Mendiskusikan Kembali Identitas Gender dan Agama

1 month ago 41

Isa Zega, seorang transgender, menjadi perbincangan publik setelah melaksanakan ibadah umrah dengan mengenakan hijab dan pakaian syar'i. Tindakan ini memicu kontroversi di tengah masyarakat, khususnya umat Islam, karena dianggap tidak sesuai dengan norma agama yang mereka anut.

Hijab dan busana syar'i, yang merupakan simbol kesucian dalam Islam, dinilai memiliki nilai yang sakral dan harus dijaga penggunaannya agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Keberatan terhadap tindakan Isa Zega muncul dari kekhawatiran bahwa hal tersebut dapat menciptakan kesan negatif terhadap simbol-simbol keagamaan yang selama ini dihormati.

Berbagai pihak, termasuk anggota DPR, menyampaikan kecaman atas tindakan tersebut. Mufti Anam, seorang politisi PDIP, secara terbuka mengkritik melalui unggahan di media sosial. "Ini jelas merupakan bentuk penistaan agama. Laki-laki tidak boleh melaksanakan ibadah dengan tata cara yang diperuntukkan bagi perempuan," tegasnya. Ia juga menilai bahwa tindakan tersebut melanggar norma agama dan hukum (detikcom, 10/11).

Selain anggota DPR, tokoh agama juga memberikan perhatian terhadap kasus ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyoroti tindakan Isa Zega yang memilih berada di barisan perempuan selama prosesi umrah, meskipun identitas aslinya diduga adalah laki-laki. Menurut pandangan Islam, walaupun seseorang telah menjalani operasi perubahan gender, status kelamin secara syar'i tetap tidak berubah.

Hijab Sebagai Simbol Sakral

Hijab dalam Islam bukan sekadar busana, melainkan simbol sakral yang merepresentasikan ketaatan kepada Tuhan dan identitas perempuan Muslim. Simbol ini memiliki makna yang dilindungi melalui norma-norma agama. Ketika hijab digunakan di luar konteks yang dianggap sesuai secara syar'i, seperti dalam kasus Isa Zega, masyarakat merespons dengan keras karena menganggap kesucian simbol tersebut tercemar.

Bagi umat Islam, hijab tidak hanya melambangkan spiritualitas, tetapi juga menjadi bagian penting dari kesatuan sosial dan identitas kolektif komunitas Muslim. Menurut Emile Durkheim, simbol sakral adalah sesuatu yang dihormati, dijaga, dan dipisahkan dari hal-hal profan yang bersifat duniawi. Dalam konteks ini, hijab dan pakaian syar'i menjadi bagian dari ruang sakral yang keberadaannya harus tetap dijaga agar selaras dengan nilai-nilai keagamaan.

Ketika simbol sakral ini digunakan dengan cara yang dianggap melanggar syariat, masyarakat kerap merespons dengan reaksi emosional. Hal ini terjadi karena simbol agama diyakini sebagai penjaga nilai moral dan spiritual yang menjadi fondasi solidaritas sosial.

Penggunaan hijab yang dianggap tidak sesuai, seperti pada kasus Isa Zega, memicu kekhawatiran bahwa nilai kesuciannya akan terkikis. Kekhawatiran ini sering diekspresikan melalui kritik tajam, karena pelanggaran terhadap simbol sakral dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan agama dan harmoni sosial. Bagi banyak orang, tindakan ini melampaui batas antara yang sakral dan profan, sehingga memicu reaksi kolektif untuk melindungi nilai-nilai agama.

Tindakan yang dilakukan oleh Isa Zega tidak hanya melanggar norma agama, tetapi juga mengaburkan makna simbol agama. Dalam pandangan Durkheim, respons keras masyarakat merupakan cara mempertahankan batas antara sakral dan profan demi menjaga solidaritas sosial. Hijab, sebagai simbol yang menyatukan umat, menjadi elemen penting yang harus dilindungi agar tetap bermakna dalam menjaga harmoni nilai-nilai bersama.

Agama dan Gender

Hubungan antara agama dan gender mencerminkan dinamika yang kompleks, terutama dalam konteks Islam yang secara tradisional mendasarkan identitas gender pada jenis kelamin biologis. Norma ini menentukan peran, kewajiban, dan tata cara ibadah seseorang. Namun, munculnya individu transgender seperti Isa Zega yang menjalankan ibadah umrah dengan mengenakan hijab memicu diskusi baru tentang bagaimana agama menyikapi identitas yang melampaui kategori gender tradisional.

Hijab sebagai simbol kesucian yang diasosiasikan dengan perempuan Muslim sering dipandang sebagai elemen penting dalam menjaga norma agama dan solidaritas sosial. Ketika simbol ini digunakan oleh seseorang yang identitasnya dianggap tidak sesuai dengan syariat, masyarakat kerap bereaksi keras, merasa tatanan norma agama terganggu.

Sekalipun tindakan Isa Zega dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi spiritual yang tulus dalam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhan, ketegangan ini menunjukkan konflik antara kebutuhan individu untuk mengekspresikan spiritualitas dan dorongan masyarakat untuk menjaga kesucian simbol agama.

Dalam perspektif yang lebih luas, tantangan utama terletak pada bagaimana masyarakat dapat menavigasi keberagaman identitas gender di ruang keagamaan. Beberapa pandangan progresif dalam Islam menekankan pentingnya inklusivitas, di mana setiap individu, termasuk transgender, diberikan ruang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan tanpa penghakiman berlebihan.

Namun, pendekatan ini sering berbenturan dengan norma tradisional yang telah lama menjadi dasar solidaritas kolektif umat Islam. Ketegangan antara kedua pendekatan ini mengungkapkan kebutuhan untuk menemukan keseimbangan antara menjaga nilai-nilai tradisional dan memberikan ruang bagi inklusi. Dengan demikian, diperlukan dialog yang lebih terbuka dan inklusif agar ruang keagamaan dapat menjadi tempat yang menyatukan, bukan memisahkan, individu dengan latar belakang dan identitas yang beragam.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial