Jakarta -
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana merelokasi sementara warga Gaza, Palestina. Warga Gaza menolak keras ide gila Trump itu.
Dilansir AFP, Selasa (4/2/2025), Hatem Azzam, warga kota Rafah, Gaza selatan, geram dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyarankan warga Gaza harus pindah ke Mesir atau Yordania. Azzam mengatakan Gaza bukanlah tumpukan sampah.
"Trump menganggap Gaza adalah tumpukan sampah -- sama sekali tidak," kata pria berusia 34 tahun itu, menyerang kata-kata Trump tentang rencananya untuk 'membersihkan semuanya'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Azzam menilai Trump sedang berkhayal. Dia juga mengkritik Trump yang memaksakan Mesir dan Yordania menerima migran. "(Trump) ingin memaksa Mesir dan Yordania untuk menerima migran, seolah-olah mereka adalah ladang pribadinya," kata Azzam.
Baik Mesir maupun Yordania telah dengan tegas menolak gagasan Trump, demikian pula warga Gaza dan negara-negara tetangga lainnya.
Kemarahan Azzam muncul saat Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu di Washington pada Selasa malam dan membahas rencana untuk wilayah Palestina yang porak-poranda akibat perang selama lebih dari 15 bulan.
"Trump dan Netanyahu harus memahami realitas rakyat Palestina dan rakyat Gaza. Ini adalah orang-orang yang berakar kuat di tanah mereka -- kami tidak akan pergi," kata Azzam kepada AFP.
Ihab Ahmed, warga Rafah lainnya, menyesalkan bahwa Trump dan Netanyahu masih tidak memahami rakyat Palestina dan keterikatan mereka dengan tanah tersebut.
"Kami akan tetap berada di tanah ini apa pun yang terjadi. Bahkan jika kami harus tinggal di tenda-tenda dan di jalanan, kami akan tetap berakar di tanah ini," kata pria berusia 30 tahun itu.
Ahmed mengatakan kepada AFP bahwa warga Palestina telah memetik pelajaran dari perang 1948 yang terjadi setelah mandat Inggris, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka saat Israel didirikan, dan tidak pernah diizinkan untuk kembali.
"Dunia harus memahami pesan ini: kami tidak akan pergi, seperti yang terjadi pada tahun 1948," jelasnya.
Sementara itu, Raafat Kalob khawatir tentang konsekuensi pertemuan Trump-Netanyahu terhadap hidupnya. Dia berharap rencana Trump tidak akan berhasil.
"Saya berharap kunjungan Netanyahu ke Trump akan mencerminkan rencana masa depannya untuk menggusur paksa rakyat Palestina dan menggambar ulang Timur Tengah," kata Kalob yang berdiri di dekat blok bangunan yang runtuh akibat perang di kota Jabalia, Gaza utara.
"Saya sungguh berharap rencana ini tidak berhasil," imbuhnya.
Di belakangnya, deretan tenda yang disediakan oleh organisasi amal berjejer di sebidang tanah di kaki bangunan beton yang fasadnya masih memperlihatkan tanda-tanda perang, di mana terdapat lubang peluru, jendela yang hancur, dan fasad yang dilucuti dari lapisan batunya.
Di Jabalia dan Gaza utara, daerah yang paling parah dilanda perang, warga Palestina yang mengungsi dan kembali setelah gencatan senjata berlaku pada 19 Januari telah tinggal di tenda-tenda di samping rumah mereka yang hancur.
Warga Gaza: Kami Pemilik Tanah Ini!
Warga bernama Majid al-Zebda optimistis. Dia berharap Trump menekan Netanyahu untuk mengakhiri perang.
"(Trump) akan menekan Netanyahu untuk mengakhiri perang ini secara permanen," katanya.
Zebda, ayah enam anak yang kehilangan rumahnya dalam perang, mengatakan baik dia maupun warga Gaza tidak akan meninggalkan wilayah pesisir itu.
"Kami adalah pemilik tanah ini, kami selalu ada di sini, dan akan selalu ada. Masa depan adalah milik kami," katanya.
Fase pertama gencatan senjata mengakhiri pertempuran di Gaza dengan rapuh dan memulai proses pertukaran sandera dan tahanan antara Israel dan Hamas, tetapi negosiasi belum dimulai untuk mengakhiri perang secara permanen.
(lir/lir)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu