Jakarta -
Setelah berminggu-minggu melakukan perundingan di Doha, kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan kelompok militan Hamas diumumkan pada Kamis (16/01). Kesepakatan ini dimediasi oleh Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir.
Perjanjian ini akan menghentikan konflik yang telah berlangsung sejak serangan teror yang dipimpin Hamas di Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan hampir 1.200 orang dan mengakibatkan sekitar 250 orang diculik. Kampanye militer Israel di Gaza yang menyusul serangan tersebut telah menyebabkan lebih dari 46.000 korban jiwa, termasuk sekitar 18.000 anak-anak.
Dalam sebuah konferensi pers pada Rabu (15/01), Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengatakan gencatan senjata tahap pertama akan dimulai pada Minggu (19/01) dan akan berlangsung selama 42 hari. Hamas akan membebaskan 33 dari 98 sandera yang tersisa di Gaza, dan ratusan orang Palestina yang ditahan oleh Israel akan dibebaskan sebagai gantinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjanjian ini juga akan meningkatkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, tambah Al Thani.
Ini bukan kali pertama Qatar terlibat dalam menyelesaikan konflik global. Negara kecil ini sebelumnya telah menegosiasikan pembebasan warga Amerika di Iran, Afghanistan, dan Venezuela, serta memulangkan anak-anak Ukraina yang dibawa ke Rusia.
Qatar juga pernah memainkan peran dalam terobosan diplomatik antara Sudan dan Chad, serta Eritrea dan Djibouti, termasuk kesepakatan damai Darfur 2011.
'Mitra perdamaian'
"Kemunculan Qatar sebagai mediator utama telah meningkatkan posisi diplomatiknya, mengubahnya dari sekadar pemain regional menjadi aktor penting di kancah internasional," kata Burcu Ozcelik, peneliti senior di lembaga pemikir Inggris, Royal United Services Institute, kepada DW. "Peran ini memperkuat pengaruh Doha dan memposisikannya sebagai 'mitra perdamaian' yang sangat diperlukan dalam komunitas global."
Dengan mengambil peran yang lebih besar dalam diplomasi, Qatar berupaya membangun keamanannya secara mandiri di tengah wilayah yang tidak stabil, menurut para analis.
Menempa kebijakan luar negeri sendiri, misalnya dengan memberikan perlindungan kepada para pembangkang serta mendukung kelompok revolusioner dan militan, juga merupakan strategi untuk bersaing dengan saingan tradisionalnya, Uni Emirat Arab, sekaligus menolak tunduk pada pengaruh negara tetangganya yang lebih besar, Arab Saudi. Hal ini diungkapkan oleh peneliti Ali Abo Rezeg dalam makalahnya pada tahun 2021 di jurnal akademis Insight Turkey.
Mengapa Qatar mampu menjadi mediator?
Keberhasilan Qatar dalam mediasi konflik dipengaruhi oleh jaringan hubungan yang luas dan pendekatan pragmatis terhadap berbagai kelompok. Misalnya, Qatar telah menyediakan dukungan bagi kelompok seperti Taliban, Ikhwanul Muslimin di Mesir, serta milisi dan revolusioner di Libya, Suriah, Tunisia, dan Yaman selama apa yang disebut Musim Semi Arab.
Hubungan ekonomi Qatar dengan Iran, yang dianggap musuh oleh banyak negara tetangganya, juga menjadi faktor penting. Selain itu, Qatar telah menjadi tuan rumah pangkalan udara Al-Udeid, markas pasukan AS terbesar di Timur Tengah dengan sekitar 10.000 tentara sejak 2001.
"Qatar jelas mendapatkan keuntungan dari peran ini, karena pemerintah di Barat hingga batas tertentu di Timur, menganggap Qatar sebagai mitra yang sangat berharga," kata Cinzia Bianco, seorang ahli negara-negara Teluk di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa.
Kemampuan untuk berempati dengan semua pihak juga menjadi keunggulan. Para analis menyebutkan bahwa meskipun para pejabat Qatar bekerja erat dengan Amerika Serikat, Qatar cenderung lebih pragmatis terhadap organisasi-organisasi Islamis di wilayah tersebut dan memandang mereka sebagai bagian dari gerakan politik populer yang tidak dapat diabaikan atau dihindari. Dalam beberapa kasus, pendekatan ini terbukti efektif. Anggota Taliban, misalnya, dilaporkan merasa lebih nyaman berada di Qatar, karena mereka percaya negara tersebut memahami perspektif semua pihak. Qatar juga menjaga hubungan dan memfasilitasi kelompok Hamas, yang oleh AS dan abnyak negara di Eropa, termasuk Jerman, dikategorikan sebagai kelompok teroris.
Netralitas menjadi prioritas
Para negosiator Qatar tidak perlu memiliki keahlian khusus, kata Bianco. Mereka dilatih untuk pekerjaan tersebut. "Namun, saya tidak akan mengatakan bahwa mereka lebih unggul dibandingkan diplomat yang bekerja untuk pemerintah lain, termasuk di Eropa," ujarnya. "Saya rasa yang lebih penting adalah sikap mereka untuk berusaha tetap se-netral mungkin. Bagi mereka, memainkan peran ini sangatlah penting, dan itu berarti mereka menempatkannya di atas segalanya, termasuk politik internal dan regional."
Ini juga berkaitan dengan kekayaan Qatar, kata Bianco. Sumber daya negara ini memungkinkan pemerintah untuk menjadi tuan rumah bagi para peserta dan menangani beberapa krisis sekaligus.
Hal ini mungkin juga terkait dengan rantai komando yang lebih pendek. "Kemampuan Kementerian Luar Negeri Qatar untuk mengambil keputusan tanpa dipertanyakan atau diawasi oleh publik memungkinkan kementerian ini untuk bertindak dengan tegas," tulis Sultan Barakat, seorang profesor kebijakan publik di Universitas Hamad Bin Khalifa di Qatar, dalam analisisnya pada Februari di Accord, sebuah publikasi yang secara teratur mengulas prakarsa perdamaian internasional.
Tindakan penyeimbangan yang berbahaya?
Para politisi Israel menuduh Qatar sebagai "serigala berbulu domba" dan mendanai terorisme. Politisi AS juga menyerukan evaluasi ulang hubungan dengan Qatar jika negara tersebut tidak memberikan lebih banyak tekanan pada Hamas. Pada bulan April, senator dari Partai Republik memperkenalkan rancangan undang-undang untuk mencabut status Qatar sebagai sekutu utama non-NATO.
Qatar telah berulang kali menegaskan bahwa mereka tidak memiliki kekuasaan atas Hamas.
"Ketika Anda berinteraksi dengan milisi bersenjata non-negara yang melakukan hal-hal buruk, Anda jelas berisiko dituding dan orang-orang akan mengatakan bahwa, dalam beberapa hal, Anda memberi legitimasi atau akses ke sumber daya bagi kelompok-kelompok ini," kata Bianco.
Dia menjelaskan bahwa argumen Qatar adalah: "Ya, kami memiliki hubungan ini, tetapi kami menggunakannya untuk kebaikan."
Tidak peduli seberapa tidak sempurnanya negara tersebut, para ahli berpendapat bahwa Qatar memainkan peran penting saat ini. "Umat manusia telah membayar mahal karena tidak duduk dan berbicara satu sama lain sebelumnya, selama dua perang dunia," kata Rabih El-Haddad, direktur Divisi Diplomasi Multilateral di Institut Pelatihan dan Penelitian PBB di Swiss, kepada DW.
"Hari ini, kita membutuhkan pihak-pihak yang memungkinkan mereka yang berkonflik untuk berbicara satu sama lain dan menyelesaikan perbedaan mereka melalui negosiasi, diplomasi, dan sesuai dengan hukum internasional," katanya.
Artikel ini diadaptasi dari DW bahasa Inggris.
(ita/ita)