak boleh berhenti, tetapi harus berpijak pada bumi dan rakyat. Dan melalui kebijakan hutan sebagai cadangan air, energi dan pangan, kita sedang menapaki jalan baru menuju masa depan yang hijau, sejahtera dan berdaulat.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Raja Juli Antoni, Ph.D.
(zap/zap)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini