Paus Leo XIV dan Cita-Cita Keadilan Semesta

6 hours ago 5

Jakarta -

Terpilihnya Paus Leo XIV tampak menguatkan harapan bagi perjuangan cita-cita keadilan semesta. Terlebih, ia menyebutkan Paus Leo XIII (1878–1903) dengan ensiklik Rerum Novarum sebagai inspirasi nama kepausannya. Pemilihan nama ini menjadi hal krusial, tak sekadar penghormatan tokoh dalam sejarah lampau, melainkan juga pernyataan arah kepemimpinan ke depan.

Dua Zaman
Rerum Novarum (1891) yang ditulis oleh Paus Leo XIII adalah tonggak Ajaran Sosial Gereja dalam menjawab tantangan ekonomi-politik di tengah guncangan Revolusi Industri Pertama. Agama dalam hal ini menjadi corong suara nurani rakyat dalam menjawab persoalan publik, khususnya cita-cita keadilan yang pada masa itu—hingga saat ini—terkoyakkan.

Ketidakadilan tampak nyata ketika martabat manusia, terutama yang miskin, hanya dipandang sebagai alat produksi. Relasi antarmanusia didefinisikan dalam sekat kelas berdasarkan kepemilikan modal dan kuasa semata. Ketimpangan pun tak terelakkan. Manusia yang dalam teologi Katolik diciptakan sungguh amat baik, menjadi hidup terpisah dalam jurang perbedaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Paus Leo XIII menolak sistem ekonomi-politik yang demikian invasif, termasuk juga ideologi sosialisme radikal. Ia menolaknya bukan karena ingin mempertahankan status quo pemilik modal, tetapi karena sistem tersebut menghapuskan kebebasan dasar manusia dan memperburuk ketimpangan melalui pemusatan kuasa.

Rerum Novarum menjadi bukti otentik bahwa organisasi keagamaan terbesar di dunia ini berani mengutuk eksploitasi buruh secara tegas. Termasuk memperjuangkan hak atas upah yang layak, kepemilikan pribadi dengan kondisi tertentu, hingga menuntut peran negara dalam mewujudkan keadilan distributif.

Memasuki abad kini, Revolusi Industri berkembang maju dengan segala kecanggihannya: era otomasi, data, dan kecerdasan buatan. Tegangan demi tegangan tercipta antara dambaan kemajuan umat manusia karena perwujudan keadilan, atau justru sejarah mengulang dirinya sendiri, karena perbudakan hadir dalam wajah baru: ketergantungan pada platform digital, eksploitasi data, hingga pemiskinan struktural oleh sistem algoritmik.

Warisan Pendahulu
Perbedaan zaman menuntut transformasi suara moral organisasi keagamaan yang didasarkan pada hati nurani. Sebab keadilan tak menjadi urusan masa lalu, melainkan krisis masa kini yang perlu dihadapi bersama.

Dua belas tahun kepemimpinan Paus Fransiskus sebagai pendahulu Paus Leo XIV menunjukkan semangat perjuangan keadilan yang mendalam. Ia mengingatkan kehati-hatian terhadap sistem ekonomi, terutama digital, yang menciptakan eksklusi dan mengancam demokrasi, sebab orang-orang lemah tersingkir dari ruang partisipasi publik.

Dalam Fratelli Tutti (2020), Paus Fransiskus menegaskan bahwa, "Selama sistem sosial ekonomi kita masih menghasilkan satu korban dan masih ada satu orang yang disingkirkan, tidak mungkin ada pesta persaudaraan universal."

Konteks zaman memengaruhi, sehingga Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum lebih berciri hirarkis dan instruktif; sedangkan Paus Fransiskus dalam banyak tulisan dan tindakannya lebih bersifat dialogis dan reflektif. Walau berbeda gaya, keduanya berjuang di titik yang sama: keadilan semesta.

Makna 'semesta' bukan hanya soal jangkauan geografis—bahwa keadilan perlu tersebar menyeluruh—tetapi juga kedalaman substantif, yakni menyentuh akar permaslahan. Sebab keadilan sering berjalan superfisial, salah satunya melalui berbagai kebijakan bantuan yang sifatnya temporer. Padahal keadilan berarti memulihkan martabat kaum miskin secara utuh.

Sebab, keadilan sejati, dalam bahasa Santo Ambrosius, bukan berarti orang kaya "memberi" kepada orang miskin, tetapi mengembalikan hak yang telah diambil. Hak sebagai aset yang ditimbun dalam sistem yang tidak adil pada dasarnya bukan milik pribadi, tetapi bagian dari kepemilikan bersama untuk kesejahteraan umum (bonum commune), sebagaimana tujuan luhur yang seharusnya dicapai melalui politik. Negara yang tak dapat mengusahakan keadilan dalam hal ini, kata Santo Augustinus, menjadi tak lebih dari segerombolan perampok.

Salah satu gagasan Paus Fransiskus dalam keadilan adalah sistem polyhedron, yakni struktur sosial, politik, hingga ekonomi yang mengakui perbedaan sebagai kekayaan dengan penghayatan pada prinsip subsidiaritas dan solidaritas.

Transformasi tata kelola perlu tercipta dalam relasi negara–masyarakat–pasar untuk bertindak aktif mengoreksi ketimpangan sistemik. Termasuk peran pemerintah yang dibutuhkan bukan untuk memonopoli kebaikan, tetapi untuk memungkinkan masyarakat berperan aktif dalam kebaikan bersama.

Gaya kepemimpinan para paus juga menunjukkan bahwa pemimpin nyatanya tak selalu berkaitan dengan kuasa elitis. Makna kekuasaan menjadi terdekonstruksi: pemimpin yang memiliki kekuasaan hanya akan bermanfaat ketika ia melayani.

Sebaliknya, kekuasaan yang hanya mengejar pengakuan, status, dan kepentingan personal menjadi bentuk pengkhianatan terhadap makna otoritas. Di sinilah dapat ditemukan makna keadilan dalam relasi dipimpin dan memimpin.

Arah ke Depan
Hari-hari pertama Paus Leo XIV tampak menunjukkan keselarasan perjuangan pada cita-cita keadilan. Ia melihat kecerdasan buatan, media digital, dan konflik global sebagai medan baru perjuangan keadilan.

Ia juga menyampaikan penderitaan rakyat Ukraina, Gaza, India, dan Pakistan serta menyerukan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan dari Balkon Utama Basilika Santo Petrus, Vatikan (11/05/2025).

Keesokan harinya, dalam pertemuan dengan perwakilan media di Aula Paulus VI, Paus Leo XIV juga menyinggung peran penting komunikasi digital. Bahwa media komunikasi perlu mampu mendengar suara yang tak bersuara. Ia mengajak media berperan melucuti kata-kata dari kebencian, manipulasi, dan belenggu teknik digital, karena itu sama halnya dengan melucuti dunia dari kekerasan.

Hal ini seakan menegaskan kembali perjuangan keadilan, bahwa keadilan diwujudkan bukan hanya bergantung pada siapa yang memegang kuasa, tetapi bagaimana kuasa itu bicara, dan kepada siapa ia berpihak.

Kita diharapkan tidak gagap menjawab zaman, sebab masa depan menghadirkan tantangan baru: bagaimana keadilan bisa ditegakkan dalam masyarakat digital yang cair, dalam ancaman geopolitik yang terpecah, dan dalam krisis sistem ekonomi-politik demokratis yang mulai kehilangan kedalaman.

Di masa ketidakpastian ini, hanya kepastian tujuan yang seharusnya kita miliki: bahwa cita-cita keadilan tetap menjadi arus utama perjuangan bersama—yang diusahakan melalui pengakuan atas martabat manusia secara penuh, menjaga kolaborasi dalam relasi untuk mewujudkan keadilan publik, serta memaknai dan menjalankan kekuasaan yang berorientasi pada pelayanan.

Hanya melalui tindakan demikian, mengutip Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013), kita seutuhnya menjadi "Gereja yang memar, terluka, dan kotor karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri." Semoga.

Penulis anggota Jemaat Gereja Kristen Indonesia, alumnus Ilmu Politik Universitas Airlangga

(jat/jat)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial