Perempuan Mandiri Beli Rumah Sendiri

1 month ago 32

Sejak kecil, Jelita Cahya Wahyuni sudah merasakan bagaimana pahitnya tinggal dari satu kontrakan ke pintu kontrakan lainnya. Makanya, saat sudah bisa memiliki penghasilan sendiri, perempuan yang akrab disapa Jelita ini berikhtiar untuk bisa membeli rumah sendiri. Namun, dengan latar belakang keluarganya yang biasa-biasa saja, proses menuju kepemilikan hunian pertamanya tentu tidak akan mudah. Apalagi harga rumah dari tahun ke tahun semakin mahal sehingga terasa susah digapai.

“Aku sudah berencana buat beli rumah secara kredit lewat KPR (Kredit Kepemilikan Rumah),” tutur Jelita. Saat membeli rumah menggunakan KPR, Jelita bisa lebih cepat menempati rumah impiannya tanpa perlu menabung lama. Skema ini akan meringankan beban di awal pembelian.

Berbeda dengan teman-teman Jelita yang menghabiskan penghasilan hanya untuk memenuhi kebutuhan leisure seperti nonton konser atau jalan-jalan. Di usia awal 20-an, ia sudah memiliki rencana keuangan yang jelas. Memiliki rumah menempati urutan pertama dalam skala prioritasnya. “Buat aku rumah bukan cuma sekedar tempat yang bisa ditinggalin, tapi juga jadi simbol kemandirian,” kata perempuan yang kini berusia 32 tahun.

Untuk mewujudkan impian itu, lulusan Sastra Inggris di salah satu kampus di Jakarta Timur ini menyambi beberapa pekerjaan sekaligus. “Dari sebelum lulus kuliah di tahun 2014 , aku sudah kerja, pas lulus dan kerja kantoran pun, aku tetap ambil freelance penerjemah, belajar investasi saham juga. Aku mesti konsisten menabung di jumlah yang sudah aku targetin supaya goalnya bisa tercapai,” ucap Jelita yang pada saat itu ingin menabung hingga Rp 50 juta untuk jaga-jaga, sekaligus sebagai persyaratan DP rumah.

Keinginan untuk mengambil KPR sempat ia utarakan di depan keluarganya. Ayah Jelita sempat menentang keputusan anak sulungnya itu. “Kata Bapak ‘Perempuan ngapain ngambil KPR, kalau sudah menikah itu jadi tanggung jawab laki-laki’.” Berbeda dengan ayahnya, Jelita yang masih melajang ini tidak lagi melihat pembelian rumah sebagai urusan laki-laki. Baginya perempuan juga mesti bisa berdiri di atas kaki sendiri. Membeli rumah sebelum menikah baginya merupakan langkah penting untuk mencapai kemandirian.

“Capek kalau harus bergantung sama orang lain. Selama kita yakin mampu dan nggak akan nyusahin orang lain kenapa nggak. Biar nanti pas nikah juga aku ngerasanya sudah ada pegangan sendiri.Jadi lebih tenang.”

Saat dirasa tabungannya sudah cukup untuk memenuhi persyaratan DP dan kemampuan finansial jangka panjang, Jelita mulai menggali informasi pengambilan KPR lewat internet ia juga sempat menggunakan simulasi kredit salah satu bank negara untuk mengetahui perkiraan jumlah cicilan rumah impiannya dan apakah memungkinkan untuk dicicil dengan kondisi keuangannya saat itu.

Jelita menginginkan rumah yang dekat dari tempat kerja dan tidak jauh dari stasiun KRL. Setelah melakukan serangkaian survei rumah, akhirnya Jelita memanfaatkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan memilih rumah subsidi di daerah Bogor, Jawa Barat. Proses pencarian rumah, pengurusan berkas hingga akad yang Jelita jalani memakan waktu selama 6 bulan. Jelita melakukan proses serah terima kunci di kantor developer pada Juni 2022 silam.

“Aku dapat tenor KPR yang 20 tahun, cicilannya ringan, sekitar Rp 1 jutaan per bulan. Beli rumah pakai KPR memang harus dipertimbangin matang-matang karena komitmennya bakalan lama,” pungkas Jelita, hingga kini ia masih menjadi nasabah KPR.

