Jakarta -
Hanya berjarak satu meter dari masjid, salah satu Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) sudah ramai sejak dibuka pukul 8 pagi. Terlihat beberapa anak bermain ditemani orangtua mereka, menikmati pagi di ruang terbuka yang langka di Jakarta. Suasana RPTRA yang ramai ini menjadi pengingat betapa pentingnya fungsi ruang publik di tengah dominasi pembangunan kota Jakarta yang kian padat, hiruk pikuk komersial yang terus menekan ruang hidup sehari-hari warga.
Di sisi lain, Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta yang seharusnya mencapai lebih dari 30 persen wilayah (sesuai target RTRW Jakarta 2030) ternyata masih jauh dari harapan. Data dari Jakarta Satu menunjukkan RTH saat ini hanya mencakup 5,18 persen dari total luas wilayah Jakarta. Kondisi ini mencerminkan betapa sempitnya ruang hijau yang tersisa, seolah tersisih oleh betonisasi dan gedung-gedung yang tumbuh bak jamur, menyisakan sedikit sekali ruang untuk sekadar bernapas.
Ruang publik seperti RPTRA semakin diperlukan sebagai penyeimbang dari pola pembangunan homogen yang dikuasai oleh akumulasi kapital. Warga butuh Sharing City --kota yang bukan hanya "pintar" dengan infrastruktur canggih, tetapi juga menyediakan aspek kehangatan dan rasa saling memiliki di antara warganya. Sharing City memberi arti bahwa kota tidak sekadar menjadi tempat tinggal, tetapi ruang hidup yang bisa diakses, dimiliki, dan digunakan bersama oleh semua kalangan.
Inspirasi dari Seoul
Jakarta dapat mengambil inspirasi dari Seoul yang menerapkan budaya jeonse, suatu bentuk ekonomi berbagi yang menciptakan ruang inklusif bagi warganya. Di Seoul, jeonse diterapkan dalam berbagai aktivitas, mulai dari usaha kecil, ruang kerja bersama, hingga program berbagi peralatan rumah tangga. Misalnya, banyak kafe di Seoul yang menyediakan ruang bersama dengan fasilitas lengkap sehingga warga dapat menggunakannya sebagai tempat kerja atau pertemuan.
Selain itu, pemerintah kota Seoul mendorong warga untuk memanfaatkan shared kitchens dan makerspaces di lingkungan perumahan yang didukung oleh dana pemerintah lokal. Pendekatan ini berhasil menghidupkan kembali hubungan antarwarga dan mendorong tumbuhnya budaya berbagi yang memperkuat kohesi sosial, di mana warga merasa saling terhubung melalui kegiatan berbagi sumber daya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Jakarta tampaknya begitu giat dengan betonisasi, sibuk merangkai jalan, gedung, dan apartemen, hingga melupakan kepentingan warga akan ruang-ruang publik yang ramah dan nyaman. Hak warga untuk memiliki tempat berkumpul yang teduh, terbuka, dan mengundang mereka untuk berinteraksi sosial perlahan hilang. Lebih dari sekadar kebutuhan fisik, ruang-ruang ini adalah ruang psikologis bagi warga untuk mengurangi beban kehidupan perkotaan.
Belum lagi, sebagai kota yang dipenuhi kendaraan pribadi, Jakarta semakin terbebani dengan fenomena Urban Heat Island (UHI), di mana suhu udara di perkotaan meningkat akibat dominasi beton dan aspal. Fenomena ini memperparah kenyataan bahwa Jakarta sudah panas, bukan hanya karena terik matahari tetapi juga karena aktivitas ekonomi yang tak kenal henti.
Jauh sebelum istilah UHI populer, penyair Umbu Landu Paranggi seakan telah menangkap esensi ini dalam puisinya, Apa Ada Angin di Jakarta. Melalui syairnya, Umbu menggambarkan Jakarta sebagai kota yang pengap, mungkin karena sesaknya manusia atau karena sesaknya pembangunan yang mengelilingi pusat kota tanpa henti.
Masih Ada Harapan
Di tengah persiapan Pilkada Jakarta 2024, harapan akan pemimpin baru yang memahami pentingnya ruang publik terasa genting. Namun, ingar bingar Pilkada ini tampak hambar --terutama dalam debat antarcalon gubernur dan wakil gubernur sejauh ini yang tidak menangkap persoalan fundamental ini. Tidak ada diskusi serius mengenai ruang publik atau strategi untuk mengatasi dampak betonisasi yang mencekik.
Apakah perencanaan pembangunan kota yang humanis sudah dilupakan, atau jangan-jangan Pilkada ini sekadar kontestasi untuk perebutan kuasa tanpa komitmen nyata untuk memenuhi hak-hak dasar warga Jakarta? Saya membayangkan sosok pemimpin Jakarta yang berani mengutamakan warga dalam rencana pembangunannya. Pemimpin yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga memperhatikan hak setiap warga untuk merasa nyaman dan aman di kotanya.
Pemimpin yang mampu mendorong warganya untuk menguatkan rasa memiliki terhadap lingkungan tempat tinggal mereka, menciptakan Jakarta yang bukan sekadar kota modern tetapi juga hangat dan inklusif. Jakarta tidak kekurangan modal, tetapi kota ini seolah kekurangan ruang untuk berhenti sejenak, berteduh, dan menikmati kehidupan. Pemimpin yang akan datang diharapkan bisa mendukung inisiatif seperti Sharing City, yang mendorong kolaborasi dalam penggunaan ruang, fasilitas, dan sumber daya bersama. Bukan hanya infrastruktur fisik yang dibutuhkan warga, tetapi ruang yang membuat mereka merasa dilibatkan dan dihargai sebagai bagian dari kota.
Kembali teringat sobekan puisi Umbu Landu Paranggi, seolah menjadi pengingat bahwa Jakarta yang nyaman dan sejuk adalah impian yang bisa saja menjadi nyata. Jakarta memang padat, tetapi masih ada harapan bagi kota ini untuk menjadi ruang hidup yang sehat, ramah, dan adil bagi semua warganya. Dan, mungkin saatnya bagi kita untuk kembali merenung, seperti dalam baris puisi Umbu:
Kembali ke desa, membangun esok hari, kembali ke huma berhati
Baris ini mengingatkan kita bahwa pembangunan yang berkelanjutan bukan hanya soal gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan besar, tetapi juga tentang mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan, komunitas, dan lingkungan yang hidup dan berkelanjutan. Jakarta, seperti halnya desa, bisa dibangun dengan hati yang peduli terhadap kesejahteraan warganya. Kota ini tidak hanya harus menjadi tempat untuk mencari nafkah, tetapi juga tempat untuk berbagi, beristirahat, dan merayakan kehidupan bersama.
Anang Fajar Sidik Wakil Direktur The Strategic Research and Consulting
(mmu/mmu)