Nine Dash Line China: Apakah Prabowo Setuju?

1 month ago 29

Jakarta -

Lawatan Presiden Prabowo ke China membuat kejutan bagi pengamat kelautan dan perikanan. Pasalnya kerja sama bilateral sektor perikanan dengan fokus blue economy menyebut terkait optimalisasi potensi perikanan yang masuk area konflik, Nine Dash Line. Tepatnya akan membuat suasana di sekitar Laut Natuna Utara kembali bergolak.

Konflik Natuna sudah ada sejak lama di kawasan Asia Tenggara. Pada 1993 China sudah menyatakan secara sepihak bahwa Natuna adalah wilayah teritorial mereka dengan sebutan "traditional Chinese fishing ground" bagi nelayan China. Nine Dash Line atau 9 garis putus-putus yang mencaplok Natuna dijadikan wilayah dan diumumkan kepada dunia.

Kasus ini muncul kembali dengan model yang sama melalui kapal coast guard dan nelayan yang mencuri ikan dengan trawl di perairan Natuna Utara yang secara Hukum Laut Internasional masuk wilayah ZEE Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Publik bertanya-tanya, apakah Presiden Prabowo setuju dan mengakui nine dash line China? Pemerintah Jokowi pernah melakukan protes lewat Kemenlu ke China melalui nota diplomatik; nelayan protes dan mengancam akan mengerahkan ratusan kapal dan ribuan nelayan ke Natuna. Bahkan Presiden Jokowi dan para menteri hadir langsung ke Natuna. Mungkinkah kasus Natuna akan benar-benar selesai? Lalu, apa strateginya Prabowo di tengah ngototnya sikap China? Lalu ke mana nelayan kita?

Natuna Memang "Mahal"

Kenapa Natuna diklaim oleh China? Isu sumber daya alam yang melimpah memang benar. Kawasan Natuna memiliki potensi luar biasa; ada potensi sumber daya ikan sebanyak 760.160 ton yang siap dioptimalkan, 18.184.53 hektar luas lahan migas eksisting, dan 6.2 hektar lamun. Kekayaan ini tentu sangat menarik bagi China untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan nelayan dan negara.

Tiap bulan pergerakan kapal di Natuna mencapai seribu lebih --ini potensi ekonomi yang luar biasa. Jika dihitung total valuasi kekayaan Laut Natuna mungkin bisa triliunan. "Mahalnya" Natuna membuat China bergerak untuk menguasainya dengan berbagai cara.

Akar Konflik

Kejadian pada akhir 2019 dan juga 2024 ini bukanlah hal baru dalam konflik soal Laut Natuna. Pada 2010 dan 2013 sudah mulai meningkat eskalasinya, puncaknya 19 Maret 2016 terjadi insiden penangkapan tiga kapal pukat China oleh kapal Kementerian Kelautan; saat akan dibawa ke dermaga, kapal China melakukan tembakan peringatan bahkan sampai menabrak kapal Indonesia.

Diplomat China di Jakarta mendesak agar dilepaskan dan minta kejadian dirahasiakan, namun publik tahu dan terbongkarlah kasus tersebut sampai akhirnya Menhan Ryamizard Ryacudu waktu itu mengirim pesawat tempur ke Natuna. Kejadian konflik yang berulang sejak 2010 sampai 2019 di Natuna oleh China bisa dibaca sebagai upaya sistematis untuk merebut Natuna dari Indonesia.

Akar problem konflik bisa dilihat dari aspek politik, ekonomi, dan hukum. Pendekatan konflik politik yang dilakukan oleh China melalui Natuna bisa dibaca sebagai upaya intervensi terhadap posisi China dalam berbagai kepentingan di Indonesia.

Isu investasi dan pinjamam kepada Indonesia melalui projek infrastruktur membuat posisi Indonesia "melemah" dalam diplomasi internasional. Buktinya kapal China dilepas saat para diplomat protes kepada Jakarta. Antara Jakarta dan Beijing soal politik sangat dilematis. Jelas kondisi ini tidak menguntungkan Indonesia.

Akar konflik kedua dari sisi ekonomi. "Mahalnya" Natuna membuat kapal ikan China mengambil ikan di ZEE dengan perkasa menggunakan trawl tanpa perlawanan oleh Indonesia.

Kapal nelayan China yang terbuat dari besi dengan GT di atas 100 ternyata juga disubsidi oleh pemerintah per kapal minimal Rp 100 juta. Coba bayangkan jika ada 100 kapal menangkap ikan akan menghasilkan minimal 60 ton x 100 kapal sudah 6000 ton ikan dengan nilai jual minimal 6000 ton x 20.000 = Rp 120.000.000 M dalam waktu sebulan.

Setahun potensi kehilangan karena illegal fishing ini Rp 144 M, nilai yang tidak bisa dianggap kecil bagi sumber daya perikanan kita. Melihat potensi ekonomi ini kapal coast guard China selalu mengawal kapal nelayan mereka.

Akar konflik dari sisi Hukum Laut Internasional, nine dash line tidak di akui oleh dunia, hanya klaim tanpa landasan ilmiah oleh China. Namun China tetap percaya diri mengklaim Natuna wilayah mereka. Aspek ini, Indonesia sedikit lega karena dunia internasional tidak mengakui klaim China atas Natuna --jika terus dilakukan, maka bisa jadi akan berhadapan dengan Filipina dan Vietnam yang juga wilayahnya kena nine dash line.

Kerja sama yang diteken oleh Prabowo terkait ekonomi biru memang sebuah kemajuan. China dengan teknologinya akan bisa memberikan transformasi kepada Indonesia dalam banyak bidang kelautan. Hanya jangan sampai di balik kerja sama ini justru akan melemahkan posisi kedaulatan Indonesia di mata dunia internasional.

Riyono Ketua DPP Aliansi Nelayan Indonesia, Anggota Komisi IV DPR

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial