Pilkada dan (Pentingnya) Janji Kampanye

1 month ago 27

Jakarta - Pemilihan kepala daerah (pilkada) sering tampak menjanjikan angin segar bagi sistem demokrasi—kesempatan bagi para pemimpin daerah untuk membentuk kebijakan yang lebih selaras dengan masyarakat mereka, di mana mereka memahami tantangan dan aspirasi daerah secara mendalam.

Para kandidat dengan penuh semangat menyampaikan janji-janji kampanye, yang menargetkan pendidikan, perawatan kesehatan, lapangan kerja, infrastruktur, pemberdayaan lanjut usia dan kohesi sosial. Namun, setelah kegembiraan musim pemilihan mereda, janji-janji muluk ini sering diredam oleh kenyataan pahit tata kelola politik. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa ada kesenjangan yang begitu signifikan antara janji-janji kampanye dan kenyataan politik?.

Janji: Sebuah Konflik Filosofis

Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan di atas adalah dengan memeriksa kesenjangan antara "yang ideal" dan "yang nyata" dalam politik. Plato, dalam bukunya Republic, mengemukakan gagasan tentang "raja-filsuf" --seorang penguasa ideal yang memerintah berdasarkan kebijaksanaan dan kebenaran, tidak terkekang oleh gangguan dan kompromi politik sehari-hari.

Bagi Plato, yang ideal adalah bentuk kebenaran dan keadilan absolut, sedangkan yang nyata berantakan dan penuh dengan kompromi yang tidak sempurna. Dalam pemilihan umum, janji-janji kampanye mewakili yang ideal —visi dunia yang lebih baik yang diklaim para kandidat akan mereka wujudkan. Namun, ketika memangku jabatan, mereka dihadapkan kepada dunia "nyata" dengan anggaran terbatas, kepentingan yang bersaing, dan perlawanan birokrasi yang telah berakar.

Ketegangan filosofis antara yang ideal dan yang nyata ini bukan sekadar ketidaknyamanan politik; ini adalah ciri intrinsik kehidupan demokrasi. Rakyat menginginkan pemimpin yang memiliki aspirasi tinggi dan melukiskan visi yang ambisius, tetapi mereka juga mengharapkan pemimpin bersikap pragmatis.

Dengan demikian, janji-janji kampanye berfungsi sebagai gambaran sekilas tentang apa yang mungkin dicapai kandidat jika kenyataan dapat sesuai dengan yang ideal. Janji-janji tersebut memberikan harapan, motivasi, dan arah, meskipun implementasinya secara penuh tidak mungkin.

Janji sebagai Kontrak

Gagasan tentang "kontrak sosial," yang dieksplorasi secara terkenal oleh Rousseau, juga menyoroti pentingnya janji-janji kampanye. Rousseau menyarankan bahwa masyarakat membentuk perjanjian implisit di mana individu menyerahkan kebebasan tertentu sebagai imbalan atas manfaat keamanan dan tata kelola kolektif. Janji-janji kampanye dalam konteks ini seperti kontrak mini dalam kontrak sosial yang lebih luas.

Ketika kandidat membuat janji, pada dasarnya mereka menetapkan kewajiban moral kepada publik—komitmen untuk memberikan hasil tertentu sebagai imbalan atas kepercayaan dan suara publik. Namun, seperti halnya kontrak sosial ideal Rousseau, yang mengasumsikan tingkat kesetaraan dan manfaat bersama yang jarang terjadi dalam kenyataan, janji-janji kampanye sering dirancang untuk menarik minat semua orang tanpa memperhitungkan sepenuhnya kendala politik yang mendasarinya.

Para kandidat kepala daerah, yang dibatasi oleh isu-isu struktural seperti peraturan perundang-undangan, tekanan ekonomi, dan sumber daya yang terbatas, sering mendapati diri mereka tidak mampu memenuhi janji-janji yang mereka buat dengan iktikad baik. Di sinilah letak paradoksnya; para pemilih mengharapkan calon kepala daerah bersikap jujur, tetapi mereka juga mengharapkan para kandidat untuk menginspirasi dengan janji-janji yang berani.

Ketika kenyataan tidak sesuai dengan yang ideal, kekecewaan pun muncul, tidak hanya pada masyarakat tetapi juga pada seluruh proses demokrasi. Namun, kekecewaan ini sendiri dapat mendorong masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban pemimpin mereka, menciptakan dinamika tarik-ulur yang membuat demokrasi terus berjalan, meskipun sering kali terasa seperti dua langkah maju, satu langkah mundur. Inilah ironi, bagaimana pemimpin menepati janjinya kepada masyarakat.

Janji-janji kampanye sering terasa seperti komitmen yang bersifat sementara—dibuat di tengah panasnya pemilu dan cepat terlupakan setelahnya. Namun, meskipun sering tidak mampu bertahan dalam kerasnya pemerintahan di dunia nyata, janji-janji kampanye merupakan bagian integral dari sistem demokrasi.

Janji-janji tersebut memiliki tujuan yang lebih dari sekadar hasil yang diharapkan, memberikan wawasan tentang prioritas, nilai-nilai, dan visi kandidat untuk masyarakat. Janji-janji kampanye menetapkan arah, membangun kepercayaan, dan memperkuat cita-cita kolektif masyarakat yang demokratis.

Janji dan Arah Kebijakan

Janji-janji kampanye sering tidak hanya menguraikan cita-cita luhur tetapi juga kebijakan-kebijakan khusus yang dapat berfungsi sebagai pola dasar bagi pemerintahan yang sebenarnya. Politisi mungkin tidak dapat memenuhi semua janji mereka, tetapi mereka sering kali mencapai sebagian dari janji-janji tersebut dengan menetapkan arah kebijakan dan prioritas legislatif berdasarkan kampanye mereka.

Pertimbangkan, misalnya, seorang kandidat yang menjanjikan reformasi pendidikan besar-besaran. Bahkan jika perubahan besar tidak dapat dilakukan karena keterbatasan anggaran, kandidat tersebut mungkin tetap mendorong peningkatan bertahap dalam pendanaan, kurikulum, atau dukungan guru yang mencerminkan penekanan kampanye mereka pada pendidikan. Janji tersebut tidak hilang; sebaliknya, janji tersebut telah berkembang dalam batasan realitas politik. Dalam pengertian ini, janji bukan sekadar pernyataan niat, tetapi kerangka kerja yang membentuk agenda legislatif, yang memandu jenis kebijakan yang dikejar dan diperdebatkan.

Politisi tidak hanya dimintai pertanggungjawaban atas prestasi mereka, tetapi juga atas kegagalan mereka memenuhi harapan. Ketika seorang politisi mengingkari janji kampanye, publik dapat menegur mereka, yang berpotensi meminta pertanggungjawaban mereka melalui media, advokasi, dan pemilihan umum mendatang.

Siklus janji dan kritik ini menciptakan sistem pertanggungjawaban, yang menekan para pemimpin untuk menjelaskan pilihan mereka dengan lebih baik dan berpotensi memperbaiki arah. Para pemilih mungkin kecewa jika janji terus-menerus diingkari, tetapi hal ini memperkuat pentingnya memenuhi komitmen, dengan setidaknya melakukan pengawasan parsial terhadap kekuasaan.

Meskipun janji-janji yang diingkari dapat menyebabkan frustrasi dan kekecewaan, janji-janji itu sendiri mewakili visi kandidat, menetapkan harapan, dan menciptakan kerangka kerja untuk akuntabilitas. Bahkan janji-janji yang tidak terpenuhi mendorong perdebatan politik ke depan, menyediakan titik acuan yang dengannya para pemimpin dinilai dan dievaluasi ulang.

Pada akhirnya, janji-janji kampanye penting karena janji-janji tersebut mewujudkan aspirasi bersama untuk kemajuan dan perubahan, yang mengingatkan para pemilih dan pemimpin tentang cita-cita yang ingin mereka capai. Oleh sebab itu, mengapa janji kampanye itu penting (bahkan saat dilanggar).

Yusrizal Hasbi Kepala Pusat Studi Hukum, Sosial dan Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe (mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial