Jakarta -
Hari ini, 20 Oktober 2024, sirkulasi pemerintahan di Indonesia akan mulai berjalan. Pesta demokrasi elektoral telah memberikan mandat kepada Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden.
Dinamika dan konstelasi politik yang terjadi sebelum maupun setelah pilpres memberikan warna baru bagi Indonesia. Mulai dari isu dinasti politik hingga rekonsiliasi pascapilpres yang menjadi magnet bagi partai oposisi untuk merapat ke pemerintahan menjadi wajah dari demokrasi Indonesia.
Namun, isu yang fundamental dan penting untuk dianalisis adalah bagaimana Prabowo berdiri dalam posisi dilematis. Antara mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui "zaken kabinet" atau merangkul partai politik sebanyak-banyaknya melalui politik akomodatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini sudah dapat dilihat dari Prabowo yang memanggil puluhan calon menteri dan wakil menteri ke Kartanegara. Terlihat beberapa nama-nama besar dari partai politik, seperti AHY (Demokrat), Muhaimin Iskandar (PKB), Bahlil Lahadalia (Golkar), dan Yusril Ihza Mahendra (PBB).
Namun, hanya terlihat sedikit nama-nama yang berasal dari profesional atau teknokrat. Di antaranya adalah Widiyati Putri Wardhana, Arifatul Khoiri, Yassierli, Natalius Pigai, Satrio Brodjonegoro, dan Dudy Purwagandhi.
Di atas kertas
Istilah "zaken kabinet" cukup populer diperbincangkan dalam diskursus publik selaras dengan adanya demokratisasi ide dalam sistem pemerintah. Demokratisasi ide berarti pemerintah dan publik memiliki jembatan deliberasi yang simetris untuk menyampaikan ide, saran, serta kritik.
Dalam konteks ini, zaken kabinet mencerminkan tata kelola pemerintahan yang bersumber pada sistem meritokrasi. Artinya, jabatan publik harus didasarkan pada penilaian objektif dan berbasis pada prestasi dan kapabilitas.
Di atas kertas, mewujudkan zaken kabinet harusnya mudah dilakukan oleh negara yang menganut sistem presidensial seperti Indonesia. Tetapi, pertimbangan dan kalkulasi politik juga menjadi variabel yang menghambat proses pembentukan zaken kabinet.
Menurut Frank Vibert (2007) dalam buku The Rise of the Unelected: Democracy and the New Separation of Powers, pergeseran demokrasi tradisional ke demokrasi modern ditandai dengan legitimasi serta pengaruh dari institusi teknokratis dalam tata pemerintahan.
Artinya, politisi yang menjabat di kursi pemerintahan akan kehilangan otoritas dan legitimasinya akibat institusi teknokratis, seperti badan regulator, bank sentral, pengadilan, dan NGO. Dikarenakan, publik merasa bergantung dengan institusi teknokratis dan melemahkan kepercayaan kepada pemerintah.
Hal tersebut merupakan implikasi logis ketika para teknokrat dan akademisi yang memiliki kapabilitas dimusuhi oleh negara. Akibatnya, fungsi negara dalam konteks eksekutif dan strategis gagal dijalankan dengan baik.
Oleh karena itu, melibatkan para teknokrat dan akademisi ke dalam posisi strategis di pemerintahan adalah kunci untuk mewujudkan zaken kabinet. Serta, secara linier, akan berbanding lurus dengan kinerja pemerintahan yang optimal.
Politik akomodatif
Tren politik akomodatif yang menyisakan satu atau dua partai politik di luar kekuasaan mulai diterapkan oleh Jokowi pada periode ke-2. Pada saat itu, hanya PKS dan Demokrat yang secara posisi politik menyatakan sebagai oposisi.
Skema ini terbukti berhasil untuk menjaga stabilitas politik di pemerintahan maupun di parlemen. Sebab, tidak ada resistensi politik yang ekstrem dari PKS dan Demokrat. Mengingat, mayoritas suara di parlemen dipenuhi oleh koalisi pemerintah.
Walaupun begitu, Jokowi harus mengalami dampak dari politik akomodatif yang dilakukan olehnya. Di mana beberapa menteri di kabinet-nya bukan berasal dari para ahli yang memiliki kemampuan di bidang tertentu.
Bahkan, beberapa posisi menteri terkesan menjadi "hadiah" bagi partai politik maupun organisasi tertentu yang telah mendukungnya dalam konteks politik. Misalnya, Zulkifli Hasan (PAN) yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan, AHY (Demokrat) sebagai Menteri ATR/BPN, hingga Budi Arie Setiadi (Projo) sebagai Menteri Kominfo.
Pertanyaannya, apakah Prabowo akan mengulangi skema politik akomodatif yang sama dengan Jokowi? Atau, berani untuk melakukan gebrakan dengan menyusun kabinet dengan menteri yang berasal dari para ahli, teknokrat, akademisi, dan profesional?
Menyeimbangkan
Dilema Prabowo yang mempertimbangkan antara zaken kabinet dan politik akomodatif dapat diselesaikan melalui sebuah "sintesis", yaitu memberikan syarat dan standar (kualifikasi) tertentu bagi partai politik yang akan mengirimkan kadernya ke dalam pemerintahan.
Misalnya, untuk Menteri Kominfo, maka calon menteri yang dikirimkan oleh partai politik harus memiliki wawasan dan pengalaman di bidang tersebut. Ataupun, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga harus berasal dari latar belakang di bidang pendidikan.
Dengan hal ini, maka Prabowo dapat tetap menjalankan zaken kabinet dan melakukan politik akomodatif pada waktu yang bersamaan. Secara komparatif, skema ini juga mempertebal perbedaan dengan Jokowi yang cenderung mengabaikan syarat dan standar (kualifikasi) bagi calon menteri.
Walaupun begitu, politik sangat dinamis dan menyusun kabinet pemerintahan adalah hak prerogatif Prabowo. Pertanyaannya, apakah Prabowo mampu menyeimbangkan aspek "kabinet ahli" dan "akomodasi politik" secara simultan? Kita lihat beberapa hari ke depan.
Rafi Aufa Mawardi asisten dosen dan peneliti di Departemen Sosiologi Universitas Airlangga
(mmu/mmu)