Politik Simbol Presiden: Ancaman Baru bagi Demokrasi Pilkada

1 month ago 44

Jakarta -

"Bila kita tidak melakukan koreksi saat ini, maka akan menjadi preseden ke depan di setiap pemilihan di berbagai tingkat. Bila kita tidak melakukan koreksi, maka praktik yang terjadi kemarin akan dianggap sebagai kenormalan, dan menjadi kebiasaan, lalu menjadi budaya, dan akhirnya menjadi karakter bangsa."

Pidato Anies Baswedan dalam sidang PHPU Pilpres di Mahkamah Konstitusi itu memuat kritik tajam atas proses pemilihan presiden 2024 yang dinilai penuh intervensi kekuasaan. Kutipan ini mengingatkan kita akan bahaya normalisasi praktik intervensi kekuasaan yang berpotensi menggerus esensi demokrasi Indonesia. Namun, kenyataannya, kekhawatiran ini kembali terbukti, bahkan kini dalam konteks Pilkada di era Presiden Prabowo.

Sejak awal masa kepemimpinan Prabowo sebagai presiden ke-8 Republik Indonesia, terdapat indikasi kuat bahwa pengaruh politik simbol presiden dalam pemilihan kepala daerah semakin nyata. Video dukungan kepada pasangan calon Luthfi-Taj Yasin (Jawa Tengah) dan Andra Soni (Banten), serta surat berlogo bintang empat untuk pasangan Ridwan Kamil-Suwono dalam Pilgub Jakarta, menunjukkan keberpihakan presiden secara terang-terangan. Ironisnya, semua pasangan calon yang didukung tersebut memiliki elektabilitas stagnan, sehingga dukungan simbol presiden dipandang sebagai strategi politik untuk menggerakkan pemilih.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, apakah efek dukungan presiden ini, sering disebut sebagai "Presiden Effect," benar-benar signifikan? Dan lebih jauh lagi, apa dampaknya terhadap demokrasi kita?

Politik Simbol dan Pendulum Kekuasaan

Pengaruh presiden dalam politik Indonesia bukan hal baru. Andi Widjajanto, pakar keamanan, pernah menyebut bahwa gerak presiden cenderung diikuti oleh lembaga negara lainnya. Dalam konteks Pilpres 2024, hal ini terlihat jelas ketika aparat negara berbondong-bondong mendukung calon yang diendors presiden. Dampak dari pendulum kekuasaan ini merembet ke ranah Pilkada, seperti yang kita saksikan saat ini.

Ketika presiden secara terang-terangan memberikan dukungan simbolik kepada pasangan calon tertentu, sinyal ini dapat ditafsirkan sebagai instruksi tidak langsung oleh birokrasi dan lembaga negara. Meski presiden tidak secara eksplisit mengarahkan lembaga negara untuk bertindak, dalam politik simbol, pesan implisit seringkali lebih kuat daripada perintah langsung. Akibatnya, terjadi pergeseran fungsi lembaga negara yang semestinya netral menjadi instrumen politik kekuasaan.

Dampak lanjutannya adalah melemahnya independensi institusi negara, terutama pengawas pemilu, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Ketika pendulum kekuasaan presiden bergerak ke arah politik praktis, sulit untuk tidak menyimpulkan adanya potensi bias sistemik dalam proses pemilihan.

Kepercayaan Publik dan Pengawas Pemilu

Baru-baru ini, Bawaslu RI mengumumkan hasil penyelidikan terkait video dukungan presiden kepada pasangan Luthfi-Taj Yasin. Dalam keputusan tersebut, Bawaslu menyatakan bahwa video tersebut bukan pelanggaran karena diambil pada hari Minggu, saat presiden dianggap sedang cuti. Namun, keputusan ini justru memunculkan kritik tajam dari publik. Banyak yang menilai bahwa alasan "cuti" yang digunakan Bawaslu lebih terlihat seperti pembenaran formal daripada penegakan aturan yang adil. Kritik ini menggambarkan kekecewaan masyarakat terhadap lemahnya interpretasi etika oleh lembaga pengawas yang seharusnya menjadi garda depan menjaga integritas pemilu.

Keputusan seperti ini tidak hanya menimbulkan persepsi bahwa lembaga pengawas kurang independen, tetapi juga menunjukkan bagaimana pertimbangan etis sering kali dikalahkan oleh tafsir hukum yang kaku. Dalam demokrasi yang sehat, netralitas pengawas pemilu adalah pilar penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Ketika tafsir hukum menjadi terlalu tekstual, tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan yang lebih luas, maka lembaga seperti Bawaslu cenderung dianggap gagal memenuhi tugas utamanya sebagai penjaga demokrasi. Ini menciptakan kesan bahwa pengawasan pemilu menjadi formalitas belaka, tanpa keberpihakan nyata pada kepentingan publik.

Fakta ini kembali mengingatkan kita pada kekecewaan publik di Pilpres 2024, ketika lembaga-lembaga negara yang seharusnya netral malah terlihat bias dalam menjalankan tugasnya. Ketidakmampuan Bawaslu untuk mengambil sikap yang tegas justru memperparah krisis kepercayaan terhadap demokrasi di Indonesia. Jika kepercayaan publik terhadap pengawas pemilu terus merosot, hal ini akan menjadi preseden buruk yang mengancam masa depan demokrasi kita.

Masyarakat yang apatis terhadap pengawasan pemilu akan memperlemah kontrol sosial, sehingga membuka peluang lebih besar bagi praktik-praktik manipulasi kekuasaan dalam proses pemilihan. Oleh karena itu, perlu ada reformasi serius dalam lembaga pengawas untuk memastikan demokrasi tetap terjaga di masa depan.

Demokrasi di Persimpangan Jalan

Fakta bahwa presiden menggunakan pengaruhnya dalam Pilkada semakin memperkuat tesis bahwa demokrasi di Indonesia tengah menghadapi ancaman serius. Demokrasi yang sehat membutuhkan pemisahan yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan proses pemilihan, namun intervensi simbolik maupun langsung oleh presiden menunjukkan indikasi melemahnya prinsip ini. Para ilmuwan politik telah lama memperingatkan tentang gejala kemerosotan demokrasi di Indonesia, termasuk melemahnya independensi institusi negara yang seharusnya netral. Dalam konteks Pilkada, dukungan presiden kepada pasangan calon tertentu menciptakan ketidaksetaraan dalam kompetisi politik, yang berujung pada ketimpangan akses terhadap sumber daya dan peluang kemenangan.

Salah satu gejala kemerosotan demokrasi di Indonesia dapat dilihat dari laporan Democracy Index 2023 oleh The Economist Intelligence Unit, yang mengkategorikan Indonesia sebagai "demokrasi cacat" (flawed democracy) dengan skor 6,54. Salah satu indikator yang menurun drastis adalah proses pemilu dan pluralisme politik. Intervensi presiden dalam Pilkada tidak hanya mencerminkan rendahnya skor ini, tetapi juga menguatkan argumen bahwa demokrasi Indonesia sedang berada dalam fase rentan. Ketika presiden sebagai simbol negara tidak mampu menjaga netralitasnya, hal ini memberikan preseden buruk bagi masa depan demokrasi kita, di mana pemilu semakin terjebak dalam politik patronase.

Perdebatan apakah demokrasi Indonesia mengalami kemunduran atau stagnasi masih menjadi isu yang kompleks. Namun, benang merah dari diskusi ini tetap jelas: demokrasi kita sedang berada dalam kondisi rapuh yang membutuhkan perhatian serius. Keterlibatan presiden dalam Pilkada mengindikasikan bahwa mekanisme kontrol terhadap kekuasaan eksekutif belum cukup kuat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan hanya kepercayaan publik yang akan melemah, tetapi juga fondasi demokrasi itu sendiri. Dalam situasi ini, penguatan mekanisme pengawasan, baik oleh lembaga negara maupun masyarakat sipil, menjadi sangat penting untuk memastikan demokrasi Indonesia tidak semakin terpuruk.

Sebagai penutup, politik simbol presiden dalam Pilkada adalah ancaman nyata bagi demokrasi kita. Jika tidak segera dikoreksi, praktik ini akan menjadi kenormalan baru yang sulit diubah di masa depan. Dalam konteks ini, tanggung jawab ada pada semua pihak, mulai dari pemerintah, lembaga pengawas, hingga masyarakat sipil, untuk memastikan demokrasi tetap berjalan di atas prinsip keadilan dan transparansi. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sehat adalah fondasi utama bagi masa depan Indonesia yang lebih baik.


Abdul Kodir, Staf Pengajar Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Malang

(akd/akd)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial