Jakarta -
Membayangkan sebuah negara di mana semua anak bisa menikmati makanan bergizi tanpa bingung soal biaya. Itulah janji manis dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Biarpun terdengar mulia, apa kita siap menghadapi tantangan yang ada? Program ini tujuannya untuk memastikan setiap warga, bahkan yang rentan, mendapat asupan gizi cukup—bukan cuma sekadar mengenyangkan perut, tetapi juga membangun generasi yang sehat dan cerdas.
Sasaran program ini mencakup empat kelompok: peserta didik dari PAUD hingga SMA, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Dengan cakupan seluas ini, pemerintah harapannya bisa mengatasi varian masalah gizi yang membayangi Indonesia, termasuk stunting yang menempatkan Indonesia di posisi ke-115 dari 151 negara di dunia.
Angka 82,9 juta jiwa pada 2029 bukan tanpa data; itu merupakan harapan jutaan keluarga Indonesia untuk masa depan yang lebih baik. Walau, jalannya tak semudah itu. Program ini dimulai dengan 600.000 penerima pada Januari 2025 dan berkembang secara bertahap. Meski begitu, angka awal ini jauh dari target 3 juta anak dalam tiga bulan pertama yang dicanangkan Badan Gizi Nasional. Hal ini mengundang tanya: apa program ini terlalu ambisius atau justru kurang persiapan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rp 71 triliun—angka yang tampak fantastis untuk program pangan. Tapi, apakah itu cukup? Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan menyebut bahwa anggaran ini hanya mencukupi hingga Juni 2025. Untuk menutupi kebutuhan sampai akhir tahun, kita butuh tambahan Rp 140 triliun.
Anggaran yang besar ini punya untung dan rugi. Kejelasannya membuktikan komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah gizi, walau mendorong kekhawatiran tentang beban fiskal negara. Sebaliknya, Kementerian Keuangan menyatakan bahwa program ini tidak akan meningkatkan defisit APBN yang sudah ditetapkan 2,53% pada 2025.
Bekerja Keras
Program MBG diluncurkan pada 6 Januari 2025. Ribuan anak sekolah, ibu hamil, dan balita akhirnya bisa menikmati makanan bergizi tanpa biaya. Peluncuran ini tak cuma acara seremoni. Dari balik layarnya, ribuan orang bekerja keras menyiapkan 190 dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh negeri. Setiap SPPG berkolaborasi dengan ahli gizi untuk memastikan makanan yang disajikan tidak sekadar mengenyangkan, namun juga memenuhi standar gizi.
Walau begitu, sejauh mana kita bisa yakin bahwa semua ini bisa berjalan mulus? Program MBG tak main-main dalam hal lingkupnya. Pada tahap awal, program ini sudah menjangkau 26 dari 38 provinsi di Indonesia. Dari Aceh hingga Papua Selatan, dari kota besar hingga pelosok desa, program ini berusaha menjangkau masyarakat yang paling membutuhkan. Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah titik SPPG terbanyak, mencapai 57 titik yang tersebar di 53 kecamatan.
Ini menunjukkan besarnya skala dan kompleksitas logistik yang dihadapi dalam implementasi program ini. Keberhasilan program sebesar ini tidak lepas dari kolaborasi berbagai pihak. TNI Angkatan Udara, misalnya, tak hanya memberikan bantuan logistik, tetapi juga melibatkan masyarakat setempat dalam operasional dapur. UMKM juga berperan dalam program ini. Komite Inovasi Nasional (KIN) mendorong terlibatnya UMKM dalam rantai pasok MBG, memberi peluang bagi pengusaha lokal untuk berkontribusi dan mengembangkan usaha.
Pada hari pertama peluncuran, program ini berhasil menjangkau 400 hingga 600 ribu penerima manfaat, dengan harapan jumlah ini terus meningkat hingga 3 juta penerima antara Januari hingga April 2025. Di balik angka-angka tersebut, masalah tetap ada—kualitas tetap menjadi prioritas. Kita perlu memastikan bahwa program ini tidak cuma mengejar kuantitas, tapi juga menjaga standar kualitas gizi yang disajikan.
Mengurangi Biaya
Sebelumnya, Istana Negara menyampaikan informasi yang mengejutkan. Presiden Prabowo mengumumkan bahwa program MBG akan mengurangi biaya dari Rp 15.000 menjadi Rp 10.000 per porsi. Masyarakat menanggapi keputusan ini dengan berbagai cara. Banyak orang yang mempertanyakan, meski beberapa orang memakluminya.
"Kita ingin Rp 15.000, tapi kondisi anggaran mungkin Rp 10.000. Kita hitung jumlah makanan yang cukup, berkualitas, dan bergizi untuk wilayah tersebut," ujar Prabowo pada Desember 2024. Meski begitu, banyak pihak meragukan kecukupan anggaran tersebut untuk menyediakan makanan bergizi yang memadai. Dengan anggaran Rp 10.000, pemerintah menghadapi problem untuk menyediakan makanan yang bergizi dan tidak sekadar mengenyangkan.
Fokus semestinya pada pangan hewani seperti susu, telur, ikan, daging, dan ayam, khususnya untuk ibu hamil dan balita. Faktanya, di beberapa daerah, Rp 10.000 hanya cukup untuk membeli nasi dan lauk sederhana seperti telur atau tempe, tanpa protein hewani yang memadai. Hal ini mengundang kebingungan akan kecukupan gizi, lebih-lebih bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan ibu hamil.
Kebutuhan Gizi Seimbang
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2019, Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk orang dewasa rata-rata 2.100 kalori per hari. Rinciannya meliputi 56-62 gram protein, 325-394 gram karbohidrat, dan 44-78 gram lemak. Tergantung pada usia dan jenis kelamin, kebutuhan anak-anak dan remaja berbeda.
Melihat standar AKG, ahli gizi punya pandangan kritis tentang menu dengan anggaran Rp 10.000. Ali Khomsan, ahli gizi dari IPB University, menegaskan bahwa sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi seimbang, terlebih bagi anak-anak dan ibu hamil. Seharusnya pada pangan hewani seperti susu, telur, ikan, daging, dan ayam, kata Khomsan. Namun, dengan Rp 10.000, sulit untuk menyajikan lauk-lauk tersebut dalam satu porsi.
Anggaran Rp 10.000 jelas tidak cukup untuk memberantas stunting, karena kandungan gizi yang dihasilkan kurang memadai. Hal ini juga membikin penyedia makanan tertekan. Menariknya, meski dengan anggaran yang sama, variasi menu di berbagai daerah beragam. Di Tangerang, Rp 10.000 hanya bisa membeli nasi dengan lauk telur atau usus ayam, tempe, dan sayur. Sementara di Semarang, Medan, dan Gorontalo, menunya lebih beragam dengan adanya ikan dan udang.
Namun, di Jayapura, Papua, Rp 10.000 hanya cukup untuk nasi, sayur, tempe, dan tahu atau kerupuk. Sri Iriyanti, Ketua Jurusan Gizi Poltekes Jayapura, menilai bahwa di Jayapura, makanan gizi seimbang minimal membutuhkan Rp 20.000 per porsi.
Variasi menu ini juga terlihat dalam implementasi program MBG di berbagai daerah. Di Jakarta Timur, menu yang disajikan adalah ayam teriyaki, tumis buncis, nasi putih, dan buah pisang. Sementara di Palembang, menu yang disediakan terdiri dari tahu, tempe, sempolan isi ayam, sayuran, dan buah pisang. Meski beragam, taksirannya tetap sama: apakah variasi menu ini sudah memenuhi standar gizi yang dibutuhkan?
Lembaga IDEAS pada 2024 melakukan simulasi yang menampakkan bahwa biaya rata-rata untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam satu porsi makanan seimbang berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 30.000. Angka ini jauh di atas anggaran yang ditetapkan pemerintah.
Merealisasikan Janji Kampanye
Program MBG yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah jadi sorotan publik sejak masa kampanye. Janji ini akhirnya terwujud, hanya 79 hari setelah dilantik. Implementasi program ini memastikan tekad pemerintah untuk segera merealisasikan janji kampanye.
Secara politik, program MBG telah berhasil meningkatkan trust publik pada pemerintahan Prabowo-Gibran. Survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2024 menampilkan bahwa 77,6% masyarakat mendukung program ini. Bahkan, 65,5% responden percaya bahwa program tersebut akan memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dan 66,1% yakin program itu bisa membantu mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia.
Dari segi sosial, program ini tak cuma berdampak pada penerima manfaat langsung, tapi juga pada rantai pasok pangan dan ekonomi lokal. Keterlibatan petani, UMKM, dan berbagai pihak dalam penyediaan bahan pangan telah menciptakan efek domino positif terhadap perekonomian.
Program MBG mendapat dukungan luas, sebaliknya juga menghadapi beragam kritik. Beberapa siswa mengeluh kualitas makanan yang kadang tidak sesuai standar gizi, transparansi penggunaan dana yang masih dipertanyakan, serta waktu pengantaran yang sering mepet dengan jam pulang sekolah. Selain itu, menu yang kurang bervariasi membuat sejumlah siswa tidak terlalu menyukainya. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan agar program ini bisa lebih baik memenuhi kebutuhan siswa.
Di samping itu dukungan pada program MBG sangat penting. Pemerintah bekerja cepat untuk mewujudkan janji kampanye. Program tersebut diawasi ketat oleh berbagai pihak, termasuk ahli gizi dan BPOM, demi memastikan kualitas dan keamanan makanan yang disajikan. Namun begitu, jika program ini tidak dijalankan dengan konsisten, bisa berdampak pada menurunnya dukungan elektoral bagi Presiden Prabowo.
Program MBG merupakan contoh kebijakan populis yang berdampak luas, baik di bidang kesehatan maupun ekonomi dan politik. Keberhasilannya bergantung pada konsistensi implementasi dan kemampuan pemerintah menghadapi problem di lapangan. Seyogianya lewat pendekatan yang tepat, program ini bisa memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.
Heru Wahyudi dosen Program Studi Administrasi Negara Universitas Pamulang
(mmu/mmu)