Melihat Makna 'Kerugian Negara' dalam Kasus Impor Gula

1 month ago 49

Jakarta -

Akhir-akhir ini seluruh rakyat Indonesia termasuk Anggota DPR RI Komisi III terhenyak, kaget, terkejut, bingung. Kejaksaan Agung RI sebagai bagian APH mendapat amanat Reformasi tahun 1998, dan Undang-Undang Nomor 21/2021 tentang Kejaksaan RI, serta Perintah langsung oleh Presiden Prabowo melalui Asta Cita pemerintahan 2024-2029 bertekad menghilangkan praktik culas/korupsi di NKRI yang sudah ada sejak zaman VOC hingga era Reformasi saat ini.

Korupsi menjadi penyakit akut. Namun apabila APH melaksankan tugas dan kewenangannya tetap masih menimbulkan pro kontra di bumi Indonesia, maka sebagian rakyat Indonesia belum memahami secara holistik tentang tingkat kerusakan negara akibat korupsi.

Mereka mempertanyakan kepada intitusi Kejaksaan Agung mengenai penetapan seseorang pejabat negara/menteri. Apakah kebijakan mereka dapat dipidana dalam melaksanakan tugas dan kewenangnnya?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut pendapat saya berdasarkan profesional judgement, bahwa Kebijakan pejabat negara/menteri bisa dipidana sepanjang unsur ancaman pidana yang diatur UU Tipikor No 31/1999 jo No 20/2001 terpenuhi yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 26 A dan KUHAP pasal 184 Ayat (1) minimal dua alat bukti yang valid. Penyidik bisa menaikkan status siapapun, termasuk pejabat negara, dari status saksi menjadi tersangka.

Tentang kerugian negara, publik sebaiknya memahami perbedaan 'kerugian keuangan negara' dan 'kerugian Negara'. Kerugian keuangan negara yaitu uang, surat berharga, barang yang dirampok dan diambil secara nyata dan pasti dengan cara melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang bersumber pada APBN/APBD/BUMN/BUMD, termasuk kekayaan yang diperoleh dari APBN/APBD/BUMN/BUMD.

Sedangkan yang ditangani Kejaksaan Agung saat ini tentang impor gula tahun 2015, masuk ranah kerugian negara. Sepanjang unsurnya yakni pejabat negara/menteri yang bersangkutan: (a) Melawan Hukum; (b) Memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan Keuangan Negara atau perekonmian Negara; (c) menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau Kedudukan yang nyata merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Contoh 'kerugian negara' bisa diilustrasikan lewat kasus seseorang menyelundupkan mobil Mercy dari Jerman. Artinya negara kehilangan pendapatan negara berupa bea impor masuk yang dipungut bea cukai. Perusahaan tambang nikel mengambil kekayaan negara yang dikuasai negara dari perut bumi Morowali Sultra berupa pasir nikel tanpa memiliki IUP Pertambangan, dan tidak membayar royalti 10% ini masuk 'kerugian negara'. Pendapatan negara yang hilang tidak masuk kas negara.

Yang menjadi pertanyaan publik, termasuk Anggota DPR Komisi III, penasehat hukum dan akademisi mengenai keabsahan penahanan seseorang menjadi tersangka kasus impor gula tahun 2015 dikaitkan tentang unsur/delik yang diatur KUHAP Pasal 182 ayat (1).

Ada yang mempertanyakan mengenai LHP Audit BPK tahun 2015-2017 di Kementrian Perdangangan tidak menyatakan kerugian negara. Ada yang mempertanyakan tentang kerugian negara (PKN) siapa yang menghitung, ada juga yang menyatakan abuse of power, termasuk ada yang berpendapat kebijakan tidak bisa dipidanakan atau dikrimilisasi, dan lain-lain.

Dalam alam demokrasi liberal, masyarakat termasuk yang mulia anggota DPR RI Komisi III sah-sah saja berpendapat sesuai kompetensi dan kepentingannya masing-masing tentang pemahaman tipikor.

Ahli menjelaskan mengenai LHP BPK tahun 2017 di Kementerian Perdagangan RI tentang impor gula tahun 2015-2017, mengapa LHP BPK RI tidak mendiclose atau menyatakan terjadi kerugian negara tentang Impor Gula pada tahun 2015.

