Jaksa Penuntut Umum Bisakah Menuntut Terdakwa Bebas?

1 month ago 26

Jakarta -

Dalam perjalanan ke kantor sambil membuka handphone di mobil saya teringat beberapa hari lalu tepatnya tanggal 11 November 2024 sempat membuka media online detik.com dengan judul "Guru Supriyani Dituntut Bebas di Kasus Penganiayaan Siswa".

Sebagai praktisi hukum yang keseharian saya sebagai lawyer di Jakarta, dengan membaca judul berita tersebut menuntun saya terus terngiang dengan rasa penasaran yang tinggi, kok bisa Jaksa Penuntut Umum menuntut bebas?

Alasan Jaksa Penuntut Umum menuntut (JPU) menuntut agar Supriyani, guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara bebas dari segala tuntutan dalam kasus penganiayaan siswa karena menilai sifat jahat guru Supriyani hingga menganiaya siswa tidak dapat dibuktikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pertama menuntut, supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo yang memeriksa dan mengadili perkara untuk memutuskan, menyatakan, menuntut Supriyani lepas dari segala tuntutan hukum. Kedua membebaskan terdakwa guru Supriyani dari dakwaan kesatu melanggar Pasal Perlindungan Anak," ungkap Jaksa Ujang dipersidangan.

Menurut JPU walaupun perbuatan pidana guru Supryani dapat dibuktikan, akan tetapi perbuatannya tersebut tidak dapat dibuktikan adanya sifat jahat walaupun hal ini dibantah oleh guru Supriyani. Menurut pengamatan saya, tuntutan JPU diduga tidak terlepas dari pemberitaan media dan sosial media yang sangat gempar.

Rasa penasaran saya tidak berhenti di situ, dalam berita selanjutnya kuasa hukum Supriyani bu guru honorer itu mengajukan keberatan terhadap tuntutan bebas JPU dengan alasan menurutnya sesuatu yang aneh karena bagaimana seseorang bisa dinyatakan bersalah namun tidak ada niat jahatnya.

Jika menoleh ke belakang, tuntutan bebas JPU terhadap guru Supryani tidak terlalu aneh jika dibandingkan dengan perkara yang menimpa ibu rumah tangga yang bernama Valencya. Saya teringat bahwa kejadian tuntutan aneh Valencya terjadi pada tanggal 11 November 2021 terjadi di Pengadilan Negeri Karawang Jawa Barat, media memberitakan dengan judul "Istri di Karawang Dituntut 1 Tahun Penjara setelah Marahi Suaminya yang Pulang dalam Kondisi Mabuk".

Tuntutan JPU tersebut secepat kilat menggemparkan jagad maya melalui netizennya yang mengecam tuntutan JPU terhadap seorang istri bernama Valencya tersebut. Atas hebohnya pemberitaan di jagad sosial media, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menarik kembali tuntutan atas tuduhan kasus KDRT yang menimpa Valencya, JPU mencabut tuntutannya menjadi tuntutan bebas.

Alasan pencabutan tuntutan tersebut dilakukan usai pembacaan replik di Pengadilan Negeri Karawang pada hari Selasa tanggal 23 November 2021. Di hadapan majelis hakim, JPU yang dihadirkan dari Kejaksaan Agung membacakan pencabutan tuntutan dengan dasar JPU yang dihadirkan Kejari Karawang menuntut Valencya 1 tahun penjara belum sepenuhnya menggali fakta dan bukti dalam persidangan dengan sepenuhnya.

Hal Ini menegaskan bahwa sengkarut tuntutan bebas oleh Jaksa Penuntut Umum pernah dialami oleh masyarakat yang mencari keadilan. Sekarang pertanyaannya adalah bolehkah JPU mengajukan tuntutan bebas?

Tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum diatur berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP berbunyi: Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Tuntutan pidana tidak dapat dilepaskan dengan ketentuan pengertian pidana sebagaimana diatur Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) huruf a yang mengatur tentang jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Terdakwa yakni pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan.

Sedangkan pidana tambahan diatur di huruf b mengatur tentang pidana tambahan yakni pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Jika mendasarkan pada ketentuan pasal 10 KUHP tersebut, maka seharusnya Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan haruslah berisi tuntutan pemidanaan, bukan tuntutan bebas.

Sebelum perkara dilimpahkan ke Pengadilan, JPU dengan segala kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang mendalami suatu perkara dari pihak kepolisian dalam perkara tindak pidana yang dikenal dengan istilah P-19 artinya Pengembalian Berkas Perkara untuk dilengkapi oleh penyidik jika perkara tersebut belum lengkap.

Namun apabila perkara sudah dinyatakan P-21 artinya berkas perkara sudah dinyatakan lengkap, maka tahap selanjutnya adalah pelimpahan ke pengadilan untuk disidangkan. Setelah berkas perkara dinyatakan lengkap maka JPU memiliki keharusan dan kewajiban untuk membuktikan dengan sangat hati-hati terhadap suatu perkara yang akan atau telah dilimpahkan ke Pengadilan.

Kelengkapan berkas perkara sejatinya untuk menghindari jangan sampai Jaksa Penuntut Umum baru menyadari dan mengetahui jika JPU kekurangan alat bukti untuk membuktikan surat dakwaannya dan akhirnya mengajukan tuntutan bebas atau lepas yang seharusnya mengajukan tuntutan pemidanaan.

Pembuktian dalam perkara pidana dikenal dengan asas hukum Incriminalibus, Probationes Bendent Esse Luce Clariores artinya dalam perkara pidana, bukti-bukti yang ada harus lebih terang daripada cahaya. Dengan asas tersebut mana mungkin JPU akan menuntut bebas kecuali dari dari awal sudah tidak yakin dengan bukti-bukti yang ada, itupun KUHAP memberi ruang untuk menghentikan perkara sesuai pasal 109 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Selain itu, guna menghindari tuntutan bebas di pengadilan maka JPU bisa menggunakan instrumen Restoratif Justice sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KUHAP tidak memberikan ruang dan wewenang kepada JPU untuk mengajukan tuntutan bebas maupun tuntutan lepas, selain dari tuntutan yang berisi pemidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 182 KUHAP.

Namun disisi lain Jaksa Penuntut Umum selain tunduk pada KUHAP ternyata terdapat Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung yang dikeluarkan pada tanggal 3 Desember 2019 memberikan ruang kepada JPU untuk mengajukan tuntutan bebas ataupun tuntutan lepas sebagaimana angka 6 berbunyi:

Dalam Ketentuan Tuntutan Pidana :

(1) Penuntut Umum mengajukan tuntutan bebas (vrijspraak) dalam hal:

a. kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan;

b. Tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terpenuhinya unsur tindak pidana; dan/atau

c. tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang sah karena alat bukti yang diajukan di depan persidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau diperoleh secara tidak sah.

(2) Penuntut Umum mengajukan tuntutan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) dalam hal berdasarkan fakta hukum di persidangan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

(3) Dalam hal Penuntut Umum mengajukan tuntutan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dimaksud pada butir (2) maka Penuntut Umum dalam tuntutannya tetap wajib membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan menguraikan alasan mengapa perbuatan itu meskipun terbukti tetapi tidak merupakan suatu tindak pidana, antara lain sebagai berikut:

a. adanya alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukumnya atau adanya alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan sehingga perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak merupakan tindak pidanb.perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak termasuk dalam ranah hukum pidana; dan/atau

b. terdapat perubahan peraturan perundang-undangan yang mendekriminalisasi atau menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan yang didakwakan.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut, maka ada dua pengaturan tuntutan oleh JPU yakni dalam KUHAP dan Pedoman Jaksa Agung. Padahal berdasarkan asas preferensi hukum asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi) seharusnya Pedoman Jaksa Agung tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dengan KUHAP yang merupakan Undang-Undang yang lebih tinggi dari Pedoman Jaksa Agung.

Putusan hakim.

Berbeda dengan kewenangan yang diberikan oleh KUHAP kepada JPU, seorang hakim di pengadilan tidak terikat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Ketentuan Pasal 191 KUHAP mengatur tentang penjatuhan putusan kepada Terdakwa oleh seorang Hakim. Pasal (1) berbunyi Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Ayat (2) berbunyi Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian KUHAP hanya memberikan ruang dan wewenang kepada Hakim untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas kepada Terdakwa, namun tidak memberikan ruang kepada JPU untuk mengajukan tuntutan bebas.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil telaah tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP tuntutan pidana tidak dapat dilepaskan dengan ketentuan pengertian pidana sebagaimana diatur Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) huruf a yang mengatur tentang jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa yakni mendasarkan pada pasal 10 KUHP yang seharusnya Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan haruslah berisi tuntutan pemidanaan, bukan tuntutan bebas.

Terhadap dualisme pengaturan tuntutan dimana Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan harus tunduk pada KUHAP, ternyata juga terdapat Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum. Agar tidak terjadi tumpang tindih aturan penuntutan maka masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019 dapat mengajukan judisial review ke Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang - undang terhadap undang-undang. Sehingga kedepannya diharapkan tidak ada lagi tuntutan JPU yang menimbulkan kegaduhan dimasyarakat seperti yang dialami oleh Guru Supriyani di Pengadilan Negeri Andoolo Sulawesi Tenggara ataupun yang pernah dialami oleh Valencya di Pengadilan Negeri Karawang Jawa Barat, selaku pencari keadilan.

Dr. Saleh, SH., MH, Managing Partners Law Office Saleh & Partners Soho Pancoran Jakarta Selatan

(akn/ega)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial