Jakarta -
Judul buku: Dry (Kering); Penulis: Neal Shusterman dan Jarrod Shusterman; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2020; Tebal: 456 halaman
Los Angeles tengah membara. Angin Santa Ana yang kering membawa api menjalar dengan cepat ke permukiman warga. Situasi diperparah dengan kondisi hidran yang kosong, tidak ada air mengalir! The Los Angeles Department of Water and Power (LADWP), operator air minum yang ada di kota, mewanti-wanti warga untuk berhati-hati mengkonsumsi air keran karena kontaminasi kebakaran.
Kebakaran besar dan kekeringan di Los Angeles baru-baru ini sontak mengingatkan saya pada novel Dry (Kering) yang edisi terjemahannya diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2020. Sampul buku memperlihatkan tanah retak dan pohon yang meranggas akibat kekeringan cukup merepresentasikan isi buku. Novel climate-fiction ini menceritakan kekacauan yang akan terjadi saat bumi kekurangan air.
Genre climate-fiction atau kerap disingkat cli-fi merupakan narasi fiksi yang membahas bagaimana dunia yang kita huni menghadapi gelombang bencana akibat perubahan iklim. Cli-fi mulai marak satu dekade terakhir sejak diperkenalkan oleh aktivis Dan Bloom pada 2007. Meskipun cerita yang disajikan buku ini fiksi belaka, namun selipan data dan kisah nyata menjadi suatu gambaran besar yang membuka mata pembaca.
Latar cerita berada di California Selatan, Amerika Serikat. Perubahan iklim dan kemarau panjang memang menjadikan California kerap dilalap si jago merah. Kebakaran hutan sebagai dampak kemarau panjang mengingatkan pada kebakaran dahsyat yang saat ini menerpa California. Gelombang panas yang terjadi di Los Angeles baru-baru ini menyebabkan 40.000 hektar lahan terbakar dengan kerugian setara Rp 4.000 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Novel distopia lain biasanya akan menceritakan akhir bumi karena serangan alien atau meteor yang menyasar bumi. Namun cerita distopia yang diangkat penulis dalam buku ini terasa nyata dan mencekam karena dibalut dengan data-data faktual. Tokoh utama adalah Alyssa, perempuan 16 tahun, dan adik laki-lakinya yang berusia 10 tahun bernama Garret. Petualangan menantang mereka juga melibatkan Kelton, remaja pria tetangga mereka, yang nyentrik dan kerap membuat penemuan. Tentu saja seperti novel remaja lain, ada beberapa bumbu-bumbu asmara yang disuguhkan dalam buku setebal 456 halaman ini.
Dampak kekeringan diceritakan cukup realistis dalam buku bersampul merah ini, mengakibatkan gelombang panic buying warga memborong air kemasan di supermarket. Kekacauan supermarket akibat panic buying mengingatkan kekacauan massal yang pernah terjadi pada awal pandemi Covid-19. Hukum ekonomi pun berlaku, minimnya suplai air membuat harga air kemasan melonjak tinggi. Masyarakat berpenghasilan rendah tentu saja tak mampu membayar air kemasan, menjadi refleksi bahwa dampak perubahan iklim menghantam kaum marginal.
Insting bertahan hidup membuat masyarakat berjuang mencari air apapun caranya yang memicu kerusuhan massal. Pabrik air kemasan diserbu warga. Keadaan di kota tak kalah chaos, jalanan dipenuhi pengungsi yang meninggalkan California. Suasana carut marut makin tak terkendali karena pasokan listrik PLTA mati, sebagai dampak mengeringnya bendungan. Kekeringan yang diceritakan dalam buku hanya berdurasi 6 hari namun kekacauan yang dirasakan bagaikan kiamat.
Day zero, kekeringan serupa dengan yang diceritakan dalam buku, memang nyata pernah terjadi. Pemerintah Capetown Afrika Selatan pada 2018 mengalami krisis air. Bendungan mengering mengakibatkan tidak ada pasokan air untuk warga. Kisah kekeringan lain juga pernah dirasakan di Australia yang dikenal dengan dekade Millenium Drought. Fenomena El-Nino yang ada di depan mata juga menjadi pemicu cuaca ekstrem yang menyebabkan kekeringan panjang.
Blurb buku cukup mencekam, "Musim kemarau telah berlangsung lama. Lalu, tap-out atau keran-mati diberlakukan. Masyarakat tidak mendapat suplai air. Mendadak daerah tempat tinggal Alyssa berubah menjadi bagaikan zona perang, tetangga dan keluarga berebutan air."
Penulis cukup kreatif menyisipkan prediksi kejadian-kejadian yang akan terjadi saat kekeringan. Deskripsi cukup detail dan diambil dari fakta empiris. Misalnya bagaimana masyarakat berbondong-bondong ke laut untuk mengambil air, sayangnya mesin desalinasi pemurnian air laut tidak mampu memproduksi air secara massal. Hal ini sangat masuk akal, karena saat ini teknologi Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) masih belum banyak digunakan.
Dalam buku diceritakan bagaimana garda nasional dan FEMA (badan penanggulangan bencana Amerika) berupaya untuk melakukan modifikasi cuaca untuk menurunkan hujan. Hal ini merefleksikan bahwa antisipasi kekeringan memerlukan peran dari beragam stakeholder dan penelitian-penelitian harus mulai diarahkan sebagai jalan keluar krisis air.
Duo penulis Neal Shusterman dan Jarrod Shusterman membuka mata pembaca usia remaja akan dampak pemanasan global. Bagi kita semua, pesan yang disajikan buku cukup banyak di antaranya anjuran untuk menghemat air dan antisipasi dampak perubahan iklim. Pembaca diajak untuk merasakan betapa berharganya setetes air. Bahkan seteguk air seharga dengan nyawa. Meski bergenre post-apocalytic, buku ini tak hanya sekadar kisah remaja namun membuka mata terkait potensi bahaya yang bisa terjadi jika setetes air telah habis di muka bumi.
Sebagai penutup, semoga bencana kebakaran dahsyat di Los Angeles kian mereda. Mudah-mudahan cerita fiksi hilangnya setetes air dari bumi yang diceritakan dalam buku ini tak pernah terwujud.
Eliza Bhakti Amelia ASN Kementerian PUPR
(mmu/mmu)