Menurut ahli, karena BPK tidak sedang melaksanakan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) tahun 2015-2017 yang dilanjutkan Audit Investigatif sebagaimana diatur UU BPK 15/2006 Pasal 6 ayat (3), Pasal 10 ayat (1), ayat (2); UU No.15 Tahun 2004 Pasal 13; Peraturan BPK No.1 Tahun 2020 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11, maka dalam LHP 2015-2107 BPK tidak menyatakan Kerugian Negara.

Tentang Kerugian Negara dan Penghitungan Kerugian Negara secara jelas telah tersurat, dan tersirat dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU TPK, yaitu Kerugian Negara nyata dan pasti yang telah dihitung oleh instansi berwenang dan Akuntan Publik yang ditunjuk.

Pembuat Undang-Undang (legal open policy) tentang UU TPK mempunyai pertimbangan Politik Hukum, agar korupsi cepat diberantas di bumi Indonesia maka memberikan kewenangan kepada APH/Penyidik untuk menentukan instansi/entitas termasuk akuntan publik yang ditunjuk untuk menghitung kerugian negara dengan cepat, melalui bukti-bukti relevan, akurat, valid, terukur dan nyata.

Bahkan APH/penyidik bisa langsung bisa minta bantuan ahli yang memiliki kompetensi untuk menghitung kerugian negara, termasuk akuntan publik. Mengingat bukti materiil kerugian negara masuk ranah pertimbangan dan keyakian majelis hakim tipikor yang mulia siapa yang menghitung dan menyatakan kerugian negara.

Dan yang perlu diketahui masyarakat umum bahwa UU TPK adalah Lex Specialist derograt Lex Specialist (khusus di antara yang paling khusus) mengingat Perbuatan Korupsi masuk kejahatan luar biasa, penanganannya juga harus dilakukan sangat luar biasa.

UU TPK No 31/1999 jo UU No 20/2001 diundangkan lebih dahulu sebelum UU No 15/2006 tentang BPK RI, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaaan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara diundangkan dan Perpres No 192 Tahun 2014, tentang BPKP dan terakhir Perpres 34 Tahun 2023 tentang BPKP diundangkan.

APH/Penyidik dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi aalam kerugian negara dapat merujuk UU TPK, ketentuan penjelasan pasal 32 ayat (1) sebagai rujukan, sesuai perintah Undang-Undang TPK.

Kerugian Negara tentang kasus Impor Gula tahun 2015, termasuk delik materiil yang diatur UU TPK Pasal 2 ayat (1) pasal 3 dan Penjelasan Pasal 32 ayat (1).

Nilainya bisa diketahui dengan mudah menggunakan ilmu akuntansi yaitu nilai perolehan harga 105 ribu ton GKM, yang impor langsung oleh Negara/BUMN ditambah biaya produksi mengubah bentuk GKM menjadi GKP maka diperoleh Harga Pokok Produksi (HPP) ditambah keuntungan wajar diperoleh harga pokok penjualan (HPP) ke masyarakat karena Negara tidak cari untung optimal namun keuntungan yang wajar.

Dibanding yang diimpor oleh perusahaan/entitas swasta jumlah nilai perolehan impor 105 ribu Ton GKM ditambah biaya produksi merubah bentuk dari GKM menjadi GKP maka diperoleh harga pokok produksi, ditambah keuntungan profit optimal & PPN oleh perusahaan swasta dijual/dilepas ke pasar maka harga jual gula lebih tinggi, selisih harga merupakan keuntungan yang diperoleh pihak swasta ini masuk ranah kerugian negara akibat kebijakan melawan hukum. Metode seperti ini sangat mudah dengan menggunakan metoda "real cost" ketemu "kerugian negara" nyata dan pasti.

Tentang abuse of power, menurut pendapat ahli APH/penyidik tidak mungkin penyidik melakukan abuse of power tentang Tindak Pidana Korupsi seeorang dinyatakan tersangka dan terdakwa, pasti melalui proses panjang mulai penelitian informasi, pengaduan, mengolah data, fakta, bukti primer, dari mulai lidik dan penyidikan termasuk masukan dan pendapat Ahli.

Sebab hal ini menyangkut nasib seseorang dan keluarganya. Oleh karena itu penyidik mesti sangat hati-hati, dan prudent dalam menentukan seseorang sebagai tersangka sebagaimana diatur KUHAP Pasal 182 ayat (1), karena menyangkut badan seseorang dan keluarganya dan HAM.

Prof Soemardjijo. Ahli pidana keuangan negara khusus tipikor. Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Dekan FE Asean International University Kuala Lumpur, Malaysia.

(rdp/dhn)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial