Jakarta -
Ibu saya, seorang guru Kelas 1 SD yang telah mengabdikan diri selama puluhan tahun, selalu menganggap pembagian rapor sebagai momen yang istimewa. Bukan hanya sekadar membagikan lembaran nilai, tetapi juga kesempatan untuk berinteraksi dengan orangtua murid, membahas perkembangan anak, dan menjalin kerja sama untuk mendukung proses belajar mereka.
Selama bertahun-tahun, memberikan ranking pada rapor adalah hal yang lumrah, sebuah tradisi yang seolah tak terpisahkan dari sistem pendidikan kita. Namun, seiring perubahan kurikulum dan paradigma pendidikan, pemeringkatan ditiadakan. Ibu saya, yang selalu patuh pada aturan, dengan setia menerapkan kebijakan baru ini.
Awalnya, ia mengira perubahan ini akan disambut baik oleh para orangtua. Namun, realita berkata lain. Pada hari pembagian rapor, ketika para orangtua murid berbondong-bondong datang ke sekolah, protes pun bermunculan. "Ibu, kok tidak ada rankingnya? Anak saya nilainya bagus, masa tidak ada peringkatnya?" seorang ibu menyampaikan keluhannya dengan nada tinggi.
Ibu saya dengan sabar menjelaskan tentang perubahan kurikulum dan alasan di balik penghapusan ranking. Namun, para orangtua tampaknya tidak peduli. Mereka tetap menuntut adanya ranking, seolah-olah itulah satu-satunya indikator kesuksesan anak mereka.
"Ibu, kami ingin tahu anak kami berada di posisi berapa? Apakah dia termasuk anak yang pintar atau tidak?" timpal orangtua lainnya. Ibu saya mencoba menjelaskan bahwa setiap anak memiliki keunikan dan potensi masing-masing, dan ranking tidak cukup untuk menggambarkan kemampuan mereka secara utuh. Namun, argumen ibu saya seakan jatuh di telinga yang tuli.
Dihadapkan pada desakan yang tak henti-henti, ibu saya pun mengalah. Dengan berat hati, ia akhirnya memberikan peringkat di rapor siswa. Bukan karena ia setuju dengan sistem ranking, tetapi lebih karena ingin menyudahi protes dan melanjutkan proses pembagian rapor. Kejadian ini terus berulang pada tahun-tahun berikutnya. Ibu saya terjebak dalam dilema antara mematuhi aturan dan memenuhi tuntutan orangtua murid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena di atas hanyalah secuil potret obsesi masyarakat Indonesia terhadap kompetisi di dunia pendidikan. Seolah-olah nilai, peringkat, dan gelar juara adalah segalanya, penentu tunggal kesuksesan seseorang. Kurikulum boleh berubah, sistem penilaian boleh dirombak, namun hasrat membara untuk menjadi yang terdepan, mengalahkan yang lain, tak pernah padam.
Lantas, benarkah kompetisi adalah obat mujarab bagi kemajuan pendidikan? Atau, justru racun yang perlahan menggerogoti esensi belajar itu sendiri?
Sistem pendidikan di Indonesia, sejak era kolonial hingga Orde Baru, memang kental dengan nuansa kompetisi. Ujian nasional, peringkat kelas, seleksi masuk perguruan tinggi, semuanya didesain untuk menyaring individu-individu "terbaik". Mentalitas ini diperparah oleh budaya masyarakat yang memuja kesuksesan instan dan pengakuan sosial. Gelar juara, IPK tinggi, dan sederet prestasi akademis menjadi simbol status, jaminan masa depan yang cerah.
Namun, di balik gemerlap piala dan piagam penghargaan, tersimpan dampak negatif yang tak bisa diabaikan. Alfie Kohn, seorang penulis dan kritikus pendidikan terkemuka, dalam bukunya No Contest: The Case Against Competition, mengungkapkan bahwa kompetisi justru menghambat proses belajar yang sesungguhnya. Ia menjelaskan bahwa dalam lingkungan kompetitif, fokus siswa teralihkan dari pemahaman materi ke perolehan nilai dan pengakuan. Mereka belajar untuk mengalahkan orang lain, bukan untuk mengembangkan diri.
Riset yang dilakukan oleh John Nicholls, profesor pendidikan di Universitas Illinois, juga menunjukkan bahwa siswa yang termotivasi oleh kompetisi cenderung memilih tugas-tugas yang mudah dan menghindari tantangan. Mereka takut gagal, takut terlihat bodoh di mata orang lain. Akibatnya, kreativitas dan inovasi terhambat, rasa ingin tahu terkikis, dan pembelajaran menjadi dangkal.
Di tingkat perguruan tinggi, kompetisi tak kalah sengit. Perburuan IPK tinggi, rebutan beasiswa, dan persaingan masuk dunia kerja menciptakan tekanan luar biasa bagi mahasiswa. Mereka dipaksa menjadi "mesin pencetak angka", mengabaikan aspek-aspek penting lain seperti pengembangan soft skill, kemampuan berorganisasi, dan kepedulian sosial. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi banyak yang cerdas secara akademis namun miskin keterampilan hidup dan kepekaan sosial.
Bahkan, acara-acara akademis seperti seminar dan simposium pun tak luput dari jerat kompetisi. Presentasi ilmiah yang seharusnya menjadi ajang berbagi pengetahuan dan gagasan, diubah menjadi arena perlombaan. Para peserta berlomba-lomba memamerkan kehebatan, mencari pengakuan, dan merebut gelar juara. Esensi ilmiah terpinggirkan, digantikan oleh ambisi pribadi dan gengsi semu.
Kondisi ini tentu memprihatinkan. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembebasan dan pencerdasan, justru terjebak dalam pusaran kompetisi yang destruktif. Alih-alih mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas, kreatif, dan berkarakter, sistem pendidikan kita justru memproduksi individu-individu yang egois, materialistis, dan haus pengakuan.
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Pertama, kita perlu mengubah paradigma tentang kesuksesan. Kesuksesan bukanlah semata-mata tentang nilai, peringkat, dan gelar juara. Kesuksesan sejati adalah tentang pengembangan potensi diri, pemberdayaan masyarakat, dan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa.
Kedua, kita perlu menciptakan lingkungan belajar yang kolaboratif dan mendukung. Guru dan dosen bukanlah pengajar yang otoriter, melainkan fasilitator yang mendorong siswa untuk belajar secara aktif, berpikir kritis, dan mengembangkan kreativitas. Siswa bukanlah pesaing, melainkan mitra belajar yang saling mendukung dan menginspirasi.
Ketiga, kita perlu menghilangkan segala bentuk penilaian yang bersifat kompetitif dan membandingkan. Rapor bukanlah alat untuk memberi label "pintar" atau "bodoh", melainkan cermin perkembangan belajar siswa. Ujian bukanlah momok yang menakutkan, melainkan sarana evaluasi diri dan peningkatan mutu pembelajaran.
Keempat, kita perlu menanamkan nilai-nilai moral dan etika sejak dini. Siswa diajarkan untuk jujur, disiplin, bertanggung jawab, dan menghargai orang lain. Mereka dibekali dengan keterampilan sosial dan emosional yang matang, sehingga mampu berinteraksi dengan baik dalam masyarakat.
Kelima, kita perlu memberikan ruang yang luas bagi siswa untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Kurikulum dirancang agar fleksibel dan mengakomodasi keberagaman potensi siswa. Sekolah dan perguruan tinggi menyediakan berbagai fasilitas dan kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pengembangan diri siswa.
Transformasi sistem pendidikan ini memang bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, mulai dari pemerintah, guru, orangtua, hingga siswa itu sendiri. Namun, demi masa depan bangsa yang lebih baik, perubahan ini harus dimulai sekarang juga. Kita tidak bisa terus-menerus terjebak dalam pusaran kompetisi yang destruktif, yang hanya akan melahirkan generasi yang individualistis, materialistis, dan rapuh secara mental. Kita harus berani mendobrak pakem lama dan membangun paradigma baru tentang pendidikan dan kesuksesan.
Perubahan paradigma harus dimulai dari keluarga. Orangtua perlu menanamkan nilai-nilai intrinsik dalam diri anak, mengajarkan mereka untuk mencintai proses belajar, mengembangkan minat dan bakat, serta menghargai keunikan diri sendiri dan orang lain. Apresiasi terhadap usaha dan kemajuan anak jauh lebih berharga daripada pujian semu atas prestasi semata. Anak-anak perlu dibebaskan dari tekanan untuk menjadi "yang terbaik", dan didorong untuk menemukan kebahagiaan dalam proses belajar dan mengeksplorasi potensi diri.
Masyarakat pun perlu mengubah cara pandang terhadap kesuksesan. Kesuksesan bukanlah semata-mata tentang nilai, peringkat, dan gelar juara. Kesuksesan sejati adalah tentang pengembangan potensi diri, pemberdayaan masyarakat, dan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Kita perlu menghargai setiap individu dengan segala keunikan dan potensinya, dan menciptakan lingkungan yang mendukung mereka untuk berkembang secara optimal.
Paradigma baru ini juga harus diinternalisasi oleh peserta didik. Mereka perlu menyadari bahwa nilai dan peringkat bukanlah satu-satunya ukuran kesuksesan. Ada banyak jalan menuju Roma, ada banyak cara untuk mencapai impian dan memberikan kontribusi bagi masyarakat. Yang terpenting adalah menemukan passion, mengembangkan potensi diri, dan terus belajar sepanjang hayat.
Kompetisi memang memiliki manfaat tertentu, seperti meningkatkan motivasi dan semangat juang. Namun, kompetisi yang sehat adalah kompetisi yang adil, sportif, dan berorientasi pada pengembangan diri, bukan pada mengalahkan orang lain. Kita perlu menciptakan budaya kompetisi yang positif, di mana setiap individu termotivasi untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Mari kita bebaskan pendidikan Indonesia dari belenggu kompetisi yang melumpuhkan, dan ciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas, kreatif, berkarakter, dan berjiwa sosial. Generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan dan membangun Indonesia yang lebih baik.
Andi Azhar staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Bengkulu
(mmu/mmu)