Pahlawan Arang

6 hours ago 2

Jakarta -

Seandainya negara ini adalah sebuah teater api yang sedang terbakar, maka para petugas damkar adalah figuran tragis yang kita harapkan muncul sebagai dewa penyelamat, tapi dibayar seperti pemain latar. Mereka diharapkan memiliki nyali seperti Gatotkaca, stamina seperti Bhima, tapi dihargai seperti punakawan yang tugasnya hanya melawak di sela-sela adegan serius.

Tiap, 4 Mei, kita merayakan Hari Pemadam Kebakaran Internasional. Meriah di media sosial. Bertagar. Berfoto dengan mobil merah. Berpose gagah. Lalu besok, kita kembali mengabaikan mereka. Seperti adegan film yang dipotong ketika kredit judul mulai bergulir. Penonton sudah bubar. Padahal cerita sebenarnya belum selesai.

Mereka hidup di antara dua api: api yang mereka padamkan dan api dalam perut yang harus mereka tenangkan dengan gaji pas-pasan. Kepahlawanan yang dibayar murah. Nyawa yang dihargai sekadarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Data Kementerian Dalam Negeri mencatat, Indonesia memiliki rasio 1 petugas damkar untuk 12.500 penduduk. Jauh dari standar internasional yang menetapkan ideal 1:8.000. Di Jakarta, ibukota negara, rasionya sedikit lebih baik: 1:10.000. Tapi tetap saja, seperti mengandalkan satu ember air untuk memadamkan kebakaran seukuran lapangan bola.

Mobil pemadam kita pun seperti aktor uzur yang dipaksa main film laga. Berdasarkan data Asosiasi Pemadam Kebakaran Indonesia (APKI), 40% armada pemadam di Indonesia berusia di atas 10 tahun. Bayangkan, menyerahkan tugas penyelamatan pada kendaraan yang seharusnya sudah pensiun. Seperti wayang kulit yang dimainkan untuk memerangi api sungguhan.

Suatu kali, saya mewawancarai Pak Dirman, komandan regu damkar di sebuah kota kecil. "Kami seperti dokter UGD yang kekurangan obat," katanya sambil tersenyum getir. "Bedanya, pasien kami adalah bangunan, dan kematiannya berarti kehancuran total." Ia menunjukkan selang air yang sudah tambalan di sana-sini. Seperti infus bocor yang dipaksakan untuk pasien kritis.

Ironi yang memiriskan. Dalam drama yang disutradarai kehidupan, mereka adalah pemeran utama yang honornya dibayar seperti figuran.

Studi Journal of Fire Safety Science tahun 2022 menyebutkan bahwa risiko kematian petugas damkar 3,5 kali lebih tinggi dibanding profesi berbahaya lainnya. Mereka tidak hanya menghadapi api, tapi juga asap beracun, bangunan runtuh, ledakan gas, hingga trauma psikologis menyaksikan kematian. Partikel mikro dari asap kebakaran meningkatkan risiko kanker paru-paru 15% lebih tinggi dibanding rata-rata populasi.

Tapi anehnya, gaji mereka tidak sebanding dengan risiko. Survei penggajian sektor publik 2023 mencatat rata-rata penghasilan petugas damkar di Indonesia berkisar Rp 3-4,5 juta per bulan. Bandingkan dengan Singapura yang menggaji petugas damkar setara Rp 15-20 juta, atau Australia yang memberi kompensasi setara Rp 30-40 juta perbulan.

Kadang saya membayangkan, bagaimana jika mereka berpikir seperti kita: transaksional. Apakah mereka akan berkata, "Maaf, saya tidak bisa memadamkan kebakaran di rumah Anda karena gaji saya bulan ini dipotong untuk arisan kantor." Atau, "Mohon tunggu, saya hitung dulu berapa kalori yang akan terbakar dalam penyelamatan ini dan apakah sebanding dengan energi yang saya keluarkan."

Syukurlah, mereka tidak berpikir seperti itu. Tidak seperti politisi yang menghitung berapa suara yang akan didapat dari setiap kebijakan. Tidak seperti selebritis yang menghitung berapa followers bertambah dari setiap postingan. Tidak seperti kita yang menghitung berapa like dari setiap update status.

Dulu, ketika masih kecil, saya dan teman-teman sering bermain "damkar-damkaran". Kami berebut menjadi sopir mobil merah. Kami senang menirukan bunyi sirine. Kami bangga memakai topi plastik merah. Kami merasa seperti pahlawan. Tapi kemudian kami tumbuh dewasa dan memilih jadi banker, dokter, pengacara, insinyur—apa saja selain damkar. Karena ternyata, masyarakat kita hanya mengagumi pahlawan dalam imajinasi, bukan dalam keseharian.

Sementara itu, di belakang panggung kehidupan, mereka tetap siaga. Menunggu panggilan. Bersiap melompat ke dalam kobaran api. Melawan insting dasar manusia yang menyuruh lari menjauh, bukan masuk ke dalam bahaya.

Tahun lalu, saya pernah lihat dalam suatu tayangan ketika kebakaran melanda kompleks perumahan, para petugas damkar datang dalam waktu 18 menit. Tentu saja masyarakat mencibir: "Lama sekali! Kalau cepat, rumahnya masih bisa diselamatkan!" Mereka tidak tahu bahwa pos damkar berjarak 7 kilometer dari lokasi, melewati kemacetan parah, dengan armada yang terbatas. Seandainya mereka bisa teleportasi seperti dalam film fiksi ilmiah, tentu mereka akan melakukannya.

Jurnal Fire Service Management terbitan 2023 mencatat bahwa Indonesia memiliki 12.900 petugas damkar aktif untuk melayani 274 juta penduduk. Setiap petugas rata-rata menangani 52 kasus kebakaran per tahun—nyaris setiap minggu mereka mempertaruhkan nyawa. Sementara anggaran untuk pelatihan dan peremajaan alat hanya 0,2% dari APBN. Seperti mengharapkan kemenangan Piala Dunia dengan anggaran tim kampung.

Dalam panggung sandiwara nasional kita, para petugas damkar adalah aktor figuran yang ironis: mereka hanya tampil sebentar di panggung perhatian publik, tapi tanpa mereka, seluruh teater bisa hangus terbakar beserta seluruh pemain utamanya.

Besok, setelah hashtag #HariPemadamKebakaran menghilang dari trending topic, setelah foto-foto heroik hilang dari timeline, setelah berita-berita mengharukan tenggelam dalam pusaran informasi, mereka tetap akan siaga. Seperti punakawan yang tetap setia meski tidak pernah mendapat sorotan utama.

Pertanyaannya adalah: sampai kapan kita memperlakukan pahlawan kita seperti figuran dalam film yang kita tonton? Sampai kapan kita hanya mengingat mereka saat api berkobar, lalu melupakannya ketika semua kembali normal? Dan yang paling penting, apakah kita juga ikut bersalah dalam drama pengabaian ini?

Saya tidak punya jawaban yang memuaskan. Tapi seperti kata Pak Dirman, si komandan damkar itu: "Kami tidak butuh tepuk tangan. Kami hanya butuh peralatan yang layak, gaji yang memadai, dan sedikit pengertian ketika kami terlambat datang. Kami juga manusia, bukan pemadam keajaiban."

*Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.

(jat/jat)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial