Jakarta -
Konflik India-Pakistan di wilayah Kashmir memang bukan babak baru. Sejak 1947, perebutan atas wilayah itu sudah memicu tiga perang terbuka dan banyak bentrokan kecil. Namun, eskalasi terbaru ini datang dengan resonansi geopolitik yang berbeda: muncul hanya berselang dua minggu setelah pertemuan strategis antara Menhan India dan pejabat tinggi Pentagon di Washington.
Kashmir menjadi kartu yang disembunyikan dalam diplomasi bilateral antara kedua negara yang tidak dapat sekalipun ditengahi oleh organisasi regional Asia Selatan yakni SAARC, dan kini kembali menjadi titik api yang bisa mengubah arsitektur kawasan Indo-Pasifik. Indonesia, sebagai negara yang pernah mengalami konflik internal, paham betul bahwa perdamaian tidak selalu lahir dari dominasi, tetapi dari kesediaan untuk membangun ruang perundingan yang setara. Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam mengatasi ketegangan domestik dan mampu menawarkan perspektif konstruktif bagi perdamaian global.
Ketegangan Indo-Pasifik Pascakonflik
Eskalasi di Kashmir terjadi di tengah upaya konsolidasi narasi Indo-Pasifik yang selama ini dikampanyekan sebagai kawasan stabil, bebas, dan terbuka. Namun, kawasan ini sedang diseret dalam tarik-menarik blok keamanan: India dan AS di satu sisi, Tiongkok dan sekutunya di sisi lain. India semakin terintegrasi ke dalam Quad, pakta strategis bersama Jepang, AS, dan Australia. Sementara itu, Pakistan lebih condong ke Tiongkok yang telah menjadi mitra strategis mereka. Ketegangan ini berisiko mengarah pada pembentukan kutub baru dalam politik global, di mana kawasan Indo-Pasifik bisa terpecah dalam dua blok besar.
Kawasan Indo-Pasifik adalah jalur perdagangan vital, terutama Selat Malaka, yang dilalui sekitar 40% perdagangan dunia. Konflik terbuka, meskipun terbatas pada kawasan, dapat mengganggu pasokan energi dan barang, yang akan berdampak langsung pada ekonomi Indonesia. Menurut data terbaru dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), 60% pasokan energi global melalui Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan utama dunia. Gangguan terhadap kestabilan di wilayah ini dapat merembet ke ekonomi Indonesia, memengaruhi harga energi, serta ketersediaan barang dan pangan yang kita konsumsi setiap hari.
Ujian Politik Bebas Aktif Sugiono
Deklarasi Menlu Sugiono tentang politik luar negeri bebas-aktif seharusnya tidak berhenti pada seremonial diplomatik. Perang di Kashmir adalah momen penting untuk menunjukkan bahwa prinsip tersebut adalah kebijakan yang hidup dan bekerja. Indonesia selama ini menikmati kepercayaan sebagai negara yang netral namun dihormati. Kita punya modal sejarah sebagai pelopor Gerakan Non-Blok, dan kini dipercaya dalam berbagai forum Global South. Namun, kredibilitas ini bisa luntur bila tidak diiringi tindakan nyata. Negara-negara besar seringkali berjuang dalam mempertahankan pengaruh mereka, baik dalam hal ekonomi maupun militer. Dalam hal ini, Indonesia tidak hanya dituntut untuk bertindak secara pragmatis, tetapi juga berperan dalam menjaga keseimbangan Internasional dengan cara mendorong perdamaian dan keadilan global.
Indonesia dapat mendorong mediasi melalui saluran diplomatik ASEAN–SAARC, atau membuka ruang dialog Track II yang melibatkan akademisi dan tokoh agama dari kedua negara. Mengambil pendekatan ini akan memberikan perspektif baru dalam penyelesaian konflik, dengan mengutamakan dialog dan bukan kekuatan militer. Indonesia bisa juga memperkenalkan inisiatif kemanusiaan, seperti bantuan kepada pengungsi sipil yang menjadi korban kekerasan di Kashmir. Inisiatif semacam ini dapat menjadi titik awal dari langkah diplomatik yang lebih besar, dengan membuka ruang bagi keterlibatan negara-negara netral lainnya dalam mengusahakan perdamaian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menolak Bungkam, Membangun Sikap
Indonesia tidak harus berpihak, tetapi harus bersikap. Di tengah dunia yang semakin multipolar namun penuh rivalitas, posisi netral tidak bisa menjadi alasan untuk diam. Justru dalam kekosongan suara-suara alternatif dari negara-negara kecil dan menengah, Indonesia punya peluang besar untuk tampil sebagai penyeimbang, bukan penonton. Politik luar negeri bebas-aktif bukan hanya menghindari konflik, tetapi berperan aktif dalam menciptakan solusi perdamaian. Indonesia harus melihat ini sebagai kesempatan untuk berperan dalam menciptakan stabilitas yang lebih besar di kawasan ini.
Karena itu, ini bukan hanya soal India dan Pakistan. Ini soal masa depan arsitektur perdamaian Asia, dan apakah Indonesia berani mengukir peran di dalamnya. Konflik Kashmir adalah ujian besar bagi Indonesia dalam mempertahankan posisinya sebagai negara yang tidak hanya menjaga kedamaian domestik, tetapi juga berkontribusi pada perdamaian dunia.
Indonesia Harus Ambil Peran
Indonesia menghadapi ketidakpastian akibat ketegangan yang timbul dari konflik antara India dan Pakistan di Kashmir, yang memperburuk kerentanannya di kawasan Asia Selatan. Ketegangan ini berpotensi mengguncang stabilitas kawasan dan berimbas pada Indonesia, mengingat peran strategis negara ini dalam keamanan regional dan jalur perdagangan global. Indonesia harus memperkuat diplomasi aktif untuk mengantisipasi dampak konflik ini, yang dapat menggoyahkan stabilitas ekonomi dan mengancam pembangunan masa depan. Politik luar negeri bebas-aktif harus lebih dari sekadar menghindari konflik karena semata-mata meraih keuntungan ekonomi belaka; Indonesia harus berani berperan aktif dalam menciptakan perdamaian yang adil dan berkelanjutan, memanfaatkan posisinya untuk memediasi konflik di Asia Selatan antara India dengan Pakistan. Damailah lekas.
Penulis Dosen Hubungan Internasional Fisip - Unair, Surabaya
(jat/jat)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini