Berhati-Hati dengan Program Makan Bergizi

1 month ago 50

Jakarta -

Pemerintahan baru resmi dimulai. Presiden Prabowo Subianto telah mempersiapkan tujuh program prioritas untuk 100 hari kerjanya yang dikenal sebagai quick wins. Salah satu program yang menjadi prioritas, "Makan Bergizi Gratis", memiliki anggaran terbesar yakni Rp 71 triliun. Kelak setelah program ini berjalan penuh, Badan Gizi Nasional yang baru dibentuk diperkirakan akan membelanjakan anggaran sekitar Rp 1,2 triliun per hari.

Investasi yang signifikan tersebut tentu menunjukkan pentingnya program makan bergizi gratis. Terlebih dalam program ini, Presiden Prabowo mencanangkan untuk memberikan makan bergizi kepada ibu hamil, ibu menyusui, balita, serta siswa di seluruh jenjang pendidikan dasar, menengah, baik umum, maupun kejuruan.

Berbagai studi memang menunjukkan bahwa program pemberian makan terutama untuk siswa sekolah di negara-negara lain telah membawa dampak positif terhadap prestasi akademik siswa. Hal ini dinilai sejalan dengan visi Indonesia untuk generasi emas 2045 yang perlu dicapai melalui penyiapan sumber daya manusia yang optimal. Namun, tanpa perencanaan dan pengawasan yang cermat, program makan bergizi gratis dapat berujung jadi penghamburan sumber daya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melihat Lebih Luas

Implementasi program pemberian makan di negara lain menghadapi tantangan yang kompleks, terutama mengakibatkan peningkatan susut dan sisa pangan (food loss and waste). Sebuah studi tentang program pemberian makan untuk siswa di China, yang baru-baru ini dijadikan referensi oleh pemerintah Indonesia, menemukan bahwa 21 persen dari total makanan yang disajikan terbuang sia-sia.

Di Swedia, Livsmedelsverket (program makan siang gratis di sekolah) mencatat pemborosan makanan rata-rata sebesar 12 persen. Di Vietnam, evaluasi terhadap program makan untuk siswa yang telah dilakukan sejak 1980-an mengungkapkan bahwa siswa membuang rata-rata 23 persen dari total makanan yang disajikan.

Di Indonesia, masalah susut dan sisa pangan terus menjadi perhatian utama karena skalanya yang sangat besar. Antara tahun 2000 dan 2019, negara kita mencatat susut dan sisa pangan mencapai antara 23 hingga 48 juta ton per tahun. Menurut kajian BAPPENAS, pangan yang terbuang ini mestinya dapat memenuhi kebutuhan energi 61 hingga 125 juta orang setiap tahunnya. Hal yang perlu dipahami bahwa tanpa program makan bergizi gratis pun, tingkat susut dan sisa pangan sudah tinggi.

Muncul kekhawatiran, program makan bergizi gratis justru akan melambungkan susut dan sisa pangan di Indonesia. Keterkaitan antara susut dan sisa pangan dengan program makan bergizi gratis sangat penting untuk dipertimbangkan. Perlu diingat ihwal dari program ini yaitu untuk menyediakan makanan bergizi bagi kelompok rentan yang ditarget. Namun, susut dan sisa pangan yang tak terkendali dapat melemahkan efektivitas program sebab membuang sumber daya berharga yang seharusnya dapat dialokasikan kepada masyarakat.

World Food Programme telah memperkirakan sekitar 28 persen lahan pertanian yang digunakan untuk produksi pangan pada akhirnya terbuang begitu saja. Bentuk kemubaziran ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial global yang mencapai 1 triliun dolar US per tahun, tetapi juga telah memperburuk krisis kelaparan. Maka, jelas bahwa susut dan sisa pangan menjadi aspek yang tak boleh diabaikan dalam implementasi program makan bergizi gratis di Indonesia.

Perspektif yang perlu dibangun yaitu program makan bergizi gratis bukanlah sekadar menyediakan makanan bagi penerima, melainkan harus ditopang dari sistem pangan yang resilien dan berkelanjutan. Sistem pangan yang tangguh mampu mengatasi tantangan seperti perubahan iklim, fluktuasi harga, hingga gangguan rantai pasok. Sistem pangan yang tangguh juga dapat meminimalkan susut dan sisa pangan, yang sering kali terjadi dari pra produksi hingga pasca konsumsi. Dengan mengurangi kehilangan ini, Indonesia tidak hanya dapat memastikan kelancaran program makan bergizi, tetapi juga mengoptimalkan penggunaan besarnya sumber daya yang dialokasikan.

Tidak hanya itu, sebanyak 8 hingga 10 persen dari emisi gas rumah kaca global berasal dari susut dan sisa pangan. Di Indonesia, susut dan sisa pangan menyumbang 7,29 persen dari total emisi GRK. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanpa upaya serius untuk mengurangi susut dan sisa pangan, implementasi program makan bergizi gratis di Indonesia juga justru berpotensi memperburuk krisis iklim.

Selain manfaat langsung bagi penerima, program bergizi gratis diyakini juga dapat menciptakan permintaan yang mendorong produksi pangan di dalam negeri. Ketika dirancang dengan baik dan didukung oleh kerangka kebijakan serta regulasi yang memadai, program ini dapat mendorong penerapan praktik produksi berkelanjutan, memperluas keragaman pangan lokal, serta menciptakan manfaat sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

Banyak negara telah membuktikan bahwa program pemberian makan dapat mendorong pengembangan pertanian lokal, dengan kebijakan yang relevan sebagai pendukung. Contohnya di Afrika, program makan untuk siswa disana telah mengintegrasikan kebijakan pertanian dengan fokus pada agrodiversitas yang adaptif terhadap iklim. Program tersebut turut menjadi katalis bagi praktik pertanian regeneratif yang bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Perlu Lebih Berhati-hati

Belum lama ini terjadi insiden terkait kualitas makanan yang didistribusikan selama fase percontohan program di Jawa Timur. Dalam kasus tersebut, beberapa siswa sekolah dasar di Kabupaten Nganjuk mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program makan bergizi gratis. Situasi ini mengingatkan pada insiden tragis di Bihar, India, pada 2013, di mana 23 siswa meninggal akibat makanan terkontaminasi dalam program makan siswa di sekolah.

Sistem manajemen distribusi yang tidak memadai menjadi penyebab utama penurunan kualitas makanan, terutama karena rantai pasokan yang terlalu panjang. Hal ini mengakibatkan makanan yang didistribusikan rentan rusak dan tidak layak konsumsi, yang pada akhirnya membahayakan penerima. Di sisi lain, jika makanan tersebut tidak didistribusikan, maka hanya akan terbuang sia-sia. Situasi ini menegaskan kembali pentingnya sistem pangan yang resilien dan berkelanjutan untuk memastikan program makan bergizi gratis berjalan efektif dan aman bagi masyarakat.

Dengan meningkatnya perhatian terhadap program makan bergizi gratis, penting agar turut dijadikan momentum untuk memperbaiki sistem pangan secara holistik. Perspektif ini ada baiknya muncul dalam 100 hari pertama kerja Presiden Prabowo, agar program makan bergizi gratis tidak hanya memenuhi target jangka pendek, tetapi juga turut membangun fondasi yang kuat untuk keberlanjutan pangan di masa depan.

Dian Yuanita Wulandari pemerhati sosial dan ekonomi pertanian

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial