Jakarta -
Pilkada 2024 akan menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Tidak hanya sebagai ajang pergantian kepemimpinan daerah, tetapi juga sebagai cerminan kualitas demokrasi yang semakin dewasa. Namun, dalam perjalanan menuju Pilkada 2024 ini, ada fenomena yang menarik untuk dikaji lebih dalam, yakni munculnya gejala democratic fatigue atau kelelahan demokrasi yang dialami masyarakat.
Demokrasi, sebagai sistem politik yang idealnya mengutamakan partisipasi aktif rakyat, justru menghadapi tantangan baru berupa apatisme politik. Carlos García-Rivero (Edt) dalam karya berjudul Democracy Fatigue: An East European Epidemy mendeteksi munculnya gejala ini di benua biru Eropa dalam kurun waktu transisi pasca-komunis di negara-negara Eropa Timur. Salah satu temuan menariknya, bagaimana korupsi, pemerintahan yang tidak efektif, dan elitisme politik (oligarki) telah menyebabkan ketidakpuasan publik dan penurunan kepercayaan terhadap institusi demokrasi. (Carlos García-Rivero: 2023)
Merujuk pada premis utamanya, teori democratic fatigue berbicara tentang kelelahan yang dialami masyarakat dalam menghadapi proses demokrasi yang berulang-ulang dan sering dianggap tidak efektif. Demokrasi membutuhkan partisipasi aktif dari warga negara, namun ketika warga merasa bahwa demokrasi tidak menghasilkan perubahan nyata atau manfaat langsung, rasa lelah dapat muncul. Ini diperparah jika proses politik diwarnai dengan elitisme politik (oligarki), korupsi, atau politik uang, yang membuat masyarakat skeptis terhadap efektivitas partisipasi politik mereka. (Peter Mair, Ruling the Void: The Hollowing of Western Democracy, 2013)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disadari atau tidak, gejala ini sebenarnya terasa di Indonesia. Pasca Reformasi 1998, terjadi penurunan yang cukup serius dalam hal partisipasi pemilih secara substansial, dan juga keterlibatan masyarakat dalam proses politik lainnya seperti kampanye, diskusi publik, dan pemantauan kebijakan. Apakah ini berarti masyarakat mulai lelah dengan proses demokrasi yang ada?
Menurut hemat saya, kelelahan dalam demokrasi bisa terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya adalah kompleksitas sistem demokrasi itu sendiri. Dalam satu tahun ini saja, kita sudah melaksanakan Pemilu dan Pilpres secara serentak. Dan, pada 27 November nanti, kita akan kembali menyelenggarakan pilkada di 545 daerah. Apabila dirinci, pilkada yang diselenggarakan secara serentak akan digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Bayangkan betapa masif dan melelahkannya proses tersebut.
Tapi yang lebih menjadi soal, kualitas dari semua event politik itu sendiri. Masyarakat, sejak era Reformasi, telah menikmati kebebasan politik yang luar biasa. Namun, kebebasan ini sering diiringi oleh ketidakpuasan terhadap hasil yang dicapai. Janji-janji politik yang tak terwujud, pemimpin yang dinilai tidak mampu merealisasikan visi mereka, serta konflik politik yang terus menerus terjadi menjadi pemicu kelelahan di kalangan pemilih. Inilah sebenarnya yang menjadi sebab utama lahirnya kelelahan demokrasi.
Berbagai event politik seperti Pemilu, Pilpres, dan Pilkada yang diharapkan menjadi ajang pemilihan langsung pemimpin daerah, terkadang malah menjadi arena perebutan kekuasaan yang diwarnai dengan politik uang, oligarki, dan keterlibatan elite nasional dalam urusan daerah. Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan yang diharapkan.
Dalam beberapa even politik sebelumnya, isu politik uang kerap mencuat ke permukaan. Politik uang menciptakan hubungan transaksional antara kandidat dan pemilih, di mana suara pemilih 'dibeli' dengan imbalan tertentu. Praktik ini jelas merusak prinsip demokrasi yang idealnya murni berdasarkan pilihan rakyat yang rasional. Politik uang juga memperlihatkan bagaimana oligarki masih memiliki pengaruh besar dalam proses politik di Indonesia.
Dalam kerangka itu, para oligark yang memiliki akses terhadap sumber daya besar mampu mempengaruhi hasil sebuah even politik seperti Pemilu dan Pilkada melalui sokongan dana yang mereka berikan kepada kandidat tertentu. Fenomena ini membuat kontestasi politik tidak lagi adil, karena kandidat yang didukung oleh oligarki memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh kandidat lain.
Besarnya Pengaruh Elite Nasional
Bila merujuk pada hajatan politik Pilkada 2024 mendatang, salah satu masalah utama adalah besarnya pengaruh elite politik nasional terhadap dinamika politik lokal. Dalam beberapa kasus sebelumnya, kandidat yang diusung oleh partai besar di tingkat nasional sering menjadi pemenang di Pilkada, bukan karena kualitas kepemimpinan mereka, melainkan karena dukungan dari pusat. Keterlibatan elite nasional ini membuat Pilkada menjadi tidak sepenuhnya representatif terhadap kehendak masyarakat lokal.
Dukungan pusat, dalam bentuk dana dan mesin politik, membuat kandidat-kandidat yang dekat dengan elite nasional cenderung lebih dominan. Akibatnya, kandidat yang berasal dari masyarakat lokal dengan visi dan misi yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah sering kali tersisih.
Terlebih para kepala daerah yang terpilih tersebut, banyak yang terjerat kasus korupsi. Pada 2021 saja, ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang terjerat kasus korupsi. Belum lagi anggota DPRD dan anggota partai politik. Akumulasi dari kekecewaan ini bukan tidak mungkin akan melahirkan apatisme politik masyarakat.
Yang perlu digarisbawahi, kelelahan dalam demokrasi sering berakar pada apatisme politik, yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, janji-janji politik yang tak terpenuhi, dan kurangnya kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Dalam konteks Pilkada 2024, jika masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak berpengaruh atau tidak ada perubahan signifikan dari pemilihan ke pemilihan, apatisme dapat menjadi salah satu penjelasan untuk democratic fatigue.
Memperketat Pengawasan
Untuk mencegah semakin dalamnya fenomena democratic fatigue, reformasi dalam penyelenggaraan Pilkada menjadi sangat penting. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memperketat pengawasan terhadap politik uang dan keterlibatan oligarki dalam Pilkada.
Lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu harus lebih tegas dalam menindak pelanggaran yang terjadi, dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku politik uang dan kampanye hitam yang merusak tatanan demokrasi. Sedangkan KPU harus memastikan bahwa proses pemilihan berjalan transparan, adil, dan bebas dari intimidasi politik.
Penguatan lembaga-lembaga ini akan memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa suara mereka benar-benar dihargai, dan hasil Pilkada mencerminkan aspirasi mereka yang sebenarnya. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi, sehingga mereka tidak semakin terjebak dalam kelelahan politik.
Selain itu, dan yang paling penting dari semua, peserta pemilu itu sendiri. Dalam kerangka itu, partai politik memegang peran penting dalam menjaga keberlangsungan demokrasi lokal, terutama dalam konteks Pilkada. Sayangnya, di Indonesia, partai politik sering dikritik karena kurang memberikan pendidikan politik yang cukup kepada masyarakat.
Dalam Pilkada, partai politik sering lebih fokus pada kepentingan jangka pendek untuk memenangkan kontestasi daripada membangun fondasi demokrasi yang sehat melalui kaderisasi dan pendidikan politik. Akibatnya, masyarakat sering merasa terputus dengan proses politik yang berlangsung, terutama ketika mereka tidak merasa diwakili oleh kandidat-kandidat yang diusung partai.
Ironisnya, yang merasa terputus dari proses yang berlangsung bukan hanya masyarakat, tapi juga kader partai itu sendiri yang ada di daerah. Tidak sedikit dari mereka yang sudah melakukan banyak usaha persiapan dan sosialisasi dalam rangka maju di Pilkada 2024 harus kandas keinginnya karena rekomendasi yang dikeluarkan pusat justru jatuh ke tokoh lain, yang tidak hanya berbeda partai dengannya tapi juga berasal dari non-partai dan bahkan berasal dari luar daerah tersebut. Hal ini jelas akan menjadi preseden buruk bagi DPP Partai bersangkutan, dan dalam jangka panjang akan menjadi sekam yang berujung pada kelelahan serius pada demokrasi kita.
Pilkada 2024 akan menjadi ajang pembuktian apakah demokrasi Indonesia mampu terus berkembang menjadi lebih matang, atau justru mengalami kemunduran akibat fenomena democratic fatigue. Apakah demokrasi kita akan menanjak menjadi civic virtue dan menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, atau akan kandas di altar konsolidasi elite nasional.
Wim Tohari Daniealdi dosen Fisip Unikom Bandung, peneliti di Pemilu Watch Indonesia
(mmu/mmu)