Konflik India-Pakistan Berisiko Picu Islamofobia dan Ketegangan Antaragama

3 hours ago 2

Jakarta -

Kamis (08/05), Menteri Luar Negeri India, Vikram Misri, menyampaikan pernyataan resmi terkait serangan mematikan di kota Pahalgam. Dalam pidatonya di New Delhi, Misri menyatakan bahwa salah satu tujuan para pelaku serangan adalah "memprovokasi perselisihan komunal, baik di Jammu dan Kashmir maupun di seluruh wilayah India."

Sebelumnya, pada 22 April, kelompok militan Islamis membunuh 26 warga sipil di wilayah Kashmir yang dikuasai India. Sebagian besar korban ditembak mati di hadapan anggota keluarga mereka setelah ditanyai mengenai identitas agama, apakah mereka beragama Islam atau Hindu.

Dalam pernyataan tersebut, Misri didampingi oleh Kolonel Sophia Qureshi yang merupakan seorang Muslim, dan Komandan Sayap Vyomika Singh, pemeluk agama Hindu. Kehadiran ketiganya mencerminkan simbol persatuan lintas agama, gender, dan lembaga negara, antara militer dan pemerintahan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi ketika Misri menyampaikan, "pemerintah dan rakyat India patut dipuji karena rencana-rencana ini berhasil digagalkan," kata-katanya tersebut dapat dipercaya. Namun, ada juga kenyataan yang berbeda.

Ujaran kebencian makin meradang

Pemerintah India menyalahkan Pakistan atas dukungan terhadap aktivitas teror lintas batas. Akibatnya, sentimen anti-Muslim meningkat tajam, sering kali dipicu oleh akun media sosial berhaluan ultranasionalis yang menyebut Muslim India sebagai "penyusup" atau "pengkhianat."

Vishva Hindu Parishad (VHP), sebuah organisasi nasionalis Hindu beraliran kanan, mengeluarkan pernyataan yang mendesak pemerintah untuk mengusir "warga negara Pakistan dan jaringan sleeper cells (kelompok atau individu yang tergabung dalam jaringan teroris atau mata-mata dan menyamar sebagai warga biasa dalam kehidupan sehari-hari) mereka."

Pemimpin VHP, Surendra Jain, menyatakan bahwa "dari insiden ini jelas terlihat bahwa para teroris pasti memiliki agama tertentu," demikian dikutip oleh media lokal. Hingga kini, VHP belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar dari DW.

Kebencian yang menyebar di dunia maya juga merembet ke dunia nyata. Sebuah toko roti bernama "Karachi Bakery" di kota Hyderabad dirusak oleh sekelompok pengunjuk rasa yang menuntut agar nama toko tersebut diganti, karena Karachi adalah nama kota di Pakistan.

Media lokal melaporkan bahwa beberapa orang didakwa atas insiden tersebut, termasuk anggota Partai Bharatiya Janata (BJP) yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi. Ironisnya, toko roti itu dimiliki oleh keluarga Hindu yang nenek moyangnya bermigrasi dari Karachi ke India pada masa pemisahan India dan Pakistan tahun 1947 setelah berakhirnya pemerintahan kolonial Inggris.

Dalam sepuluh hari setelah serangan di Pahalgam, setidaknya 64 peristiwa ujaran kebencian anti-Muslim tercatat di sembilan negara bagian serta wilayah Jammu dan Kashmir, menurut data yang dihimpun oleh India Hate Lab, sebuah lembaga swadaya masyarakat.

Kekhawatiran akan serangan balasan

Di kota Agra, seorang pemilik warung biryani menjadi korban penembakan sebagai bentuk "pembalasan" atas serangan yang terjadi lebih dari seribu kilometer jauhnya di Pahalgam. Sementara itu, di Aligarh, sekitar tiga jam dari Delhi, seorang anak laki-laki Muslim berusia 15 tahun dilaporkan diserang dan dipaksa buang air kecil di atas bendera Pakistan. Video penyerangan itu beredar luas di media sosial selama beberapa hari.

"Orang-orang mudah terpicu saat membicarakan serangan teroris dan melontarkan komentar bernuansa Islamofobia, dan mereka sering lupa bahwa saya juga ada di sana," ujar Anuj (nama samaran), seorang Muslim India asal Mumbai, kepada DW. Ia juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap keselamatan orang tuanya yang tinggal di sebuah kota di Gujarat.

"Mereka, kelompok berhaluan kanan, menggelar unjuk rasa dengan meneriakkan slogan-slogan anti-Muslim. Orang tua saya khawatir akan situasi yang mungkin terjadi dalam waktu dekat," ujarnya, seraya menambahkan bahwa keluarganya mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan India secara permanen.

Di kota pegunungan Nainital, tujuh jam perjalanan dari Delhi, sebuah protes atas pemerkosaan terhadap anak berusia 12 tahun berubah menjadi bentrokan bernuansa komunal.

"Tersangka pelaku pemerkosaan adalah seorang Muslim. Sekitar pukul lima sampai enam sore pada 1 Mei, masyarakat mulai mendesak agar tindakan segera diambil, dan itu bisa dimengerti. Namun, kelompok berhaluan kanan Hindu segera memanfaatkan momentum itu," jelas Shahid (nama samaran), seorang pengusaha lokal.

Ia menggambarkan bagaimana amarah dari kedua komunitas, Hindu dan Muslim, memicu kekacauan di jalanan. Beberapa toko milik warga Muslim dihancurkan. "Suasana seperti jam malam melanda kawasan pasar selama dua hari. Keluarga saya memohon agar saya tidak pergi bekerja."

"Hingga kini, orang-orang masih membicarakan hal tersebut. Tentang kekerasan, serangan teror, dan konflik India dengan Pakistan. Para tetangga datang dan berkata, 'lihat bagaimana kami berhasil menghancurkan pesawat tak berawak milik Pakistan'," ungkapnya, menambahkan bahwa komentar tersebut, meskipun terdengar biasa, mengandung makna yang menyakitkan. Seolah ingin mengatakan bahwa "rencana komunitasmu telah digagalkan."

Meningkatnya ketegangan antaragama

Konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan yang memperuncing kebencian terhadap kelompok minoritas bukanlah hal baru. Namun, skala insiden yang terjadi setelah serangan di Pahalgam dinilai "belum pernah terjadi sebelumnya," menurut Ghazala Wahab, editor majalah keamanan nasional Force.

"Ada perbedaan besar antara pemerintahan saat ini dengan pemerintahan sebelumnya. Kami pernah mengalami perang pada tahun 1965 dan 1971, dan kemudian konflik berkepanjangan di Siachen. Namun, komunikasi antarkelompok masyarakat tetap berjalan. Hal itu tidak terjadi saat ini," katanya kepada DW.

Setelah pembunuhan yang terjadi pada 22 April, India menutup perbatasannya dengan Pakistan dan membatalkan semua visa yang telah dikeluarkan untuk warga negara Pakistan. Aktivitas perjalanan dan perdagangan dihentikan.

"Dahulu, kekerasan bersifat sporadis dan dilakukan oleh elemen-elemen ekstremis di pinggiran. Misalnya pada 1991, kelompok sayap kanan menggali lapangan kriket di Stadion Wankhede, Mumbai, menjelang pertandingan antara India dan Pakistan," ujarnya.

"Namun kini, kelompok yang dulu di pinggiran justru menjadi arus utama."

Jurnalis senior Nirupama Subramanian juga menyampaikan kepada DW bahwa kelompok sayap kanan semakin berani karena merasa tidak ada konsekuensi atas tindakan mereka. Meski demikian, ia menilai bahwa respons terhadap serangan Pahalgam belum mengarah pada kerusuhan berskala besar.

"Ada tindakan intimidasi, pelecehan, dan kekerasan yang tersebar, tapi tidak sampai memicu kerusuhan massal. Mungkin memang itu yang menjadi tujuan utama dari serangan ini, dan fakta bahwa hal itu tidak terjadi adalah sesuatu yang patut disyukuri," ujarnya.

Seorang juru bicara BJP tidak memberikan komentar ketika dimintai tanggapan oleh DW.

Iklim ketakutan dan ketidakpercayaan

Tanika Sarkar, mantan profesor di Universitas Jawaharlal Nehru dan penulis sejumlah buku mengenai keterkaitan antara politik, agama, dan masyarakat di India, menjelaskan bahwa konflik ini menciptakan luka sosial yang dalam dan reaksioner.

"Perang tidak selalu diterjemahkan ke dalam kekerasan fisik di dalam negeri, tetapi lebih pada memori kolektif, narasi sejarah, dan tuduhan yang menyakitkan. Saya tidak tahu bagaimana situasinya di Pakistan, namun saya kira hal yang sama juga terjadi di sana," jelasnya kepada DW.

Dalam konflik terakhir ini, peran media justru memperkeruh keadaan. Antara 8 hingga 10 Mei, sejumlah saluran berita dengan tingkat pemirsa tertinggi menyiarkan laporan sensasional yang tidak terverifikasi, dan belakangan terbukti tidak benar. Hal ini diperparah dengan pesan-pesan yang beredar luas di platform WhatsApp, menciptakan atmosfer ketakutan di masyarakat.

"Ini adalah situasi di mana Anda tidak dapat memastikan apa yang benar dan apa yang tidak. Dalam kondisi seperti ini, seseorang bisa dengan mudah mulai mencurigai setiap Muslim," ujar Sarkar. Ia menambahkan bahwa rasa takut tersebut melahirkan atmosfer ketakutan yang lebih luas.

""Meskipun serangan ini bukan hal yang biasa, tapi serangan ini menciptakan ketakutan dalam hati setiap Muslim yang tinggal di India."

Catatan: Beberapa nama dalam laporan ini telah diubah sesuai permintaan narasumber.

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Fika Ramadhani

Editor: Melisa Lolindu

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial