Jakarta -
Ramai pemberitaan bahwa Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) tengah mengkaji kembali implementasi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk memastikan bahwa beasiswa ini sejalan dengan program strategis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Di sisi lain, banyak masyarakat berkomentar program ini kerap salah sasaran dan menghasilkan lulusan yang tidak 'berdampak'. Belum lagi banyaknya lulusan LPDP kampus luar negeri yang tidak kembali ke Indonesia. Benarkah demikian?
Menurut Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto ketika menerima pertanyaan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan anggota Komisi XI DPR, alumni LPDP yang tidak kembali dengan berbagai alasan berjumlah 413 orang. Sementara, hingga 31 Agustus 2024, jumlah lulusan beasiswa LPDP adalah 49.896 orang, dengan jumlah alumni mencapai 24.001 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Sehingga secara persentase, hanya 0,08 persen dari total penerima beasiswa LPDP yang tidak menunaikan kewajibannya terhadap negara.
Angka 413 orang tersebut memang tidak dapat diabaikan sepenuhnya, terlebih kisah mereka tersebar luas dan menjadi berita dari mulut ke mulut di tengah masyarakat yang merasa dana negara berakhir sia-sia. Namun 0,08 persen juga tidak bisa menjadi kesimpulan dari program yang telah mendukung puluhan ribu warga Indonesia untuk mendapatkan pendidikan tinggi dan mengembalikannya ke negara. Angka 49.896 orang tersebut bahkan masih jauh dari kata cukup.
Direktur terdahulu LPDP Dwi Larso pada Maret 2024 menyebutkan bahwa jumlah lulusan S2 dan S3 di Indonesia saat ini masih sedikit yaitu sebesar 0,5 persen. Angka ini tentu tidak ideal jika dibandingkan dengan negara maju, namun sayangnya tetap jauh tertinggal dari negara tetangga Malaysia dan Thailand yang memiliki persentase jumlah lulusan S2 dan S3 sebesar 2,5 persen.
Adapun lulusan LPDP luar negeri yang tidak kembali memang telah melanggar aturan yang ditetapkan. Dalam aturan yang tercantum di buku Pedoman Umum LPDP 2022, mahasiswa yang mendapat beasiswa ke luar negeri wajib kembali ke Indonesia dalam waktu 90 hari sesuai tanggal kelulusan. Selain itu, wajib berkontribusi di Indonesia selama dua kali masa studi ditambah satu tahun (2N+1) setelah selesai studi secara berturut-turut. Jika melanggar, pihak LPDP akan memberi sanksi atau hukuman level ringan hingga level berat dengan jenis hukuman yang bervariasi.
Kisah Putri dan Nagari
Bicara tentang lulusan LPDP, tidak cukup hanya dengan membahas mereka yang lulus dari kampus luar negeri, tetapi seyogianya juga meliputi mereka yang lulus dari kampus di dalam negeri. Meski secara biaya kampus luar negeri menelan biaya yang lebih banyak, namun secara jumlah untuk tiap gelombang kelulusan, LPDP masih didominasi oleh kampus dalam negeri. Mari kita tengok kisah Putri dan Nagari.
Putri merupakan salah seorang lulusan LPDP 2018 yang berasal dari kalangan bawah. Ia memiliki tanggungan seorang ibu dan adik perempuan yang baru masuk kuliah. Dengan ijazah sarjana dari salah satu perguruan tinggi negeri terkenal di Yogyakarta, Putri hanya mampu diterima sebagai jurnalis kontrak majalah lokal di Yogyakarta, dan baginya itu tidak dapat mencukupi kebutuhannya dan keluarga.
Putri kemudian berhenti bekerja ketika mendapatkan kesempatan melanjutkan magister dengan dukungan LPDP. Sebagai informasi, LPDP tidak mengizinkan penerima beasiswa bekerja. Putri bersedia mengikuti peraturan dan melanjutkan kuliah tingginya dengan harapan bisa meningkatkan taraf hidupnya selepas lulus nanti.
Namun menggapai harapan tidak sesedarhana yang putri duga. Selepas lulus S2, Putri berkali-kali mendaftar kerja baik perusahaan bonafid atau tidak, namun selalu direspons dengan penolakan. Salah satu tim rekrutmen tempat Putri melamar menyatakan bahwa Putri dianggap overqualified terhadap posisi yang dituju. Tim rekrutmen juga khawatir akan gaji yang perlu dibayarkan jika harus disesuaikan dengan ijazah S2 yang Putri lampirkan.
Sampai hari ini putri masih mencari pekerjaan tetap. Tidak jarang Putri melamar hanya dengan ijazah S1-nya dengan harapan agar bisa lolos meski akan digaji sama dengan mereka yang fresh graduates. Putri kini mencoba mengisi waktu dengan menjadi asisten penelitian kontrak untuk suatu lembaga survei di ibu kota, diselingi mengajar les privat murid sekolah menengah.
Lain halnya dengan Nagari, lulusan LPDP pada yang sama. Ia sudah lama memutuskan ingin bergabung di pemerintahan, namun belum yakin dengan pilihannya. Selepas lulus S2, Nagari mencoba menjadi tenaga honorer di beberapa Kementerian/Lembaga. Nagari akhirnya memutuskan mendaftarkan diri sebagai calon Aparatur Sipil Negara di salah satu kementerian. Namun Nagari mendaftar dengan menggunakan ijazah sarjana. Alasannya sederhana, lowongan yang tersedia untuk lulusan magister sangat sedikit, dengan jurusan yang jauh lebih spesifik dan hanya tersedia pada K/L tertentu sehingga meningkatkan peluang untuk tidak lolos.
Kisah Putri dan Nagari bukan karangan; mereka ada di kehidupan nyata dan menjadi contoh kasus dari banyaknya lulusan LPDP yang terpaksa 'mengabaikan' capaian pendidikan tingginya 'hanya' untuk diterima kerja. Sulit rasanya bicara memajukan bangsa dan negara, jika berdiri di kaki sendiri saja mereka masih meraba-raba.
Isu ini yang konon menjadi salah satu alasan LPDP pada beberapa tahun lalu berinisiatif membuka jalur pendaftaran baru untuk golongan PNS, TNI dan Polri (targeted). Setiap lulusannya diwajibkan kembali mengabdi pada organisasinya selepas lulus. Selain untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas PNS/TNI/Polri dalam pengabdiannya, hal ini secara tidak langsung mengeliminasi tahapan mencari kerja bagi sebagian lulusan LPDP.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro sendiri juga telah mengumumkan bahwa penerima beasiswa LPDP dari kalangan umum tidak diwajibkan untuk pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan studi. Namun, bagi penerima beasiswa yang mendaftar pada jalur targeted PNS/TNI/Polri wajib kembali ke Indonesia setelah menuntaskan pendidikan di luar negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan SDM mendapat kesempatan berkembang secara optimal baik di dalam maupun luar negeri.
Harus Dibenahi
Jalur pendaftaran LPDP sendiri dibuka untuk berbagai macam kategori, namun tidak pernah ada syarat telah bekerja, kecuali untuk jalur PNS/TNI/Polri. Hal ini menyebabkan pendaftar LPDP banyak mencakup lulusan S1 yang langsung melanjutkan pendidikan tinggi lanjutan tanpa pengalaman bekerja. Imbasnya setelah mereka lulus S2, bagi tim rekrutmen utamanya di Indonesia, mereka masih dianggap lulusan baru yang belum memiliki pengalaman kerja sama sekali.
Sementara itu, sebagian lulusan pendidikan tinggi S2 dan S3, terkadang enggan digaji dengan standar lulusan baru. Sisanya, memilih mengalah dan mencari pekerjaan dengan ijazah sarjana sambil menunggu kesempatan lain. Mirip seperti kisah Putri dan Nagari.
Lalu bagaimana dengan harapan bahwa lulusan LPDP harusnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan? Tentu tidak salah, dan terbukti beberapa lulusan LPDP berhasil menciptakan berbagai lapangan pekerjaan mulai dari bidang food and beverage, e-commerce, hingga platform konsultasi pengembangan karier secara digital. Namun hal ini pun bisa dikatakan masih belum dapat terwujud maksimal dalam kondisi Indonesia yang juga belum optimal mendukung UMKM.
Pendidikan S2 dan S3 umumnya memiliki jurusan lebih spesifik dengan berbagi macam bidang, yang belum mampu diwadahi lapangan kerjanya di Indonesia. Sehingga dari puluhan ribu lulusan LPDP masih kesulitan menemukan posisi yang bisa mereka isi dengan kemampuan spesifik yang mereka miliki. Indonesia memang belum sampai pada level yang mampu mewadahi itu. Akibatnya, wajar ada penyimpangan sejumlah lulusan yang memutuskan tidak kembali (dengan alasan apapun) dan memilih untuk bekerja di luar Indonesia.
Ada banyak hal yang masih harus dibenahi dari LPDP, namun semoga rekomendasi yang akan dihasilkan dari kajian Kemendiktisaintek juga dapat tepat sasaran. Bidang apapun yang pemerintah inginkan untuk menjadi prioritas pengabdian lulusan LPDP, perlu disiapkan wadah 'penyerapan' lulusannya dimulai dari sekarang.
LPDP tidak pernah menjadi program sia-sia. Pendidikan tinggi tidak pernah menjadi sebuah kerugian, dan pendidikan tinggi tidak pernah 'ketinggian' selama dikelola dengan tepat. Memberikan dampak pada bangsa dan negara bukan juga perkara ringan sebatas slogan dengan kata-kata. Setiap lulusan LPDP dari kampus dalam ataupun luar negeri perlu memiliki pijakannya masing-masing dahulu sebelum bisa berperan dalam bentuk sekecil apapun bagi negaranya.
Khairiyah Rizkiyah, SST, M.T.I Pranata Komputer di BPS, penerima beasiswa LPDP 2019
(mmu/mmu)