Jakarta -
Tetap bertahan dalam situasi yang membosankan dan tidak tergesa-gesa menghindarinya adalah terapi untuk meraih kesuksesan hidup yang berkelanjutan di tengah problematikanya yang kompleks.
Sewaktu duduk di bangku SD, saya bertemu guru matematika yang cukup unik. Ia selalu memberikan soal-soal perkalian, penambahan, pengurangan, dan pembagian dalam jumlah amat banyak. Kira-kira sekitar 300 lebih soal. Dan, soal itu harus dikerjakan di sekolah.
Setiap pelajaran Matematika bukan materi rumus atau semacamnya yang diajarkan. Ya, hanya disuruh mengerjakan soal-soal itu selama kurang lebih 45 menit. Dan, begitu setiap pertemuan. Aneh sekali guru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena penasaran, saya memberanikan diri untuk bertanya. Kenapa setiap pelajaran matematika hanya mengerjakan soal terus-menerus? Biar kalian terbiasa bosan, begitu jawabnya. Karena masih kecil, saya tak bertanya lebih lanjut tentang apa hubungan bosan dan matematika?
Saya menemukan jawaban itu ketika sudah cukup dewasa. Oh, ternyata ini maksud jawaban guru saya itu.
Kondisi Membosankan
Sejak kecil saya membenci matematika. Dan, rupanya kebencian itu juga dialami banyak kawan saya di sekolah. Lalu apa yang dibenci dari matematika? Ya, kegiatan berhitungnya. Betapa karena matematika kita dipaksa cermat dan teliti. Satu kesalahan langkah dalam proses berhitung, akan salah di hasil akhirnya.
Jangan dibayangkan seperti sekarang yang ada kalkulator. Dulu kalkulator memang ada tapi "haram" dibawa ke sekolah apalagi di pelajaran Matematika. Saat mengerjakan soal-soal berhitung yang begitu banyak, saya dan kawan-kawan dipaksa harus hafal di luar kepala dan dikerjakan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Betapa matematika menjadi momok menakutkan bagi saya yang masih kecil saat itu. Perasaan kalut dan takut bercampur menjadi kebosanan akut. Harap-harap matematika dihapus dari jadwal pelajaran di sekolah.
Sempat terpikir untuk bolos saja setiap pelajaran Matematika. Tapi risikonya jadi lebih besar. Saya bisa dihajar habis orangtua karena bolos. Belum ancaman tidak bisa naik kelas. Tentu malu sekali. Solusinya hanya satu, memaksa diri untuk menikmati kondisi membosankan itu. Saya harus bercinta dengan matematika.
Seiring berjalannya waktu, meski tertatih-tatih menghadapi matematika, tanpa terasa saya punya kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi kondisi sulit dan rumit baik secara fisik atau mental. Orang menyebut kemampuan itu adalah endurance.
Selama 6 tahun menempuh pendidikan dasar, selama itu pula saya tertatih-tatih menghadapi matematika. Semakin naik kelas, dosis matematika semakin besar. Dan, setiap kenaikan itu pula, kemampuan endurance saya digembleng dan dipaksa untuk meningkat.
Serumpun dengan endurance, saya juga mendapat dua kemampuan lain yaitu tahan lama dalam kondisi sulit tanpa cepat rusak. Orang sekarang menyebutnya durable. Dan, yang kedua adalah kemampuan untuk beradaptasi setelah menghadapi kesulitan. Resilience namanya.
Menikmati Kebosanan
Rupanya maksud dari jawaban guru saya tentang hubungan bosan dan matematika adalah mentalitas untuk tetap bertahan dan mengupayakan untuk beradaptasi di kondisi sulit. Dan, itu bisa didapatkan dengan menikmati kebosanan.
Menikmati kebosanan bisa juga berarti merangkul kondisi sulit. Ngejabanin kesulitan atau siap untuk menghadapi kesulitan dengan kesadaran penuh. Dan, setelah dewasa, saya tahu bahwa tidak tergesa-gesa menghindari situasi sulit dan menikmatinya adalah life skill yang sekarang mulai hilang.
Beberapa kawan sebaya dan yang masih muda terjangkiti depresi dan merasa rendah diri karena melihat kawan lainnya yang punya usaha mentereng dan gaya hidup mewah di dunia nyata dan sosial media.
Karena depresi, banyak pekerjaan yang mereka lakukan menjadi amburadul. Mereka merasa sekumpulan keringat berpeluh dan usaha-usaha tiada henti untuk mencapai kesejahteraan hidup menjadi gagal total. Karena sudah demikian, biasanya kawan saya ini beralih profesi.
Maksud saya begini, ketika kita menghadapi kondisi sulit dalam pekerjaan atau kehidupan misalnya, jangan tergesa-gesa pergi. Itu adalah momen krusial dari sebuah perjalanan menuju kesuskesan. Kesulitan atau kegagalan bukan lawan dari kesuksesan. Ia adalah bagian penting dari kesuksesan itu sendiri.
Jika kita belum punya endurance, durable, dan resilience dalam kemampuan diri sendiri, momen sulit adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan tiga bekal penting itu. Tanpa itu, kita akan terus-menerus menjadi kutu loncat hanya karena menghadapi kesulitan.
Dalam kondisi yang membosankan dan menyulitkan kita akan dipaksa merenung oleh keadaan. Dan, dalam perenungan itu munculkan instropeksi diri. Kita bisa memunculkan analisis mendalam kenapa saya gagal? Lalu apa yang harus saya lakukan untuk menghadapi kegagalan itu?
Ini mengaca pada kawan saya. Mulanya dia bisnis rental motor lalu muncul problem. Tak lama kemudian dia beralih bisnis pakaian dan muncul problem lagi. Beralih lagi ke bisnis kuliner, lalu bangkrut. Akhirnya ia depresi berkelanjutan.
Peralihan yang begitu cepat tanpa melakukan perenungan dan evaluasi secara holistik terhadap suatu masalah atau kesulitan adalah masalah terbesar dia. Saya tidak hendak mengatakan peralihan usaha adalah hal buruk, bukan. Lakukan analisis mendalam dulu, jika terasa memang tak mungkin dilanjutkan, silakan beralih.
Dalam kehidupan yang serba kompleks ini, kita sering dihadapkan pada masalah-masalah yang amat banyak dan membingungkan. Dan, peran menikmati kebosanan dalam kondisi sulit untuk mengasah endurance, durable, dan resilience adalah solusinya.
Setelah itu apa? Anti-fragilitas kita ciptakan dalam hidup. Konsep ini diperkenalkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Antifragile: Things That Gain from Disorder. Yaitu kemampuan lanjutan yang perlu dimiliki. Sebuah kemampuan untuk tidak sekadar bertahan pada masa sulit, melainkan menjadi lebih kuat dan berkembang di tengah menghadapi ketidakpastian atau kekacauan.
Ke depan, kita dihadapkan oleh banyak sekali prediksi masa depan yang pahit. Seperti prediksi kelas menengah di Indonesia yang akan turun kelas dalam lima tahun terakhir. Belum lagi tantangan Indonesia Emas 2045 yang masih abu-abu dan akan ditentukan dari keberhasilan penguatan aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya sampai 2030.
Saya tidak hendak menyampaikan pandangan pesimistis masa depan bangsa. Namun, hal yang tak kalah penting untuk melakukan mitigasi terhadap "bencana" ketidakpastian adalah membekali diri sendiri untuk siap menghadapi kondisi sulit.
Seperti kemampuan anti-fragilitas itu; terbiasa dan terus berkembang karena ada guncangan dan stres adalah modal penting. Khususnya untuk anak muda yang akan berperan di Indonesia Emas 2045. Layaknya seperti otot manusia, semakin mendapat tekanan dan latihan intensif, semakin kuat ototnya.
Septian Pribadi peneliti di Badan Litbang dan Inovasi Tebuireng Media Group; tertarik pada fenomena sosial, kebudayaan, keislaman, dan pendidikan
(mmu/mmu)