Dulu, perempuan kebanyakan lebih bergantung pada suami dalam hal membeli rumah. Namun para perempuan lajang masa kini justru ikut berperan dalam kepemilikan properti. Perubahan ini disampaikan oleh Nixon LP Napitupulu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (BTN), dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI bersama Dirut PT BNI, BTN, BSI, BRI, dan Bank Mandiri (Persero) Tbk di Senayan pekan lalu. Ia mengungkapkan ada kenaikan pengambilan KPR dari kalangan perempuan.

Sejak tahun 2020 sampai 2024, sebanyak 32,5 persen atau 173.476 unit rumah yang telah dibiayai lewat KPR adalah milik perempuan dengan nilai setara dengan Rp 25 triliun. Meski angka ini lebih rendah dibanding dengan pemohon laki-laki yang mencapai 67,5 persen, data tersebut menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.

"Dari sisi akad, hari ini juga menarik, akad makin menarik semakin hari trennya, yang akad lebih banyak perempuan. Kita lihat dulu dominan pria. Hari ini, perempuan sudah 32%," ungkapnya. Menurut data realisasi KPR di BTN, masyarakat angkatan milenial kelahiran 1980-1996 cukup mendominasiyakni 76,6%, sedangkan dari kalangan usia lain hanya 23,3%.

Fenomena ini merupakan sesuatu yang baru karena sebelumnya pengambil KPR didominasi oleh laki-laki. Perubahan ini mencerminkan peningkatan independensi finansial di kalangan perempuan. Banyak perempuan lajang Indonesia yang memiliki pendapatan memadai hingga akhirnya memutuskan membeli rumah sendiri.

Data Angkatan kerja formal berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional atau Sakernas BPS juga mendukung peningkatan independensi di kalangan perempuan ini. Jumlah perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional juga hampir setara dengan laki-laki. Di tahun 2023, laki-laki pekerja di sektor formal sebanyak 44,19% sedangkan perempuan sebesar 35,57%.

Mayoritas pembeli rumah di Indonesia masih didominasi dengan skema KPR. Hasil survei dari Asosiasi Real Estate Indonesia menunjukkan bahwa rumah dengan kisaran harga antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar, sebesar 90% masih ditransaksikan menggunakan KPR. Di wilayah sekitar Jakarta, seperti Kabupaten Bogor, Bekasi, dan Depok, harga rumah terjangkau, berkisar antara Rp 300 juta hingga Rp 600 juta lebih mudah ditemui. Hal ini memberikan peluang bagi generasi milenial untuk memiliki hunian di luar pusat kota dengan harga lebih terjangkau. Menurut data dari Bank Indonesia, harga rumah di kota - kota besar mengalami kenaikan rata-rata 5-10% per tahun.

Sebelum memutuskan untuk mengajukan KPR, beberapa hal penting perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak membebani keuangan di masa depan. Menurut pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, Arianto Muditomo, pertimbangan utamanya adalah dengan memastikan penghasilan per bulan cukup untuk membayar cicilan tersebut. Pemohon KPR juga mesti menghitung total pembayaran bunga dan memilih tenor KPR yang tepat.

"Kesiapan mengambil KPR bukan semata kebutuhan, tetapi adalah kepastian penghasilan yang menjamin kemampuan mengangsur jangka panjang," kata Arianto. Sejak April 2024, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25%, yang juga akan mempengaruhi besaran cicilan dan bunga KPR yang dibayar.

Sementara Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Irfan Syauqi Beik juga menyatakan hal serupa. Pemohon mesti mempertimbangkan kemampuan finansial dalam jangka panjang. Selain itu kewajiban pembayaran KPR lebih baik 20% dari penghasilan per bulan.

"Usahakan kewajiban KPR itu jangan lewat dari 30% income (penghasilan) karena kalau sampai separuhnya tentu itu akan memberikan beban. Khawatirnya nanti dia kesulitan. Kalau menurut saya kalau lebih dari 30% itu namanya memaksakan," sebut Irfan.

Irfan menekankan, membeli rumah dengan KPR harus memiliki rencana di umur berapa harus dilunasi dan yakin bisa dilunasi. Dia menyarankan sebaiknya KPR sudah dilunasi sebelum masuk masa pensiun sekitar 55 tahun. "Kalau katakan dia di usia 30, mengambil KPR standar misalnya 15 tahun. Maka di usia 45 Dia sudah bisa menyelesaikan kewajibannya. Kalau misalnya pada case tertentu sampai 20, maka jangan lewat dari usia 50 tahun," pungkasnya.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial