Pasang Surut Makan Siang Gratis di Amerika

1 month ago 34

Delapan belas juru masak perempuan mulai berdatangan pukul enam pagi di dapur SMA Cabell Midland, West Virginia. Ada yang mengupas kentang, melumurinya dengan minyak zaitun, serta bubuk bawang putih dan paprika, lalu lanjut mengoles dada ayam dengan rempah-rempah. Ada yang menambahkan saus tomat homemade di atas adonan pizza. Ada pula yang fokusnya membuat dessert. Semua bekerja giat untuk memastikan murid-murid bisa menyantap pada pukul 10.49.

Satu-satunya makanan yang tidak dibuat langsung adalah menu sarapan, seperti sosis yang hanya perlu dipanaskan. “Kalau sarapan juga made from scratch, kami harus datang ke sini tengah malam, dong,” canda salah seorang koki, sebagaimana dikutip dalam terbitan Highline oleh HuffPost.

Yang seperti ini bukannya terjadi di seluruh Amerika Serikat. Negara bagian West Virginia beruntung punya Rhonda McCoy sebagai food service director alias birokrat yang mengelola layanan makanan di institusi tertentu. Ia ahli gizi terdaftar dengan pengalaman 25 tahun dan seorang pengusung gerakan makanan segar. Di antara gebrakan pertama yang ia lakukan adalah menghilangkan alat penabur garam di meja kantin.

Di saat 94 persen sekolah di AS gagal memenuhi pedoman standar, Cabell County (salah satu daerah di West Virginia) justru sering kali melampaui berkat kepemimpinan McCoy. Padahal, Huntington, ibu kota Cabell County, pernah dinobatkan oleh CDC sebagai kota paling tidak sehat di AS pada 2008. Ketika Undang-Undang Anak Sehat Tanpa Lapar (Healthy, Hunger-Free Kids Act) yang didukung Michelle Obama berlaku pada 2010, McCoy tak menyia-nyiakannya. UU itu mendorong kantin sekolah menyajikan lebih banyak buah, sayuran, dan gandum utuh, serta mengurangi garam, gula, dan lemak trans.

Kala itu, McCoy segera menulis proposal pendanaan kepada pemerintah AS dan West Virginia, untuk melengkapi dapur sekolah dengan peralatan skala besar, serta melatih dan merekrut koki sekolah. Makanan yang dimasak oleh juru masak (alih-alih disediakan vendor besar) tidak hanya lebih baik, tapi juga lebih fleksibel menyesuaikan pedoman yang bisa sewaktu-waktu berubah. Bayangkan jika bergantung pada perusahaan makanan, umumnya mereka butuh proses riset lebih lama untuk produknya. Memasak di sekolah juga memungkinkan pemilihan bahan lokal. Per 2024, McCoy membeli bahan segar lokal senilai lebih dari $85.000 (Rp 1,39 milyar) setahun.

Jurnalis Jane Black berpendapat sekolah memang membutuhkan pemimpin-pemimpin ambisius yang paham nutrisi sekaligus bagaimana mengelola rumitnya rantai pasok dan operasional pembuatan makanan. Meski di tahun 60-an school meals menjadi jaring pengaman pangan kedua di Amerika setelah kupon makanan (food stamps), kemajuannya tak signifikan sampai beberapa tahun terakhir.

Pertengahan 2000-an, Jane Black mengunjungi dua sekolah di pinggiran Boston yang jarak keduanya hanya belasan menit tapi masuk di wilayah berbeda. Di wilayah yang dikelola ahli gizi yang antusias, isi piringnya warna-warni, segar, dan lezat. Sementara di wilayah satunya, yang pengurusnya bekerja ‘asal kelar’, makanannya, ya, chicken nugget, bagel, dan hamburger yang rotinya pucat.

Selama ini, kualitas makan siang di sekolah-sekolah AS memang selalu disorot dan dikritik. Ia hasil dari konflik kepentingan yang mewarnainya sepanjang sejarah. National School Lunch Program (NSLP), program makan siang murah atau gratis yang diluncurkan pasca Perang Dunia II (1946) dan kini beroperasi di lebih dari 100.000 sekolah negeri dan swasta itu, awalnya adalah hasil desakan pihak militer yang ingin memastikan AS punya cukup pemuda sehat untuk bertempur.

Kemudian, tahun 1981, Amerika dibanjiri kelebihan produk susu. Departemen Pertanian AS (USDA), penanggung jawab program NSLP, membeli jutaan liter susu untuk sekolah-sekolah. Namun, menurut Janet Poppendieck, profesor di Hunter College yang meneliti kemiskinan dan kelaparan, hal ini malah mendorong peternak sapi untuk terus memerah.

Pada 1986, pemerintah memutuskan membayar peternak untuk menyembelih sapi perah, lalu pemerintah membeli dagingnya dan mengolahnya jadi hamburger atau isian taco untuk makan siang di sekolah. Sekolah jadi ‘tempat pembuangan’ bahan pangan berkalori tinggi yang murah. Di sisi lain, karena krisis anggaran, sekolah memang mencari opsi makanan yang lebih murah. Hasilnya, makanan olahan seperti nugget dan corn dogs jadi norma. Sampai-sampai, pada 1989, USDA menganggap pizza ‘setengah sayuran’ hanya karena ada saus tomatnya.

Proses politik terus menyetir perwujudan makan siang di sekolah-sekolah Amerika. Pada 2011, setelah lahirnya UU Anak Sehat Tanpa Lapar yang menganjurkan lebih banyak sayur dan lebih sedikit pati, USDA berusaha membatasi konsumsi kentang di makan siang sekolah. Namun, Senat yang dipimpin oleh perwakilan dari dua negara bagian penghasil kentang, Maine dan Colorado, menggagalkannya. USDA pernah juga berusaha memperbanyak saus tomat di sepotong pizza, tapi ditentang oleh Institut Pizza Beku Nasional.

Selain kritik soal apa yang dimakan, wacana soal siapa yang memakan school meals terus bergulir hingga hari ini. Pada 1960-an, saat krisis anggaran, parlemen membiarkan sekolah memutuskan siapa yang boleh makan gratis dan siapa yang tidak. Dibuatlah sistem tiga tingkat. Tergantung penghasilan orang tuanya, ada murid yang makan gratis, makan murah (mendapat potongan harga), dan makan berbayar.

NSLP yang awalnya dirancang untuk memberi makan semua siswa, berubah jadi program makan siang untuk anak dari keluarga miskin. Dari situ, stigma terhadap makan siang di sekolah mulai muncul. Sebutannya hot lunch. Beberapa anak yang sebetulnya lapar menghindari hot lunch karena malu. Akibatnya, jumlah penerima program turun dan program otomatis berjalan tidak efektif. Selain itu, peserta makan gratis juga berkurang karena dibutuhkan data per anak, sementara orang tua ada yang kurang terinformasi, data penghasilannya berubah-ubah, atau tak punya waktu mengurus formulir.

Masalah lain yang muncul yaitu banyak kelompok kelas menengah yang tidak memenuhi syarat untuk menerima makan gratis, padahal mereka kewalahan secara finansial dan aslinya membutuhkan program itu. Di beberapa wilayah, hal ini masih berlangsung sampai sekarang, kecuali saat pandemi COVID-19 di mana makan siang di sekolah berlaku gratis untuk semua murid selama dua tahun.

Namun demikian, sejak adanya ketentuan penyediaan berbasis komunitas (CEP) yang diselipkan di UU Anak Sehat Tanpa Lapar, masalah-masalah di atas mulai teratasi dan AS bergerak menuju universal free school meals. Makan gratis untuk semua anak, tanpa memandang pendapatan orang tua. Dengan skema CEP, persyaratan untuk pengadaan makan siang gratis di sekolah jadi tidak serumit sebelumnya. Sekolah atau distrik yang tinggi angka wali murid berpenghasilan rendah, bisa berpartisipasi.

Apabila 25 persen siswa sekolah memenuhi syarat untuk mendapatkan program kupon makanan, merupakan tunawisma, migran, atau anak asuh, sekolah tersebut dapat menyajikan makanan gratis untuk semua murid tanpa terkecuali. Sekolah juga tidak perlu mengumpulkan aplikasi perorangan, sehingga dari sisi orang tua pun tidak direpotkan dengan administrasi. Hasilnya, lebih banyak anak yang diberi makan oleh AS.

Tak heran, program CEP sangat diterima di area-area seperti North Dakota, Kentucky, Tennessee, dan West Virginia, di mana sebelum CEP, para food service director bahkan terpaksa mengerahkan penagih utang untuk mengejar orang tua yang belum membayar tagihan makan siang anaknya.

"Jumlah sekolah yang menawarkan universal free school meals melalui CEP terus meningkat. Sekolah-sekolah tidak ingin kembali memungut biaya kepada sebagian anak, apalagi melihat manfaatnya untuk keluarga, anak-anak, dan bagaimana hal itu mengubah budaya kantin,” kata Crystal FitzSimons, direktur program dan kebijakan gizi anak di lembaga nirlaba Food Research and Action Center, seperti dikutip oleh The New York Times.

Pada tahun ajaran 2023-2024, 23,6 juta anak menghadiri sekolah yang menerapkan CEP, atau meningkat hampir 3,8 juta anak (18,9%) dibandingkan tahun ajaran sebelumnya. Hal ini juga berkat melonggarnya ketentuan bagi sekolah untuk mendaftar CEP. Sebelum Oktober 2023, sekolah baru bisa melaksanakan CEP jika siswa yang teridentifikasi kerawanan pangan minimal 40 persen. Dengan aturan baru 25 persen, semakin banyak sekolah yang berpartisipasi.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial