Jakarta -
Kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Amerika Serikat (AS) 2024 membawa dampak tidak hanya pada politik domestik Amerika, tetapi juga bergema hingga ke Asia Tenggara. Kebijakan luar negeri AS di bawah Trump yang kembali menekankan proteksionisme dan diplomasi transaksional diprediksi akan membawa dampak besar bagi posisi geopolitik ASEAN. Dalam konteks ketika Trump kembali menegaskan slogan "America First", negara-negara di Asia Tenggara tidak punya pilihan selain bersiap menghadapi tantangan baru untuk menjaga stabilitas kawasan, memperkuat hubungan perdagangan, dan mempertahankan posisi strategis ASEAN di tengah ketegangan geopolitik yang semakin memanas.
Mengubah Dinamika
Kembalinya Trump ke Gedung Putih membawa pola diplomasi transaksional yang berpotensi mengubah dinamika hubungan antara AS dan negara-negara ASEAN. Bagi Trump, hubungan internasional tidak didasari atas multilateralisme atau kemitraan jangka panjang, tetapi lebih pada kalkulasi keuntungan ekonomi yang segera. Pendekatan ini sangat kontras dengan era Obama yang menitikberatkan pada kemitraan multilateral yang kuat di kawasan Asia-Pasifik, dan bahkan berbeda dengan Biden yang mencoba memperkuat poros Indo-Pasifik dengan ASEAN sebagai pusatnya.
Hal ini menempatkan negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam, dan Singapura dalam posisi yang tidak nyaman. Ketika Trump lebih memprioritaskan hubungan bilateral berdasarkan manfaat ekonomi, negara-negara ASEAN yang bergantung pada perdagangan dengan AS dihadapkan pada negosiasi yang sulit, terutama terkait dengan tarif dan pembatasan perdagangan. Proteksionisme yang diusung Trump mengancam ekspor dari kawasan ini, yang sebagian besar mengandalkan akses pasar Amerika untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia mungkin perlu mencari jalan untuk beradaptasi dengan aturan main yang semakin tidak pasti, yang dapat merusak rantai pasokan regional dan global. ASEAN juga menghadapi dilema dalam mempertahankan relevansi dan kohesi internalnya. Dengan berkurangnya dukungan AS terhadap multilateralisme, ASEAN harus lebih proaktif dalam mempertahankan posisinya sebagai forum regional yang berperan menjaga stabilitas kawasan. Namun, perbedaan kepentingan yang kuat di antara anggota ASEAN --terutama terkait bagaimana menghadapi kekuatan besar seperti AS dan China-- bisa menjadi batu sandungan utama.
Menambah Kompleksitas
Trump yang kembali berkuasa dengan kebijakan keras terhadap China menambah kompleksitas bagi ASEAN. Asia Tenggara, yang berada di persimpangan konflik antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, akan semakin merasakan tekanan untuk "memihak". Kemenangan Trump bukan hanya memastikan perang dagang dengan China berlanjut, tetapi juga berpotensi memperburuk ketegangan yang ada. Ketika AS mendorong pemisahan ekonomi (decoupling) dari China, negara-negara ASEAN yang selama ini diuntungkan oleh keterkaitan ekonomi dengan China dan AS harus bersiap menghadapi tantangan besar.
Negara-negara seperti Vietnam dan Filipina menghadapi dilema akut. Di satu sisi, mereka memiliki sengketa teritorial dengan China di Laut China Selatan dan secara tradisional berharap pada dukungan AS untuk mengimbangi tekanan China. Namun, dengan pendekatan transaksional Trump yang tidak selalu konsisten dalam memberikan dukungan militer atau diplomatik, negara-negara ini menghadapi risiko tidak hanya dari potensi konfrontasi langsung dengan China, tetapi juga dari ketidakpastian apakah AS akan benar-benar membantu pada saat krisis.
Kondisi ini menuntut ASEAN untuk menjadi lebih mandiri dalam mengelola stabilitas kawasan. ASEAN harus bisa memainkan peran yang lebih seimbang, berusaha tidak memihak secara eksplisit kepada salah satu kekuatan besar untuk menghindari eskalasi lebih lanjut. Namun, keseimbangan ini semakin sulit dicapai ketika negara-negara anggota memiliki kepentingan bilateral yang berbeda-beda dengan kedua kekuatan besar, membuat kohesi ASEAN rentan terhadap pengaruh luar.
Pengurangan Keterlibatan
Pendekatan Trump terhadap keamanan regional kemungkinan besar akan lebih menekankan pengurangan keterlibatan langsung AS di kawasan Asia Tenggara. Trump dikenal skeptis terhadap aliansi militer jangka panjang yang memerlukan komitmen dan investasi besar dari AS. Hal ini bisa membawa implikasi langsung bagi negara-negara seperti Filipina dan Thailand yang memiliki perjanjian pertahanan formal dengan AS.
Dengan berkurangnya kehadiran militer AS, beban untuk mempertahankan keamanan di kawasan ini akan semakin jatuh pada negara-negara tersebut. Filipina, misalnya, mungkin harus mempertimbangkan peningkatan belanja militer atau bahkan mencari mitra pertahanan baru, baik di dalam kawasan melalui mekanisme ASEAN, maupun dengan negara-negara lain seperti Jepang atau Australia. Namun, peningkatan aliansi militer di kawasan ini bisa memicu perlombaan senjata regional dan meningkatkan ketegangan yang sudah tinggi, terutama di Laut China Selatan yang menjadi titik fokus klaim tumpang tindih dan aktivitas militer China.
Selain itu, negara-negara ASEAN juga akan semakin tertekan untuk memperkuat kerja sama terutama untuk merespons aliansi regional seperti AUKUS dan Quad, dengan membuka kemungkinan kerja sama meskipun hal ini bertentangan dengan prinsip sentralitas ASEAN yang menghindari keterlibatan dalam aliansi militer yang terlalu terpolarisasi. Walaupun keterlibatan yang lebih besar dengan Quad atau AUKUS di kawasan dapat dilihat oleh China sebagai provokasi, yang selanjutnya dapat meningkatkan ketegangan dan menempatkan ASEAN dalam posisi genting.
Agenda Perdagangan
Trump yang kembali ke Gedung Putih berarti kebijakan "America First" akan kembali mendominasi agenda perdagangan. Kebijakan proteksionisme dan kenaikan tarif impor barang, terutama dari China, diperkirakan akan memperburuk kondisi rantai pasokan global, di mana negara-negara ASEAN, seperti Vietnam dan Malaysia, sangat bergantung. Bagi Vietnam, yang menjadi salah satu penerima manfaat utama dari relokasi manufaktur dari China selama perang dagang, peningkatan tarif atau hambatan baru dapat secara langsung mengurangi keuntungan ekonomi yang diperoleh selama beberapa tahun terakhir.
Negara-negara di Asia Tenggara juga akan menghadapi tantangan dalam mempertahankan investasi langsung asing (FDI). Dengan pendekatan yang lebih inward-looking dari AS, daya tarik Amerika sebagai tujuan investasi atau sumber dana bagi proyek-proyek infrastruktur besar di Asia Tenggara kemungkinan akan semakin berkurang. Hal ini berarti negara-negara ASEAN perlu semakin mengandalkan sumber daya regional atau bekerja sama dengan kekuatan ekonomi lain seperti Uni Eropa atau Jepang untuk menggantikan hilangnya potensi dukungan dari AS.
Mengisi Kekosongan
Kebangkitan Trump memberikan peluang sekaligus ujian bagi ASEAN dalam memperkuat peran kepemimpinannya di kawasan. Jika AS mulai menunjukkan tanda-tanda keengganan untuk terlibat dalam forum multilateral, ASEAN memiliki peluang untuk mengisi kekosongan tersebut dengan meningkatkan peran sentralitasnya dalam menjaga stabilitas dan keamanan regional. Namun, kemampuan ASEAN untuk melakukan hal ini sangat tergantung pada sejauh mana negara-negara anggotanya bisa menyelaraskan kepentingan nasional mereka.
Dengan semakin kerasnya sikap AS terhadap China dan ketidakpastian dukungan AS terhadap stabilitas regional, ASEAN harus meningkatkan kemampuan institusionalnya untuk tidak hanya menjadi forum dialog, tetapi juga sebagai kekuatan yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi perdamaian dan keamanan di kawasan. Inisiatif seperti ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) dapat menjadi platform penting bagi ASEAN untuk menunjukkan kepemimpinannya, tetapi tanpa komitmen nyata dari semua anggotanya, inisiatif tersebut berisiko hanya menjadi retorika kosong.
Lebih Mandiri
Kebangkitan Donald Trump dan kembalinya ke Gedung Putih menghadirkan tantangan besar bagi negara-negara ASEAN. Kebijakan luar negeri yang kembali menekankan proteksionisme dan diplomasi transaksional menuntut negara-negara di Asia Tenggara untuk bersiap menghadapi perubahan besar dalam dinamika perdagangan, keamanan, dan diplomasi kawasan. Ketika Amerika kembali ke kebijakan yang berfokus ke dalam, negara-negara ASEAN harus bersiap untuk mengambil peran yang lebih mandiri dalam menjaga stabilitas kawasan.
Dalam konteks yang penuh ketidakpastian ini, kemampuan ASEAN untuk mempertahankan keseimbangan, menjaga kohesi, dan menavigasi kompleksitas geopolitik akan menjadi penentu bagi masa depan kawasan ini. Dengan ketegangan antara AS dan China yang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, Asia Tenggara harus mampu memainkan peran yang lebih dinamis --tidak hanya sebagai pengamat, tetapi juga sebagai aktor yang berkontribusi bagi stabilitas dan perdamaian global. Keberhasilan ASEAN dalam menavigasi situasi ini tidak hanya akan menentukan posisi mereka dalam tatanan internasional, tetapi juga masa depan stabilitas dan kemakmuran bagi seluruh kawasan.
Arif Darmawan dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), pengajar Mata Kuliah Politik dan Pemerintahan Amerika Serikat, Koordinat Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara LPPM Unsoed
(mmu/mmu)