Lelah Pamer di Medsos

1 month ago 25

Jakarta -

Nadia, seorang mahasiswi berusia 20 tahun, awalnya sangat aktif di media sosial (medsos) Instagram. Setiap momen penting—liburan, ulang tahun, hingga sekadar nongkrong dengan teman—selalu ia abadikan dan unggah di medsos. Tetapi seiring waktu, Nadia mulai merasa lelah.

Setiap kali mengunggah foto, ia kini merasa terbebani dengan tekanan jumlah like, komentar, dan perbandingan sosial yang muncul. Meski Instagram awalnya terasa menyenangkan, lama-kelamaan Nadia merasa bahwa setiap unggahan hanyalah upaya untuk memenuhi ekspektasi sosial, dan bahkan menjadi ajang flexing alias "pamer" hal-hal yang sebenarnya tidak perlu.

Merasa jenuh, Nadia memutuskan untuk mencoba tren grid zero. Ia menghapus semua foto dari profilnya dan mengosongkan tampilan Instagram menjadi grid yang benar-benar bersih, tanpa satu pun foto atau video. Dengan langkah ini, Nadia merasa lebih bebas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi dia, kini tidak ada lagi ekspektasi sosial untuk menunjukkan aspek kehidupannya, atau rasa cemas akan bagaimana ia terlihat di mata orang lain. Tanpa sadar, ia telah memilih jalan anti-flexing—menolak budaya pamer yang kerap mewarnai medsos.

Simbol Perlawanan

Grid zero, tren yang sedang populer di kalangan Generasi Z (Gen-Z), bukan sekadar gaya baru untuk profil Instagram. Lebih dari itu, tindakan mengosongkan grid menjadi simbol perlawanan terhadap budaya flexing—atau pamer gaya hidup di medsos. Pada era ketika media sosial kerap menjadi etalase untuk menunjukkan kekayaan, kebahagiaan, dan kesempurnaan hidup, grid zero memberi ruang bagi para pengguna untuk mengambil jeda dari ekspektasi-ekspektasi sosial ini.

Flexing telah menjadi fenomena umum di medsos, khususnya Instagram. Para pengguna sering menampilkan momen-momen hidup yang indah dan berkesan, baik itu berlibur ke tempat eksotis, memakai barang mewah, atau menjalani kehidupan yang seolah-olah selalu sempurna.

Bagi sebagian orang, ini memang cara untuk berbagi kebahagiaan atau pencapaian. Namun, bagi sebagian lain, termasuk Gen-Z seperti Nadia, budaya ini terasa melelahkan dan tidak autentik. Grid zero hadir sebagai respons terhadap tekanan untuk selalu menunjukkan "kehidupan yang sempurna" dan menjadi penanda bahwa tidak semua hal harus dipamerkan kepada dunia.

Merasakan Tekanan

Gen-Z tumbuh dalam dunia yang sangat terhubung secara digital. Mereka memiliki keakraban dengan teknologi dan medsos yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya. Namun, justru karena keterhubungan ini, pada akhirnya mereka merasakan tekanan yang tinggi untuk selalu menampilkan versi terbaik dari diri mereka di medsos.

Bagi mereka, grid zero menawarkan cara baru untuk menjaga privasi dan mengurangi eksposur di dunia maya. Beberapa alasan Gen-Z tertarik pada tren ini, antara lain, kontrol atas identitas digital: Grid zero memungkinkan pengguna untuk mengendalikan apa yang mereka tampilkan kepada publik.

Dengan mengosongkan grid, mereka seakan-akan berkata, "Saya memilih untuk tidak menunjukkan apa-apa."

Alasan berikutnya, mereka ingin menghindari perbandingan sosial: dengan menghapus unggahan, pengguna tidak perlu lagi merasa bersaing dalam jumlah like, komentar, atau kualitas foto.

Mereka juga ingin meningkatkan privasi. Banyak Gen-Z yang merasa semakin nyaman dengan interaksi privat, seperti melalui pesan langsung atau stories yang sementara, ketimbang profil publik yang bisa diakses semua orang. Dengan Grid Zero, mereka bisa tetap aktif di medsos tanpa membagi terlalu banyak detail kehidupan.

Cerminan Gaya Hidup Baru

Contoh kasus lain dialami Arief, seorang pekerja lepas yang gemar fotografi. Awalnya ia senang membagikan karya-karyanya di Instagram. Namun, setelah melihat tren grid zero, mulai merasa bahwa ia juga terlalu terikat dengan opini orang lain terhadap karya dan kehidupan pribadinya.

Arief memutuskan untuk menghapus semua unggahan dari grid dan hanya menggunakan Instagram sebagai portofolio digital yang ia unggah sesekali, tanpa ekspektasi keterlibatan sosial. Kini, Arief lebih memilih untuk berbagi foto secara langsung dengan teman atau klien tanpa perlu membaginya ke publik.

Dalam dunia yang semakin sibuk dan penuh informasi, grid zero menjadi pilihan yang menawarkan kesederhanaan. Dengan tren ini, generasi muda bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki kendali penuh atas kehidupan digital mereka tanpa harus mengikuti arus budaya pamer.

Ini adalah bentuk kebebasan baru. Mereka, dan kita, bisa tetap hadir di media sosial tanpa terlibat dalam budaya "lebih banyak, lebih bagus" yang telah lama mewarnai platform-platform tersebut.

Grid zero bukan hanya tren kosong; ini adalah pernyataan bahwa di balik profil media sosial yang bersih, ada orang-orang yang memilih untuk menjaga ruang pribadi mereka. Dalam dunia ketika setiap orang tampaknya berlomba untuk memamerkan kehidupan sempurna, grid zero menjadi simbol pemberontakan terhadap budaya flexing dan pilihan untuk hidup dengan lebih autentik.

Seperti yang ditunjukkan oleh Nadia dan Arief, kadang-kadang, ruang kosong di dunia digital lebih bermakna daripada ribuan foto yang dibagikan.

Asep K Nur Zaman kolumnis

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial