Jakarta -
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Brodjonegoro menyampaikan pada Selasa (5/11) bahwa alumni penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tidak wajib kembali ke Indonesia. Menurut laman resmi LPDP, dua dari misi utama LPDP adalah mempersiapkan pemimpin dan profesional masa depan Indonesia melalui pembiayaan pendidikan serta mendorong riset strategis dan/atau inovatif yang implementatif dan menciptakan nilai tambah melalui pendanaan riset. Pernyataan ini menimbulkan polemik di media sosial; banyak pihak yang setuju, namun tidak sedikit pula yang menolak keras pernyataan tersebut.
Masyarakat yang mendukung pernyataan tersebut beralasan bahwa kebebasan memilih karier dapat memungkinkan alumni untuk mencari pengalaman global yang mungkin bermanfaat bagi Indonesia di masa depan. Mereka berpendapat bahwa pelajar yang bekerja di luar negeri dapat berkontribusi melalui jaringan internasional dan transfer pengetahuan. Di lain sisi, mereka yang menolak pernyataan tersebut beralasan bahwa beasiswa LPDP menggunakan dana negara sehingga penerimanya berkewajiban untuk kembali dan membangun Indonesia. Kelompok ini menilai bahwa kebijakan tersebut bisa menyebabkan brain drain di mana talenta terbaik bangsa lebih memilih bekerja di luar negeri, mengabaikan tanggung jawab untuk berkontribusi pada pembangunan dalam negeri.
Bagi mahasiswa diaspora dan calon mahasiswa yang berencana melanjutkan pendidikan di luar negeri, apa saja faktor yang dapat mendorong atau menghambat keinginan kita untuk berkontribusi ketika kembali ke Indonesia? Apakah Indonesia sudah siap menerima kehadiran kaum intelektual diaspora? Apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan keterlibatan mahasiswa diaspora dalam membangun Indonesia?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumput Tetangga Selalu Lebih Hijau
Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo, dalam Forum Rektor Indonesia di Surabaya (5/1) mengungkapkan bahwa jumlah lulusan S2 dan S3 di Indonesia masih sangat rendah. Lulusan S2 dan S3 di Indonesia hanya mencapai 0,45 persen dari jumlah total penduduk produktif, jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang mencapai 2,43 persen dan negara-negara maju yang memiliki persentase sekitar 9,8 persen.
Sebuah studi oleh Li (2024) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah populasi berpendidikan tinggi dapat berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial. Ini menjadi penting jika dibandingkan dengan banyaknya mahasiswa Indonesia yang menempuh studi S2 dan S3 di luar negeri. Berdasarkan data 2017, sekitar 87.000 mahasiswa Indonesia tersebar di 53 negara, angka yang menjadi harapan dan peluang besar untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Namun, banyaknya mahasiswa S2 dan S3 di luar negeri tidak selalu dalam kondisi ideal untuk kembali membangun Indonesia. Idiom "rumput tetangga memang lebih hijau" menggambarkan ketertarikan pelajar Indonesia yang telah merasakan kehidupan di luar negeri. Salah satu alasan kuat mengapa mereka ingin bertahan di luar negeri adalah tingginya permintaan pekerja berkualifikasi magister dan doktor serta besarnya penghasilan bagi lulusan pascasarjana.
Misalnya, studi oleh Jaeger dan Page (1996), Walker dan Zhu (2011), serta Engbom dan Moser (2017) menunjukkan bahwa di Amerika dan Eropa, pekerja bergelar doktor memiliki pendapatan 47% lebih besar dibandingkan lulusan magister. Hal serupa terjadi di Jepang; studi Morikawa (2015), Yasui (2019), dan Suga (2020) menunjukkan pekerja bergelar pascasarjana memperoleh pendapatan 20-30% lebih besar dibandingkan pekerja lulusan sarjana. Di Indonesia, berbagai sumber menunjukkan bahwa gaji lulusan pascasarjana seringkali setara dengan lulusan sarjana, yang menggiurkan bagi pelajar Indonesia yang mendambakan penghasilan lebih baik.
Sempitnya Peluang S2 dan S3 di Indonesia
Penelitian Universitas Andalas pada 2021 menunjukkan bahwa 28% generasi muda tertarik menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 2021, hanya 11% atau sekitar 445 ribu PNS di Indonesia yang berpendidikan minimal S2. Keinginan besar generasi muda untuk menjadi PNS dihadapkan pada terbatasnya kesempatan mengabdikan diri sebagai PNS, dengan kebutuhan CPNS untuk lulusan S2 dan S3 yang relatif rendah dibandingkan lulusan S1.
Ketidakmampuan pemerintah sebagai rekruter untuk mengoptimalkan sumber daya terdidik dari sistem pendidikan luar negeri menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Mayoritas formasi CPNS bagi lulusan S2 dan S3 di Indonesia adalah untuk posisi dosen dan peneliti. Beberapa sumber menyebutkan bahwa generasi muda kurang berminat menjadi dosen atau peneliti karena penghasilan awal yang rendah, jenjang karir yang lambat, serta iklim dan investasi pendidikan serta riset di Indonesia yang masih rendah.
Terbatasnya peluang karier bagi lulusan S2 dan S3 di Indonesia menciptakan tantangan bagi Indonesia dalam menjaga dan mengembangkan potensi intelektual yang sudah didanai melalui program-program beasiswa, termasuk LPDP. Ketidakselarasan antara kualifikasi lulusan dan kebutuhan formasi kerja di pemerintahan mencerminkan perlunya reformasi dalam kebijakan rekrutmen dan pengembangan sumber daya manusia.
Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan perluasan peran ASN dengan kualifikasi tinggi, seperti pada bidang inovasi, kebijakan publik, dan manajemen proyek strategis, yang dapat memanfaatkan kemampuan dan keahlian mereka. Langkah ini akan meningkatkan daya tarik karire di dalam negeri bagi generasi muda berpendidikan tinggi serta mengurangi risiko brain drain atau hilangnya tenaga ahli akibat iming-iming prospek karier dan penghasilan yang lebih tinggi di luar negeri.
Ketidaksesuaian antara kebutuhan pasar dan jurusan yang tersedia dalam program beasiswa kerap menjadi hambatan dalam memaksimalkan potensi lulusan untuk memenuhi kebutuhan industri di Indonesia. Banyak jurusan yang ditawarkan dalam program beasiswa, termasuk LPDP, belum sepenuhnya diselaraskan dengan permintaan pasar kerja dan kebutuhan industri strategis dalam negeri.
Alokasi pendanaan seharusnya difokuskan pada jurusan-jurusan yang memiliki relevansi tinggi terhadap sektor-sektor yang sedang berkembang dan prioritas nasional. Dengan mendanai jurusan yang sejalan dengan kebutuhan pasar, beasiswa dapat memainkan peran penting dalam menyediakan tenaga kerja yang siap pakai, mengurangi kesenjangan keterampilan (skill gap), dan mengurangi ketergantungan pada tenaga ahli dari luar negeri. Pendekatan ini juga akan memberikan kepastian bagi penerima beasiswa tentang prospek kerja di Indonesia, sehingga mendorong minat mereka untuk kembali dan berkontribusi pada pembangunan nasional sesuai dengan kompetensi mereka.
Sebuah Peluang Emas
Minat generasi muda Indonesia untuk menempuh pendidikan berkualitas di luar negeri serta keinginan besar untuk mengabdikan diri di Tanah Air merupakan peluang besar yang akan sangat menguntungkan jika dioptimalkan. Seperti sebuah umpan emas, peluang ini bisa menjadi "gol" yang indah jika dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah.
Sebagai seorang mahasiswa di Negeri Sakura, saya memiliki keinginan untuk kembali dan mengabdikan diri sebagai dosen dan peneliti. Salah satu kendala utama bagi banyak pelajar diaspora adalah kepastian karier sebelum memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Pemerintah dapat memanfaatkan keinginan ini dengan membuka peluang rekrutmen bagi mahasiswa aktif jenjang S2 dan S3. Diharapkan, strategi ini dapat menjadi solusi saling menguntungkan, baik bagi pemerintah maupun mahasiswa diaspora yang mencari kesempatan berkontribusi di dalam negeri.
Daniel Martua Sitinjak mahasiswa Ph.D Tohoku University Jepang, Ketua PPI Tohoku, penerima Beasiswa MEXT (pemerintah Jepang)
(mmu/mmu)