Jakarta -
Pilkada serentak yang dilaksanakan pada 27 November ini akan menutup rangkaian panjang tahun politik di tahun 2024. Diawali dengan pemilihan legislatif dan presiden pada bulan Februari, pilkada serentak tahun ini akan mengawali puasa panjang kompetisi politik sampai tahun 2029.
Pemilihan umum memang merupakan ajang kompetisi bagi para elite. Kompetisi tersebut menentukan siapa yang berada di dalam dan siapa yang berada di luar kekuasaan. Akibat urgensinya, pemilu dilihat sebuah cost yang sebisa mungkin dihindari, bahkan ada yang mencanangkan pemilu diselenggarakan sepuluh tahun sekali.
Di satu sisi, pemilu membawa rezeki untuk beberapa orang, mulai dari tukang sablon baju, percetakan, dan lainnya yang diuntungkan dari berjualan memasok alat peraga kampanye. Dalam skala yang lebih besar, keberadaan pemilu menciptakan sebuah ekosistem industri dan bisnis politik. Ekosistem tersebut telah berjalan selama dua dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demokratisasi pasca reformasi 1998 mendorong perubahan sistem pemilu seperti adanya pemilihan presiden langsung, perubahan sistem pemilu proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka, dan diadakannya pemilihan kepala daerah langsung. Perubahan-perubahan pada sistem pemilu membuat popularitas menjadi modal politik baru. Akibatnya, muncul tokoh-tokoh yang lahir dari rahim popularitas tersebut, contohnya seperti Presiden Jokowi, Ridwan Kamil, sampai Anies Baswedan.
Untuk mendongkrak dan mengukur popularitas, muncul profesi yang disebut Qodari (2010) sebagai "profesional politik". Contohnya adalah konsultan politik, surveyor, sampai pelaku advertising politik. Kemunculan profesi tersebut juga mendorong munculnya firma-firma yang secara profesional membantu kampanye seperti lembaga survei dan konsultan politik (Mietzner, 2009).
Kemunculan pollster serta profesional politik lainnya juga diakibatkan adanya donor dari lembaga seperti IFES dan USAID yang membuka jalan. Hal tersebut profesional-profesional politik lulusan Ohio State University seperti Denny JA, Saiful Mujani, dan Djayadi Hanan,. Kebutuhan menaikkan popularitas juga memberi ruang bagi pelaku advertising politik seperti Ipang Wahid, yang pada Pemilu 2024 menciptakan kampanye "gemoy" bagi Prabowo-Gibran.
Tidak berhenti di situ, bentuk turunan profesionalisasi politik beralih kepada aspek sosial media dan techno-politics. Politisi mulai melihat sosial media sebagai ranah udara yang perlu dimenangkan. Oleh karena itu, politisi mulai menggunakan jasa-jasa seperti media monitoring untuk melihat tren dan sentimen di sosial media. Dalam aspek techno-politics, muncul produk seperti Pemilu.AI dan Pilkada.AI pada tahun 2024 ini. Pemilu.AI adalah penggunaan generative artificial intelligence sebagai tools yang membantu pemenangan caleg dan calon kepala daerah.
Saya melihat terdapat dua faktor yang membawa kemunculan pada produk-produk bisnis politik, yakni perubahan sistem politik dan juga kemajuan teknologi. Perubahan sistem dalam konteks Indonesia adalah demokratisasi yang baru terimplementasi dari dengan adanya perubahan sistem pemilu yang baru diimplementasikan pada tahun 2004. Kemudian, kemajuan teknologi terlihat dari masifnya penggunaan sosial media pada awal 2010-an. Perubahan sistem politik dan kemajuan teknologi memaksa politisi untuk beradaptasi pada perkembangan yang ada.
Sebagai studi kasus, siklus perkembangan profesionalisasi politik juga terjadi di Amerika Serikat pada awal abad 20. Profesionalisasi politik berupa surveyor dan pelaku advertising politik seperti Gallup dan Bernays muncul akibat makin matangnya demokrasi Amerika dengan universal suffrage dan juga perkembangan teknologi radio sebagai wadah kampanye politik. Pemasaran melalui teknologi seperti radio membutuhkan survei untuk mengukur popularitas calon. Dengan begitu, ekosistem bisnis politik dapat berjalan.
Persoalannya, ekosistem politik Indonesia mulai tidak mendukung kemajuan tersebut. Awal mula perkara adalah pilkada yang hanya akan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebelumnya, pilkada dilaksanakan tiap tahun kecuali tahun pemilu. Otomatis, tiap tahun selalu ada kompetisi politik yang bisa dijadikan industri politik untuk berkembang dan menciptakan inovasi baru. Dengan begitu, industri politik hanya berjalan setiap lima tahun. Padahal, saat ini "hilirisasi demokrasi" dan "hilirisasi pemilu" di Indonesia telah menghasilkan produk yang advance seperti Pemilu.AI.
Demokratisasi dan kemajuan teknologi di abad ke-21 telah memaksa politisi untuk beradaptasi dengan bertindak dalam alam yang lebih demokratis. Namun, dengan minimnya kompetisi politik, bisa jadi politisi akan beradaptasi ke arah yang kurang populis, sehingga politisi meninggalkan jasa-jasa profesional politik.
Demokratisasi memang menghasilkan hilirisasi berbentuk profesional politik. Namun, sebaliknya, apakah dengan surutnya ekosistem industri profesional politik dapat berdampak terhadap kemunduran demokrasi? Jika jasa-jasa profesional politik mulai ditinggalkan akibat minimnya kompetisi politik, bisa saja politisi mulai mengakali pola-pola populis yang ada dengan cara lain. Bukan hanya bentuk kreativitas produk bisnis politik saja yang hilang, tetapi juga potensi hilangnya hilirisasi demokrasi dalam hal kebutuhan mendengarkan suara pemilih.
Muhammad Ramadhan, Analis Politik di Elektawave Tekno Sinergi
(prf/ega)