Jakarta -
"Bos-bos (OPD) kami dipilih partai, Mas. Ya wajar dong kami ikut permainan di Pilkada."
Kalimat itu meluncur dari seorang ASN, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Diucapkan sambil menyeruput kopi di Pardosir--sebuah kafe kecil di salah satu kabupaten di Sumatra Utara.
Saya tidak sedang melebih-lebihkan. Cerita itu mewakili pola yang berulang dalam birokrasi kita, di mana ASN tidak lagi berdiri di posisi netral, melainkan menjadi bagian dari strategi kekuasaan dalam pemilu dan pilkada. Birokrasi tidak benar-benar menjadi korban politik. Namun, justru mereka lebih memilih menjadi pemain dalam politik praktis, yang dampaknya akan berisiko pada posisi jabatan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, ketika kabar soal revisi UU ASN mulai berembus, sebagian masyarakat langsung menaruh 'curiga'. Apakah ini betul-betul untuk memperkuat reformasi birokrasi? Atau justru jalan pintas elite politik untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya menuju Pemilu 2029?
Dua Sudut Pandangan
Draf revisi tertanggal 5 Mei 2025, yang disusun Badan Keahlian DPR (BKD), memberikan pemerintah pusat kewenangan lebih besar untuk memutasi ASN-termasuk mereka yang duduk di jabatan strategis, baik di kementerian maupun di daerah. Salah satu pasal krusial yang diubah adalah Pasal 29 ayat (2), yang memperluas ruang gerak pusat dalam urusan perpindahan dan penempatan ASN (Kompas, 12/05).
Perdebatan pun mengeras. Di satu sisi, ada kelompok yang menolak revisi karena khawatir membuka kembali pintu politisasi birokrasi, seperti era Orde Baru.
Di sisi lain, ada yang melihat ini sebagai peluang menyelamatkan ASN dari tekanan politik kepala daerah petahana dan membuka jalan karier berbasis kompetensi.
Dari pengalaman saya mendampingi Pilkada 2024 kemarin, ada dua hal paling mencolok. Pertama, betapa mudahnya ASN terseret pusaran politik, seolah netralitas hanya formalitas belaka. Kedua, mereka tampak tidak otonom.
Padahal idealnya, birokrat profesional berdiri di atas semua kepentingan. Tapi kenyataannya, partai politik justru lebih menentukan arah birokrasi ketimbang birokrat itu sendiri.
Di banyak daerah, pola yang sama terulang. Termasuk di Buton, Samosir, Situbondo, dan kabupaten-kabupaten lainnya. ASN yang tidak netral, bukan berarti mereka semua mendukung petahana, tapi karena mereka terbagi ke dalam kubu-kubu yang terpolarisasi. Dan sering kali, petahana tetap yang diuntungkan, karena dapat memanfaatkan birokrasi beserta sumberdaya yang melekat padanya.
Saya ambil contoh dari hasil survei PRC (Politika Researc & Consulting di Pilakada Jember, tepatnya November 2024, di mana sebaran elektabilitas calon menunjukkan, 44,4% ASN mendukung petahana Hendi-Balya. Sedangkan untuk kompetitor, Fawaid-Joko, hanya 30,2%. Tidak hanya itu, misalnya juga di Samosir, petahana Vandiko-Ariston unggul 46,9%, lawannya hanya 19,8%.
Artinya, ASN selalu terperangkap dalam kekuasaan pihak yang sedang berkuasa. Tapi yang tragis, terkadang ASN salah membaca peta kekuatan. Salah perhitungan, salah berinvestasi loyalitas. Yang rugi? Bukan cuma mereka sendiri, tapi juga kredibilitas birokrasi.
Perlu Jalan Tengah
Mungkin saya akan memberikan contoh kasus di Pilkada Situbondo tahun 2020, di mana ASN bukan hanya terseret dalam politik dukung-mendukung, tapi juga rentan menjadi korban pasca-pilihan. Salah satu contohnya adalah Pak Marwito-seorang guru sepuh yang dimutasi ke wilayah pegunungan terpencil, jauh dari tempat tinggalnya. Ia telah menjadi korban balas dendam politik, karena dinilai tidak mendukung bupati terpilih pada saat kontestasi berlangsung.
Jika revisi UU ASN menyentuh soal mutasi dan promosi, maka niat itu harus dijalankan dalam semangat profesionalisme, bukan sebagai alat kontrol baru dari pemerintah pusat. Sentralisasi mutasi hanya masuk akal jika digunakan untuk memutus siklus balas dendam kepala daerah terhadap ASN. Seperti yang terjadi di Situbondo tadi.
Namun saya juga tak sepenuhnya sejalan dengan usulan kelompok pertama di atas, yang ingin menghidupkan kembali KASN. Pengalaman menunjukkan, KASN tidak cukup kuat menghadang politisasi birokrasi. Dalam beberapa kasus, KASN justru ikut terseret tarik-menarik kepentingan elite.
Di sini, yang dibutuhkan bukan hanya kelembagaan pengawasan, tapi sistem checks and balances yang benar-benar bekerja.
Akhiri Saja Drama Netralitas
Lebih mendasar dari itu, kita harus mulai membayangkan birokrasi sebagai kekuatan otonom. Bukan kaki tangan partai, bukan korban politik, tapi aktor profesional yang mendistribusikan pelayanan berdasarkan kebutuhan warga-bukan loyalitas politik kekuasaan.
Jika komitmen itu tak bisa ditegakkan, maka mari berhenti pura-pura. Sekalian saja ubah pasal netralitas ASN. Izinkan ASN terlibat politik secara terbuka-asal transparan dan akuntabel. Gimana? Setidaknya, kita tidak hidup dalam kepura-puraan bahwa ASN itu steril dari politik, padahal praktiknya tidak demikian.
Selama ini, yang kita punya adalah ASN yang bermain politik secara diam-diam, main mata, bisik-bisik, membentuk loyalitas yang terselubung. Larangan berpolitik tidak membuat mereka bersih, hanya membuatnya sulit diawasi. Akhirnya, narasi atau aturan yang ada justru hanya sebatas hipokrisi dan transaksi.
Keterbukaan bisa jadi jalan keluar. Biarkan ASN ikut politik, asal tunduk pada aturan, wajib mundur dari jabatan, tidak pakai fasilitas negara, dan patuh pada etika publik. Setidaknya, kita tahu siapa berpihak ke siapa. Dan itu bisa jadi awal membangun sistem yang lebih jujur.
Kini ujung pena itu ada di tangan pemerintah dan DPR. Apakah revisi UU ASN akan melindungi ASN dari kuasa lokal yang semena-mena? Atau malah membuka jalan baru bagi pusat mengendalikan birokrasi? Kita harus jujur, meski dalam politik mencari kejujuran itu seperti mencari es cincau tengah malam di kampung saya.
Satu hal yang pasti, jika kita terus memaksa birokrasi netral dalam situasi politik yang tidak netral, kita hanya akan mengulang lingkaran yang sama-ASN tetap bermain politik, meskipun diam-diam. Dengan risiko yang jauh lebih besar.
Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan narasi yang ingin dipertegas, bahwa demokrasi yang matang bukan yang pura-pura steril dari politik, tapi yang berani mengatur keterlibatan secara terbuka, adil, dan bertanggung jawab.
Nurul Fatta. Konsultan Politik di Politika Research & Consulting (PRC).
(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini