Fransisca Darmawan masih ingat betul saat ia menolak mentah-mentah tawaran seorang agen asuransi untuk membeli produk asuransi kesehatan swasta berplat merah. Perempuan berusia 35 tahun ini merasa tak butuh jaminan kesehatan tambahan yang preminya mahal. Toh, dia sudah memiliki BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan swasta yang iurannya selalu dibayar tepat waktu oleh kantor tempatnya bekerja.
Saban waktu, perempuan yang bekerja sebagai personal assistant di sebuah perusahaan garmen ini pernah merasakan sakit gigi yang tidak tertahankan di bagian belakang mulut. Ia ingin menggunakan BPJS Kesehatan untuk memeriksa kondisi giginya. Namun, dari beberapa kali pengalaman Fransisca menggunakan BPJS, ia harus melewati proses panjang karena harus mendapatkan rujukan dari faskes tingkat 1 terlebih dahulu.
“Biasanya BPJS aku manfaatin kalau obat-obatan di warung udah nggak mempan. Aku ke faskes tingkat 1 di Puskesmas atau dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Itu butuh proses yang nggak sebentar dan mesti antre. Sedangkan waktu itu aku sakit gigi udah nggak tahan, nggak bisa nunggu-nunggu lagi,” ungkap Fransisca kepada detikX.
Dengan menggunakan asuransi kesehatan yang dijamin perusahaan, Fransisca segera pergi menuju salah satu rumah sakit terbaik yang lokasinya berada tidak jauh dari rumah di Jakarta Barat. Fransisca hanya perlu mengeluarkan kartu asuransi, ia langsung masuk ruang tindakan dan dilakukan prosedur operasi pencabutan gigi bungsu yang impaksi. Lega karena sumber penyebab sakitnya sudah tertangani, Fransisca meringis lagi saat tiba di kasir rumah sakit. Ia diminta membayar sejumlah biaya yang tidak ter-cover oleh asuransi swasta dari perusahaannya.
“Biaya operasinya waktu itu hampir Rp 5 juta sama obat-obatan yang harus dibawa pulang. Sementara limit aku di kantor setahun cuma Rp 3 juta. Jadi mesti nalangin sendiri Rp 2 juta,” katanya.
Ketika menggunakan asuransi kesehatan dari kantornya, Fransisca memang diberi keleluasaan untuk memilih rumah sakit terbaik yang sudah bekerjasama dengan provider asuransinya. Tapi jika mengalami kelebihan biaya, Fransisca mesti menanggungnya sendiri. Sering kali Fransisca dibuat was-was jika ada pengobatan yang tidak ditanggung sepenuhnya. “Dilemanya kalau pakai BPJS doang buat sakit yang sifatnya urgent nggak bisa diandalkan, sedangkan kalau pakai asuransi kantor nggak full ditanggung,” imbuh perempuan single ini.
Dalam kondisi itu, Fransisca merasa tidak mendapatkan jaminan kesehatan yang nyaman, dengan pelayanan mumpuni dan menyeluruh. Ia jadi membayangkan jika dirinya terkena penyakit kritis seperti jantung, kanker, stroke ataupun diabetes. Saat sedang mengalami sakit kronis semacam itu, Fransisca berpikir jika dirinya tidak akan bisa mengantri panjang dan menghadapi prosedur administrasi yang merepotkan. Kalau hanya mengandalkan asuransi kantor saja, limit asuransinya tidak akan mencukupi untuk menanggung pengobatan penyakit kritis. Selain itu belum tentu Fransisca akan selamanya bekerja di perusahaan yang memberikannya fasilitas jaminan kesehatan. Kekhawatiran Fransisca semakin menjadi saat mengingat riwayat penyakit kronis yang mengalir di darah keluarganya.
“Mama aku sendiri survivor breast cancer. Bibi aku juga ada yang kondisinya sama. Setelah melihat kondisi kantong sendiri, aku ngerasa masih mampu buat ambil asuransi swasta pribadi. Akhirnya di tahun 2022 kemarin aku ambil asuransi swasta sendiri dengan premi Rp 800 ribu per bulan. Jadi sekarang udah punya tiga, BPJS Kesehatan, asuransi kantor, sama asuransi pribadi,” tuturnya.
Dengan memiliki tiga jenis jaminan kesehatan, Fransisca berharap bisa memproteksi dirinya dengan lebih baik lagi. Ia juga memiliki lebih banyak keleluasaan untuk memilih dan menggunakan jaminan kesehatan yang tepat untuk kondisi dan jenis penyakit yang ia tengah alami. Meski sudah memiliki asuransi pribadi, Fransisca masih menggunakan asuransi kantor dan BPJS Kesehatan untuk menerima manfaat kesehatan yang tidak ditanggung asuransi komersil, seperti perawatan kacamata dan gigi.
“Menurut aku BPJS dan asuransi swasta nggak bisa dibanding-bandingkan, justru keduanya bisa kita pakai manfaatnya buat saling melengkapi. Aku kan juga nggak tahu ke depan kondisi ekonomi aku kayak apa, kalau amit-amit sampai nggak ada kerjaan, nggak bisa bayar premi asuransi, aku masih punya BPJS Kesehatan buat back up plan. Walaupun antrinya lama, tapi masih sangat bermanfaat,” ungkapnya.
Kehadiran BPJS Kesehatan telah banyak membantu masyarakat untuk menikmati layanan kesehatan. Tidak ada lagi istilah tidak berani berobat karena takut tidak mampu bayar atau tidak ada biaya. Walaupun BPJS Kesehatan masih memiliki sejumlah kekurangan, Ryan Akbar beserta istri dan satu orang anaknya merasa sangat terbantu dengan kehadiran jaminan kesehatan melalui program pemerintah ini. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang buah di Pasar Puri Indah ini dapat mendapatkan akses kesehatan dengan premi kecil.
“Kita sekeluarga ambil yang kelas 3 saja sudah cukup. Kalau nggak salah sebulan bayar Rp 35 ribu/orang. Di mana lagi bisa ngerasain berobat gratis yang iurannya terjangkau buat kondisi ekonomi kayak kita gini,” katanya.
Dengan premi kecil, BPJS Kesehatan sudah menanggung ongkos sakit untuk keluarga Ryan. Apalagi fasilitas kesehatan yang didapatkan Ryan melalui BPJS Kesehatan cukup lengkap dibanding asuransi komersil sekalipun. Sangat jarang ditemukan asuransi kesehatan swasta pribadi yang memberikan pertanggungan untuk biaya bersalin, perawatan gigi dan mata. Sementara seluruh biaya itu bisa ditanggung BPJS Kesehatan.
“Tiga tahun lalu anak saya Putra lahirannya juga dibayarin semua pakai BPJS. Termasuk sama biaya konsultasi dan obat-obatan dari dokternya,” ucap Ryan. “Kalau kata orang pakai BPJS malas ngantre, kalau saya nggak masalah, yang penting iurannya murah dan bisa ngegantiin semua biaya kita kalau berobat.”
Sementara Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada tahun 2023 yang merupakan gabungan antara Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) melaporkan sebanyak 27,8 % penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan, baik itu jaminan kesehatan melalui program pemerintah atau swasta. Sekitar 66,4% penduduk sudah memiliki jaminan kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Sisanya mendapatkan jaminan kesehatan daerah, swasta atau tempat kerja.
SKI 2023 juga menunjukkan, provinsi dengan presentase penduduk terbanyak yang belum memiliki jaminan kesehatan di antaranya adalah Papua Pegunungan (55,4 %), Papua Tengah (42,7%), Maluku Utara (41,5%), Maluku (39,4%) dan Jambi (37%). Sedangkan sebanyak 34,5% penduduk perdesaan belum memiliki jaminan kesehatan dan 23% penduduk perkotaan yang belum memiliki jaminan kesehatan.