Isu Palestina, Imigran, dan Kemenangan Kembali Trump

1 month ago 40

Jakarta -

Selasa, 5 November 2024 hasil Pemilihan Presiden AS kembali mengantarkan Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat ke-47. Banyak pihak yang kaget dengan hasil ini, termasuk warga Amerika Serikat sendiri. Di tempat saya tinggal, Chicago Illinois, saya melihat wajah-wajah putus asa para pendukung Harris.

Melihat hasil pemilu tahun ini, Trump tampaknya telah berhasil mengonsolidasikan kekuatan politik partai Republikan. Hal ini ditandai dengan keberhasilannya memperoleh lebih banyak suara daripada kandidat dari partai itu dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Hasil ini sekaligus menunjukkan pergeseran geografis elektoral AS dari Demokrat ke Republik. Trump berhasil memenangkan semua negara bagian yang menjadi penentu dan mengalahkan Demokrat di Senat dan DPR. Hasilnya jelas menunjukkan kemenangan telak bagi Trump. Tetapi apa arti hasil ini? Mengapa Demokrat kalah?

Sebelum pemilihan, Harris dianggap lebih mungkin menang melawan Trump. Namun, jajak pendapat dan penilaian menunjukkan bahwa persaingan ketat dan jumlah pemilih pada hari pemilihan akan menentukan. Hasilnya adalah kebalikan dari apa yang diprediksi oleh jajak pendapat dan komentator politik. Ada banyak alasan mengapa Demokrat dan Harris kalah.


Isu Palestina

Pertama dan terpenting adalah isu Palestina. Dalam pemilihan umum Amerika, para pemilih biasanya tidak mendasarkan perilaku pemungutan suara mereka pada isu-isu kebijakan luar negeri. Namun, genosida Israel di Gaza telah mendominasi opini publik AS selama setahun terakhir. Pemerintahan Biden dianggap tidak menghentikan Israel, bahkan menciptakan kondisi yang memungkinkan genosida Israel di Gaza melalui dukungan militer, ekonomi, dan diplomatik.

Kebijakan Biden yang dinilai pro-Israel membuat pemilih Muslim berpindah ke kandidat lain. Komunitas Muslim dan Arab, terutama di negara bagian Michigan misalnya, beralih ke Trump karena reaksi keras atas Gaza. Meskipun keputusan ini juga menuai kritik dari Muslim di negara bagian lain.

Pada 27 Oktober, saya berkesempatan menghadiri CAIR-Chicago, sebuah pertemuan rutin tahunan komunitas Muslim di kota itu. Tidak seperti komunitas Muslim di Michigan, CAIR-Chicago melihat baik Trump atau Harris sama-sama tidak memiliki niat baik untuk menghentikan genosida di Gaza. Hasil pertemuan itu kemudian merekomendasikan komunitas muslim Chicago untuk memilih calon ketiga, Jill Stein.

Suara-suara seperti ini banyak diteriakkan oleh aktivis Palestina seperti Linda Sarsau. Padahal komunitas muslim sejak Pemilu AS 2020 telah menjadi pendukung setia Demokrat dan menjadi penentu di swing state seperti Michigan, Pennsylvania, dan Georgia.

Dalam konteks ini, Harris gagal mengembangkan strategi untuk memenangkan suara komunitas Muslim. Tidak hanya itu, dia dinilai tidak memiliki kinerja yang baik pada kebijakan luar negeri selama pemerintahannya. Selain komunitas Muslim, pemilih muda Amerika juga mengkritik kebijakan Gaza pemerintahan Biden dan menyalahkannya atas genosida tersebut. Perilaku Demokrat selama protes mahasiswa untuk mendukung Gaza semakin mengasingkan pemilih muda dan mengurangi jumlah pemilih mereka dalam pemilu.


Imigran

Alasan lain mengapa Demokrat kalah adalah karena mereka meremehkan isu imigran. Di sisi lain, Trump menggunakan kartu imigran dengan cara populis dan melakukan sekuritisasi. Trump meyakinkan para pemilih bahwa imigrasi adalah masalah yang bahkan mengganggu para imigran, dan ia berhasil mendapatkan suara dari komunitas kulit hitam dan Latin.

Secara khusus, sekuritisasi imigrasi membantunya memenangkan negara-negara bagian penting seperti Nevada dan Arizona. Dalam menghadapi kebijakan sekuritisasi Trump, Demokrat meremehkan isu imigrasi dan menahan diri untuk tidak mengusulkan solusi. Hal ini membuat rata-rata orang Amerika kulit putih merasa tidak nyaman.

Masalah imigrasi juga memunculkan pertanyaan kritis tentang nilai-nilai apa yang seharusnya menjadi dasar identitas Amerika. Perdebatan Demokrat tentang identitas Amerika, yang menekankan pluralisme ekstrem, meresahkan mayoritas pemilih Amerika yang percaya bahwa nilai-nilai White Anglo-Saxon Protestants harus menjadi pusat identitas dan mengarahkan mereka ke Partai Republik. Ketika situasi ini ditafsirkan bersama dengan perubahan besar dalam geografi elektoral Amerika Serikat, hal itu menunjukkan bahwa mayoritas orang Amerika kulit putih beralih ke Trump.

Alasan lain mengapa Demokrat kalah dalam pemilihan adalah diskriminasi terhadap Trump oleh Harris dan tim kampanyenya. Media massa sebagian besar mendukung kampanye Harris dan menggambarkan Trump sebagai orang yang tidak normal, menakutkan, dan fasis. Kadang-kadang, wacana ini diterjemahkan menjadi diskriminasi dan marginalisasi terhadap pemilih Trump.

Dengan mengabaikan fakta bahwa pendukung Trump adalah orang Amerika pada umumnya, Demokrat menggambarkan Trump sebagai penyimpangan dari sejarah Amerika. Pembentukan blok anti-Trump oleh Demokrat dan pengurangan kampanye mereka menjadi anti-Trumpisme membuat Trump tampak sebagai korban. Dua upaya pembunuhan memperkuat persepsi bahwa Trump adalah korban.

Di luar dua isu besar tersebut tentu masih banyak faktor yang menjadi penyebab kekalahan Harris. Tetapi bahwa apa yang saya gambarkan di atas menunjukkan bahwa suara umat Islam di Amerika, meskipun sedikit, cukup menentukan dalam sejarah pemilu negeri itu. Terpilihnya Trump kembali juga semestinya menjadi perhatian umat Islam dunia, karena bisa jadi keberpihakan Amerika kepada Israel akan semakin kuat yang tentu berdampak negatif pada pada rakyat Palestina.

Ahmad Munji Academic Fellowship di American Islamic College dan Lutheran School of Theology Chicago

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial