Jakarta -
I'm not going to start wars, I'm going to stop wars. Petikan ungkapan Donald Trump dalam pidato kemenangannya ini menjadi harapan bagi para pemilihnya, terutama komunitas Muslim Amerika-Arab terhadap masa depan Palestina. Pasalnya, selama kampanye, Trump gencar menarik perhatian para pemilih Muslim untuk menghentikan perang di Gaza.
Dalam isu Timur Tengah, Trump memang dianggap lebih membawa angin segar kedamaian daripada Harris. No new wars, family values, affordable groceries, misalnya, menjadi isi brosur kampanye Trump di negara bagian Michigan untuk menyihir 200.000 pemilih Muslim.
Michigan sebagai kota terbesar pemilih Arab Amerika dan Muslim mampu ditaklukkan Trump dengan 84.000 suara dan menang atas Harris. Padahal kota tersebut telah dimenangkan Biden dengan 154.000 suara pada Pilpres 2020. Suara Muslim Amerika-Arab benar-benar tidak bisa dilepaskan dari kemenangan Trump saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, sebenarnya demo besar-besaran yang terjadi pada era Biden karena dianggap gagal membawa kedamaian di Timur Tengah, khususnya Palestina juga menjadi pengaruh kekalahan Harris, capres yang didukung Biden. Gema solidaritas untuk Palestina oleh warga AS dengan lantang meminta pertanggungjawaban pemerintahan Biden-Harris atas genosida yang terjadi di Gaza dalam beberapa tahun terakhir.
Warga AS pro-Palestina merasa muak dengan sikap dan kebijakan Biden-Harris atas Palestina. Sebab itu, kampanye Harris yang secara radikal mendukung Israel dan merendahkan kelompok Muslim, serta Trump yang seolah menjadi antitesis Harris dan berjanji menghentikan perang, sejak awal menjadi penentu tentang siapa pemenang Pilpres 2024 ini.
Catatan Merah Trump soal Palestina
Namun demikian, warga AS jangan terlena dan cepat bergembira atas kemenangan Trump dengan janji-janji manisnya untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Pasalnya, jika kita tarik ulur ke belakang, pada masa kepemimpinan pertamanya sebagai Presiden ke-45 AS pada 2017-2021, khususnya soal Palestina, Trump mempunyai catatan merah yang sesungguhnya melukai warga Palestina.
Saat itu, Trump menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel dengan memindahkan kantor Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. Hal ini benar-benar menyakiti hati warga Palestina. Pasalnya, Jerusalem adalah hak warga Palestina yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsa, kota suci umat muslim setelah Makkah-Madinah.
Dalam konteks ini, Trump justru lebih mengutamakan kepentingan Israel daripada upaya solusi dua negara (two-state solution). Trump seolah tidak peduli atas jutaan warga Palestina yang terusir dari tanahnya sendiri, yang hingga kini berada di pengungsian --Yordania, Suriah, Lebanon, dan negara lainnya. Kebijakan Trump pada kepemimpinan pertamanya atas Palestina jauh dari kata keadilan dan kesetaraan.
Daripada mempromosikan perdamaian dan solusi atas konflik berkepanjangan itu, pada masanya, Trump justru lebih banyak mempromosikan Israel dengan mengajak para mitra strategisnya seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, hingga negara teluk lainnya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Bagi Trump, bagaimana caranya posisi dan eksistensi Israel semakin kokoh, dan warga Palestina semakin terusir dari tanahnya sendiri.
Sebab itu, warga AS dan kita semua jangan sampai lupa ingatan atas rekam jejak kelam ini. Cara Trump memimpin AS di kali kedua kini, terutama tentang langkahnya mencari solusi untuk Timur Tengah, rasa-rasanya tidak akan berbeda jauh dari periode pertama ia menjabat. Kita harus tetap menaruh rasa pesimis dan terus mengawal janji-janji kampanyenya.
Masa Depan Palestina
Sebagaimana politisi biasanya, konten kampanye Trump yang kelihatannya mengakomodasi kepentingan kelompok Muslim Amerika-Arab pada pilpres kemarin bisa jadi merupakan satu strategi pemenangan. Dengan melihat rekam jejaknya soal Palestina, saya meragukan apakah janji Trump menghentikan perang di Timur Tengah itu benar-benar tulus atau hanya lip service semata.
Namun demikian, warga AS dan kita semua harus terus bersuara. Mudah-mudahan saja Trump tulus dan terbuka hati nuraninya untuk membawa keadilan di Timur Tengah. Pasalnya, kebijakan AS di Timur Tengah akan sangat mempengaruhi masa depan konflik Israel-Palestina.
Kita sudah kehabisan kata melihat jutaan warga Palestina terbunuh, mayat berceceran, bangunan-bangunan dibumihanguskan, anak-anak dan perempuan tak bersalah dihabisi. Mengutip ucapan Bung Karno dalam pidatonya di PBB 1960 lalu, kita jadi ingin bertanya, "Luka Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun menderita penjajahan saja belum sembuh, akankah datang luka-luka lainnya yang baru?"
Kita semua berharap bahwa harapan-harapan yang dijanjikan itu bukanlah harapan palsu. Pada kali kedua kepemimpinannya, saya berharap Trump sudah bertaubat, bisa lebih manusiawi, membuka hati nuraninya sehingga langkah kebijakan yang ia putuskan dapat membawa kemaslahatan dan kedamaian untuk semua.
Trump harus belajar dari China tentang kebijaksanaan dalam melihat situasi konflik Israel-Palestina yang menyejarah. Bahkan, China mampu menjadi jembatan persahabatan antara Saudi dan Iran beberapa waktu lalu. Trump harus memandang negara lain sebagai sahabat yang setara dan dimuliakan, bukan dieksploitasi.
Selain itu, kita juga berharap agar Trump lebih berani dan lebih tegas mendorong Israel mematuhi hukum internasional, di samping juga lebih banyak mendengar suara-suara kebenaran yang datang dari kebeningan hati, rasionalitas, dan ketulusan untuk kemanusiaan. Kita renungkan apa kata Ghandi, There is no path to peace. Peace is the path.
Nata Sutisna peneliti Pusat Studi Islam dan Sukarno (Kopiah.Co)
(mmu/mmu)